Bedhaya Sapta

Lelangen Dalem Bedhaya Sapta

Hiyasan Dalem Ngarsa Dalem,

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senapati Ing Ngalaga, Ngabdulrahman Sayidin Panatagama, Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sanga, ingkang sudibya hangrenggani, Karaton Dalem ing Ngayogyakarta Hadiningrat,

Karsa Dalem hiyasa Lelangen Dalem Bedhaya Sapta punika,

Methik saking Serat Babad ingkang kapanggih ing Tanah Pasundhan,

Mundhut cariyos nalika Pangeran Lirbaya dados kanthinipun Pangeran Nampabaya,

Kautus dhateng Tanah Pasundhan,

Lajeng kalap kepanggih putri jim,

Wonten saniskaranipun,

Sampun kocap wonten ing Kagungan Dalem Serat Pasindhen sedaya.

Terjemahan:

Bedhaya Sapta, tarian kecintaan Raja,

 karya Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang bertakhta di Keraton Yogyakarta,

Sang Raja berkehendak mencipta Bedhaya Sapta,

Menukil cerita dari Serat Babad yang ditemukan di Tanah Pasundan,

Mengisahkan ketika Pangeran Lirbaya menjadi mitra  Pangeran Nampabaya,

Diutus menuju Tanah Pasundan,

lalu terpikat oleh putri jin,

Kisah lengkapnya

telah teruraikan dalam Buku Syair yang dilantunkan para pesinden.

Larik-larik di atas merupakan bagian cakepan, penuturan cerita, yang mengiringi tari Bedhaya Sapta.

Sejarah

Bedhaya Sapta merupakan tari klasik Keraton Yogyakarta Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988). ‘Sapta’ berarti tujuh, hal ini merujuk pada jumlah penari Bedhaya Sapta –tujuh penari–, tidak seperti lazimnya tari bedhaya yang dibawakan oleh sembilan penari.

Semula bedhaya berjumlah tujuh penari pernah dibuat oleh KRT Mertanegara pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877). KRT Mertanegara membuat bedhaya berjumlah tujuh penari untuk membedakan dengan bedhaya yang ada di dalam tembok istana. Tarian ini juga disuguhkan saat Sri Sultan Hamengku Buwono VI berkunjung ke kediaman KRT Mertanegara.

Bedhaya Sapta 18102020 02

Pada 1943, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghendaki penciptaan bedhaya yang dibawakan tujuh penari. Ide ceritanya muncul ketika beliau mendapatkan buku Babad Pasundhan yang memuat kisah dua punggawa Sultan Agung, yakni Pangeran Nampabaya dan Pangeran Lirbaya. Keduanya diutus untuk memperluas wilayah kerajaan dan membuat kikis (tapal batas) antara Mataram dengan Pasundan. Ditemani oleh dua abdi, Nayakarta dan Nayakerti, berangkatlah mereka dengan mengikuti jejak tapak badak. Mereka berhasil membangun tapal batas dan membuat Sultan Agung senang sehingga dihadiahi uang dan pakaian.

Puas atas keberhasilan kedua utusannya, Sultan Agung kembali memerintah mereka memperkuat kota. Sesampai di Sungai Ciheya, mereka pun membangun kota. Suatu hari Pangeran Lirbaya meminta izin kepada Pangeran Nampabaya untuk berjalan-jalan di hutan. Saat tiba di hulu Ciheya, pemuda itu jatuh tertidur. Di dalam tidurnya, Pangeran Lirbaya pergi ke alam lain dan menikah dengan putri jin. Saat Pangeran Nampabaya mengetahuinya, ia melabrak sang sahabat, memintanya kembali bersamanya. Namun Pangeran Lirbaya justru menghilang dan musnah.

Begitu ide penciptaan tari muncul, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengutus KRT Purbaningrat untuk menggarap komposisi tari dan mengajarkannya kepada para Abdi Dalem bedhaya. Beksan ini dipentaskan pertama kali pada 1953 untuk menjamu tamu negara di Kepatihan. Kesibukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat memangku jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta menyebabkan tari ini tak sempat ditampilkan untuk waktu lama. Baru pada 20 April 1985 pertunjukan Bedhaya Sapta dapat kembali digelar dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem dengan perubahan komposisi. BRAy Yudonegoro dan KRT Sasminta Dipura menyatakan perubahan komposisi tersebut dimaksudkan untuk menyelaraskan gerak dengan teks sindhenan (lirik vokal).

