Warna-Warni Rangkaian Hajad Dalem Sekaten Jimawal 1957

Menjelang peringatan Kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Keraton Yogyakarta mengadakan Hajad Dalem Sekaten. Masyarakat umum biasanya menganggap Sekaten identik dengan pasar malam meriah. Carik Kawedanan Tandha Yekti KMT Tirtawijaya mengungkapkan bahwa pasar malam Sekaten tidak akan digelar. Ini menjadi bagian dari upaya Keraton Yogyakarta yang sedang berusaha untuk mengembalikan marwah Sekaten.

"Sebenarnya keraton sedang berusaha untuk mengembalikan rohnya Sekaten. Kalau melihat dari sejarahnya, Keraton Yogyakarta itu melakukan syiar agama Islam melalui berbagai macam hal seperti salah satunya Sekaten," jelas Kanjeng Tirta.

Miyos Gangsa 001

Hajad Dalem Sekaten dengan pasar malam merupakan hal yang berbeda bagi Keraton. "Jadi pasar malam dengan Sekaten itu sangat berbeda. Karena sudah mindset-nya masyarakat bahwa Sekaten itu intinya pasar malam, sebenarnya tidak. Itu dua hal yang berbeda," ungkap Kanjeng Tirta.

KMT Tirtawijaya menambahkan asal usul kehadiran pasar malam saat Hajad Dalem Sekaten. Merujuk dari sejarah, Keraton Yogyakarta awal mulanya menyelenggarakan Sekaten sebagai wadah syiar agama Islam melalui pendekatan budaya. “Dengan adanya Sekaten, warga masyarakat berbondong-bondong menuju tempat tersebut. Belanda pada waktu itu setiap ada perkumpulan selalu curiga. Akhirnya (Belanda) membuat siasat agar Sekaten ini fokusnya dipisah dengan pasar malam. Jadi pasar malam itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Sekaten, “pungkas Kanjeng Tirta.

Berbagai upacara tradisional diselenggarakan mulai dari Miyos Gangsa sampai puncaknya pada upacara Garebeg Mulud. Berikut warna-warni rangkaian Hajad Dalem Sekaten pada Jimawal 1957.

Miyos Gangsa 003

Miyos Gangsa

Rangkaian Hajad Dalem Sekaten dimulai dengan prosesi Miyos Gangsa atau keluarnya 2 perangkat Gangsa Sekati dari ruang penyimpanan di Bangsal Trajumas tanggal 5 Mulud sore. Pada 2023, Miyos Gangsa telah dilaksanakan pada Kamis (21/09). Kedua perangkat Gangsa Sekati, Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga, diletakkan di Bangsal Pancaniti dan dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Kridhamardawa pada pukul 19.00 hingga pukul 23.00 WIB.

Miyos Gangsa 002

Sebelum dipindahkan ke Masjid Gedhe, sekitar pukul 20.00 WIB, Utusan Dalem yakni GKR Mangkubumi, GKR Maduretno, GKR Hayu, GKR Bendara serta Mantu Dalem KPH Purbodiningrat dan KPH Notonegoro menyebar udhik-udhik berupa beras, biji-bijian, bunga, dan uang logam yang dimaksudkan sebagai simbol sedekah, doa keselamatan, dan kesejahteraan dari raja kepada rakyatnya di Bangsal Pancaniti, Kamandungan Lor (Keben). Masyarakat yang hadir di lokasi begitu antusias mendapatkan sebaran udhik-udhik.

Pada pukul 23.00 WIB, Gangsa Sekati kemudian ditata di ancak (alat) untuk diangkut ke Pagongan Masjid Gedhe oleh Narakarya. Kedua Gangsa juga dikawal oleh Bregada Jagakarya dan Bregada Patangpuluh. Perangkat gamelan Kiai Gunturmadu menempati Pagongan Kidul (sisi selatan Masjid Gedhe), sementara Kiai Nagawilaga menempati Pagongan Lor (sisi utara Masjid Gedhe). Gangsa Sekaten ditabuh dari tanggal 6 – 11 Mulud atau 21 – 27 September 2023, selama rentang waktu tersebut itulah yang disebut Sekaten. Selama Sekaten, Masjid Gedhe juga menggelar Kajian Sekaten yang diikuti oleh masyarakat luas.

Miyos Gangsa 004
Sejatinya, setiap hari Jumat, tedapat pranatan (peraturan) di lingkungan keraton, bahwa tidak diperkenankan menabuh gamelan atau istilahnya suwuk (berhenti). Meski begitu, Miyos Gangsa yang berlangsung Kamis (21/09) malam atau telah masuk hari Jumat dalam hitungan Jawa, merupakan tepat seminggu sebelum perayaan Maulid Nabi yang sudah menjadi kebiasaan dimulainya agenda kegiatan. Atas penerapan kebijakan ini, secara tradisional terdapat pranatan lain, yakni membayar denda ke Penghulu Keraton. Besarnya berupa pasok dendo selawe tempe atau menyetorkan denda sebesar 25 tempe atau jika dikonversi saat ini nilainya setara Rp50.000.

