Gendhing Pahargyan

Di Keraton Yogyakarta, setiap upacara tak lepas dari gendhing, iringan musik khas yang dihasilkan oleh gamelan. Sesuai pranatan, gendhing-gendhing tertentu diperuntukkan bagi prosesi atau upacara adat. Gendhing Pahargyan contohnya. Sesuai sebutannya yang berarti perayaan, gendhing jenis ini diperdengarkan untuk mengiringi upacara perayaan, seperti pernikahan, khitanan, tetesan, menyambut tamu dan lain sebagainya. 
Berikut jenis-jenis gendhing pahargyan dan fungsinya.

1. Gendhing Branta Asmara Laras Slendro Pathet Sanga, Kendhangan Ladrang, Kendhang Kalih.

Branta Asmara menggambarkan suasana hati calon pengantin yang sedang jatuh cinta dan bertekad menjalin ikatan perkawinan. Gendhing ini diperdengarkan saat upacara Midodareni di Bangsal Kasatriyan. Gendhing Branta Asmara menjadi simbol bahwa malam itu merupakan momen penuh doa dan permohonan akan kelancaran rangkaian upacara pernikahan. Gendhing ini disajikan dalam uyon-uyon (rangkaian gendhing) alusan irama II, lengkap dengan gerong dan pesindhen.

2. Gendhing Lambangsari Laras Slendro Pathet Manyura, Kendhangan Jangga.

Lambangsari berarti bertukarnya cinta kasih (liron sih) antara calon pengantin dan harapan akan kebahagiaan abadi dalam menjalani hubungan perkawinan. Gendhing ini juga diperdengarkan dalam upacara Midodareni di Bangsal Kasatriyan, dan disajikan dalam uyon-uyon alusan, mawi kendhangan batangan, lengkap dengan gerong dan pesindhen.

3. Gendhing Girang-Girang Laras Slendro Pathet Enem, Kendhangan Ladrang, Kendhang Kalih.

Girang-girang merupakan ekspresi kebahagiaan. Gendhing ini dimainkan dalam upacara pernikahan, mengiringi perjalanan calon pengantin laki-laki dari Bangsal Kasatriyan menuju Masjid Panepen tempat berlangsungnya ijab kabul dan mengalun saat pengantin laki-laki kembali ke Bangsal Kasatriyan. Gendhing ini disajikan dengan teknik soran, yaitu dibunyikan dengan volume keras dalam irama I.

4. Gendhing Semar Mantu Laras Slendro Pathet Enem, Kendhangan Ladrang, Kendhang Kalih.

Semar merupakan salah satu dewa utama dalam kisah pewayangan, sedangkan ’mantu’ berarti mempunyai hajat menikahkan putra atau putri. Dalam hal ini, Sultan disetarakan dengan sang dewa utama yang menggelar perayaan. Gendhing ini dimainkan seusai ijab kabul di Masjid Panepen, namun dapat juga disajikan sebelumnya sebagai gendhing soran (pengisi sebelum acara dimulai).

5. Gendhing Larasati Laras Pelog Pathet Enem, Kendhangan Ladrang, Kendhang Kalih.

Larasati bermakna keselarasan maksud dan tujuan dalam hati. Gendhing ini mengiringi seorang Narpacundhaka (utusan Sultan) yang bertugas menjemput pengantin laki-laki di Bangsal Kasatriyan untuk melangsungkan upacara Panggih (bertemunya ke dua mempelai) di Bangsal Kencana. Gendhing Larasati Laras Pelog Pathet Enem ini disajikan secara soran dalam irama I.

6. Gendhing Bindri Laras Slendro Pathet Sanga, Kendhangan Lancaran.

Gendhing ini diperdengarkan untuk mengiringi perjalanan mempelai laki-laki dari Bangsal Kasatriyan menuju Tratag Bangsal Kencana menjelang upacara Panggih. Diawali dengan buka bonang barung dan disajikan secara soran, gendhing ini suwuk (berhenti) apabila iring-iringan mempelai tersebut telah sampai di Kuncung Tratag Bangsal Kencana.

7. Gendhing Temanten Laras Pelog Pathet Barang, Kendhangan Ladrang, Kendhang Kalih.

Temanten’ merujuk pada mempelai yang sudah menjalani upacara pernikahan. Gendhing Ladrang Temanten diperdengarkan setelah Gendhing Bindri berhenti. Fungsinya adalah mengiringi rangkaian upacara pernikahan yaitu Panggih, Balangan gantal (saling melempar daun sirih), Ranupada (pengantin perempuan membasuh kaki pengantin laki-laki), Pecahing antiga (memecah telur) dan Pondongan (dibopongnya mempelai perempuan dengan kedua tangan, yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dan paman mempelai perempuan). Gendhing terus mengalun saat mempelai perempuan dibimbing menuju Emper Tratag Bangsal Kencana sisi utara, selanjutnya kedua mempelai menuju Tratag Bangsal Kencana sisi barat. Begitu mereka tiba di pelaminan, Gendhing Ladrang Temanten suwuk.