Bedhaya Sapta 18102020 03

Naskah Tari

Catatan mengenai Bedhaya Sapta termuat dalam manuskrip yang kini disimpan di perpustakaan KHP Kridhomardowo Keraton Yogyakarta. Naskah Kagungan Dalem Serat Bedhaya dengan kode BS (Bedhaya Srimpi) 27 halaman 5-7 mencatat sindhenan yang menceritakan Bedhaya Sapta di bawah judul Pasindhen Bedhaya Gendhing Ngambararum

Frasa ‘Bedhaya Sapta’ sendiri tak dituliskan. Yang disebut adalah nama gendhingnya, Ngambararum. Pada awal penciptaannya, nama inilah yang dipakai untuk menyebut tari Bedhaya Sapta. Seiring waktu, nama Bedhaya Sapta lebih populer karena memudahkan penyebutan merujuk jumlah penarinya.

Ragam Gerak dan Pola Lantai

Bedhaya Sapta dibawakan dalam ragam gerak antara lain gudhawa asta minggah, mlampah semang, impang encot, gajah ngoling, impang majeng, nggrudha, bangomate, dan puspita kamarutan.

Bedhaya Sapta memiliki pola lantai yang berbeda dari bedhaya pada umumnya. Cerita Bedhaya Sapta langsung dipaparkan dalam pola lantai dan pesindhenan sejak awal gendhing. Peran-peran penari seperti endhel, batak dan sebagainya yang biasa terdapat dalam bedhaya tidak berlaku dalam Bedhaya Sapta. Penyebutannya diganti dengan penari 1, 2, 3, 4, 5 serta a dan b. Sementara, kemiripan Bedhaya Sapta dan bedhaya yang dibawakan sembilan penari terletak pada pola rakit lajur, rakit ajeng-ajengan atau rakit gelar. Namun, pola garis diagonal merupakan kekhasan yang hanya dimiliki Bedhaya Sapta

Musik Iringan 

Gendhing yang biasa mengiringi tari Bedhaya Sapta antara lain

  1. Lagon Lasem jugag Laras Pelog Pathet Enem,
  2. Ladrang Gati Mardika Laras Pelog Pathet Enem,
  3. Lagon Ngelik Laras Pelog Pathet Enem,
  4. Kandha,
  5. Bawa Sekar Tengahan Tebu Kasol Laras Pelog Pathet Enem,
  6. Gendhing Ngambar Arum Laras Pelog Pathet Enem,
  7. Ladrang Sri Gadhing Laras Pelog Pathet Enem,
  8. Bawa Swara Lagu Gendhing Tunjung Asmara Laras Pelog Pathet Enem,
  9. Ketawang Tunjung Asmara Laras Pelog Pathet Enem,
  10. Lagon Panunggul Laras Pelog Pathet Enem,
  11. Ladrang Gati Hendra Kusuma Laras Pelog Pathet Enem,
  12. Lagon Panunggul Laras Pelog Pathet Enem.

Gendhing-gendhing tersebut dibawakan dengan seperangkat gamelan pelog. Instrumen musik diatonis juga digunakan dalam Gendhing Gati untuk mengiringi gerak kapang-kapang, saat penari berbaris masuk dan keluar dari ruang pementasan.

Bedhaya Sapta 18102020 04

Tata Busana dan Rias Busana Penari

Semua penari Bedhaya Sapta mengenakan busana dan tata rias yang sama. Busana yang sering dikenakan antara lain adalah baju rompi bludiran, kain motif parang gurdha latar putih dengan pola seredan. Kepalanya dilengkapi aksesoris jamang dengan hiasan bulu burung kasuari, sanggul gelung sinyong, sumping ron, cundhuk mentul, jungkat, dan subang. Aksesoris lainnya berupa kelat bahu, sampur cindhe, kalung sungsun, slepe, dan gelang. Penari menggunakan rias jahitan, sementara cambang diberi hiasan tiruan godheg

 


Daftar Pustaka
Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2 Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kagungan Dalem Serat Pasindhen Bedhaya (BS 27) Koleksi Kapustakan Kridhomardowo, Keraton Yogyakarta
M. Heni Winahyuningsih. 1993. Tari Bedaya Sapta: Suatu Alur Pengungkapan Intensi Sri Sultan HB IX. Yogyakarta: Laporan Penelitian Balai Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Wawancara dengan Nyi MW Widya Wahyu Budaya pada 22 September 2020
Wawancara dengan MW Susilomadyo pada 3 Oktober 2020
Wawancara dengan Nyi M Riya Murtiharini pada 5 Oktober 2020