001

Numplak Wajik

Irama lesung bertalu-talu menandai mulainya upacara Numplak Wajik. Irama yang dimainkan mengandung unsur penolak bala dan agar pembuatan badan Gunungan Wadon (putri) yang diisi dengan wajik dapat berjalan lancar. Upacara Numplak Wajik dilaksanakan pada tanggal 9 Mulud atau tiga hari menjelang pelaksanaan Garebeg di Panti Pareden, yang berada di area halaman kompleks Kemagangan. Upacara ini dilaksanakan sore hari dan dihadiri oleh para Penghageng Keraton serta para Abdi Dalem. Pada Senin (25/09), upacara Numplak Wajik jelang Garebeg Mulud dipimpin Nyi KRT Hamong Tedjonegoro yang didampingi dengan Sentana Dalem dan Abdi Dalem Keparak.

002

Pembacaan Riwayat dan Kondur Gangsa

Pada malam menuju tanggal 12 Mulud, Rabu (27/09) diselenggarakan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW di Kagungan Dalem Masjid Gedhe. Sebelumnya, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 Miyos di Kagungan Dalem Masjid Gedhe menyebarkan udhik-udhik (beras, biji-bijian, uang logam, dan bunga) di Pagongan Kidul dan dilanjutkan ke Pagongan Lor. Sesaat setelah itu, Sultan dan segenap pengiring menuju ke dalam Masjid Gedhe untuk kembali menyebar udhik-udhik.

Kondur Gongso Cover

Agenda berikutnya adalah pembacaan riwayat Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sri Sultan duduk tepat di tengah Saka Guru serambi Masjid Gedhe, sementara para pengiring yakni Mantu Dalem KPH Wironegoro, KPH Purbodiningrat, KPH Notonegoro dan KPH Yudanegara beserta para Abdi Dalem duduk rapi di sekeliling.

Ketika pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW sampai pada bagian asrokal (peristiwa kelahiran Nabi), Sultan beserta para pengiringnya menerima persembahan Sumping Melati. Hal ini bermakna bahwa Sultan sebagai raja senantiasa mendengar aspirasi/pendapat rakyatnya dan akan melaksanakan harapan rakyatnya tersebut.

Kondur Gongso 002
Setelah mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW, Sri Sultan Jengkar kembali ke keraton. Gamelan Sekati selanjutnya masih ditabuh secara bergantian hingga tengah malam dan kemudian dikembalikan ke dalam keraton di tempat semula yakni di Bangsal Trajumas. Prosesi kembalinya gamelan ke dalam keraton inilah yang disebut dengan Kondur Gangsa.

Garebeg Mulud 25

Garebeg Mulud

Pagi hari usai pelaksanaan Kondur Gangsa, Kamis (28/09), ​​digelar Hajad Dalem Garebeg Mulud. Sepuluh Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta yang dipimpin seorang Manggalayuda mengawal tujuh buah gunungan ke tiga tempat yakni Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, dan Kepatihan. Manggalayuda merupakan pucuk pimpinan tertinggi dari seluruh kesatuan bregada prajurit Keraton Yogyakarta. Jika diibaratkan dalam ranah sipil, perannya seperti inspektur upacara.

Pada Garebeg Mulud kali ini, Wayah Dalem (cucu Sultan) yakni RM Gustilantika Marrel Suryokusumo diamanahi untuk menjadi Kapten Bregada Mantrijero. Sementara, RM Drasthya Wironegoro menjadi Kapten Bregada Wirabraja.

Garebeg Mulud 21
Terlebih dahulu Gunungan dikeluarkan dari dalam keraton melalui Bangsal Pagelaran menuju arah barat yang diawali dengan tembakan salvo peluru kosong dari Bregada Dhaeng dan Ketanggung. Gunungan yang terdiri dari aneka sayur-mayur melambangkan karakter masyarakat Jawa yang agraris.

Selama pelaksanaan Garebeg Mulud, Keraton Yogyakarta memberlakukan kawasan No Fly Zone. Kebijakan ini juga mengacu pada peraturan yang diterbitkan AIRNAV Indonesia dengan nomor NOTAM B1833/23 NOTAMN.

Bedhol Songsong 001

Bedhol Songsong

Malam hari setelah pelaksanaan Garebeg Mulud, yakni Kamis (28/09), Keraton Yogyakarta mengadakan Bedhol Songsong di Tratag Bangsal Pagelaran. Bedhol Songsong dimeriahkan dengan pementasan wayang kulit semalam suntuk mengambil lakon Lampahan Pandawa Mahabhiseka oleh dalang Mas Riya Cermokondowijoyo.

Disebut Bedhol Songsong karena dalam sejarahnya, prosesi mencabut (bedhol) payung (songsong) milik para pejabat administratif Sultan dari luar keraton setelah agenda Garebeg usai. Songsong sejatinya merupakan salah satu atribut atau kelengkapan untuk mengiringi kehadiran seseorang yang memiliki jabatan. Dahulu, para pejabat ini memiliki kewajiban hadir dalam pisowanan (hadir menghadap Sultan) saat upacara Garebeg. Sebagai penanda berakhirnya Garebeg, payung-payung tersebut dicabut bersamaan dengan adanya pementasan wayang kulit. Sehingga, di kemudian hari, Bedhol Songsong identik dengan pementasan wayang kulit di malam setelah pelaksanaan Garebeg.

Dengan selesainya Bedhol Songsong, berakhirlah warna-warni rangkaian upacara Hajad Dalem Sekaten pada Jimawal 1957.

Bedhol Songsong 002