8. Gendhing Boyong Laras Pelog Pathet Barang, Kendhangan Lala / Lahela.

Gendhing ini dimainkan seusai resepsi pernikahan saat pengantin berjalan dari Tratag Bangsal Kencana menuju Gedhong Purwarukmi dan Srikaton di utara Bangsal Kasatriyan untuk melaksanakan upacara Tampa kaya dan Dhahar klimah. Gendhing Boyong menemani iring-iringan pengantin meniti perjalanan tersebut. Sajian gendhing ini diawali dengan Sesegan Irama I, Kendhangan Lala Kendhang Satunggal, dimainkan secara soran, dan disertai sorak bergemuruh sesuai irama. Setelah rombongan memasuki Bangsal Kasatriyan, Gendhing Boyong beralih ke irama II atau garap alusan dan suwuk setelah semua rangkaian acara selesai.

9. Gendhing Wasana Laras Slendro Pathet Manyura, Kendhangan Bibaran.

Sesuai dengan sebutannya yang berarti usai, gendhing ini diperdengarkan untuk menandai berakhirnya rangkaian upacara serta disajikan secara soran.

10. Gendhing Dhandhanggula Laras Pelog Pathet Barang, Kendhangan Bibaran.

Dhandhanggula merupakan permohonan akan hal-hal baik atau manis sekaligus tanda usainya acara. Seperti Gendhing Wasana, Gendhing Dhandhanggula juga dimainkan secara soran.

11. Gendhing Bedhat Laras Slendro Pathet Manyura, Kendhangan Ladrang, Kendhang Kalih.

Bedhat’ bermakna hilangnya semua kotoran sekaligus penanda putra putri Sultan mulai memasuki fase remaja. Gendhing ini diperdengarkan saat upacara Supitan (khitanan) atau Tetesan dan dimainkan secara soran.

12. Gendhing Genggong Laras Pelog Pathet Enem, Kendhangan Jangkrik Genggong atau Bawang Sebungkul, Kendhang Setunggal.

Gendhing Genggong juga disebut sebagai Gendhing Jangkrik Genggong. Nama ini menggambarkan suasana malam yang indah, tenang dan membahagiakan. Gendhing ini dilantunkan sebagai penghormatan dalam jamuan makan untuk raja dan para tamu yang hadir, baik saat siang atau malam. Setelah dihibur dengan pertunjukan tari di Tratag Bangsal Kencana, para tamu dipersilakan menuju Bangsal Manis guna menikmati hidangan jamuan makan. Saat itulah Gendhing Genggong segera dibunyikan. Dapat disajikan dalam dua varian laras, Slendro Pathet Sanga atau Pelog Pathet Enem, alunan gendhing ini akan menjadikan suasana jamuan nampak riang namun tetap agung. Gendhing-gendhing lain dengan nuansa senada dapat dimainkan hingga acara usai.

13. Gendhing Uluk-Uluk Laras Slendro Pathet Sanga, Kendhangan Ladrang, Kendhang Kalih.

Ini merupakan gendhing perhormatan jamuan minum teh di Keraton Yogyakarta. ’Uluk’ berarti memberi, menjamu, atau menghormati. Makna lainnya adalah ucapan utusan Sultan yang disampaikan kepada patih atau Abdi Dalem berpangkat Bupati. Gendhing ini dibunyikan sebagai pertanda Sultan menjamu secangkir teh kepada tamu yang hadir dalam sebuah acara, seperti pada saat beliau menerima kedatangan Abdi Dalem berpangkat Bupati pada hari raya Idulfitri dalam upacara Ngabekten. Teh disajikan setelah semua Abdi Dalem selesai melakukan Ngabekten. Gendhing Uluk-Uluk Laras Slendro Pathet Sanga segera mengalun mengiringi Abdi Dalem Kanca Sewidak (Abdi Dalem yang bertugas menyajikan teh) keluar dari Bangsal Manis. Mula-mula gendhing disajikan secara soran irama I lalu beralih ke irama II saat Abdi Dalem Kanca Sewidak mendekati tempat duduk para tamu. Irama gendhing ini dibawakan dalam uyon-uyon alusan. Setelah semua selesai minum teh, gendhing kembali dimainkan dalam irama I, mengiringi Abdi Dalem Kanca Sewidak masuk kembali ke Bangsal Manis.

Gendhing Pahargyan di lingkungan keraton lebih dari sekadar pengiring perayaan. Nada-nada itu memuat makna mendalam, memanjatkan harapan dan doa agar peristiwa yang dirayakan berjalan lancar serta selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.


DAFTAR PUSTAKA
Catatan Wawancara tertulis MB Susilamadya, S.Sn dengan KRT Purwadiningrat pada tahun 2012
Wawancara dengan MW Susilomadyo pada 20 Mei 2020 Purwadarminta. 1939.
Bausastra Jawa bagian R-S. https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/kamus-dan-leksikon/2666-bausastra-indonesia-jawi-purwadarminta-c-1939-1979-bagian-r-s diakses pada 26 Mei 2020