Bedhaya Gandakusuma

Bedhaya Gandakusuma adalah tari klasik Keraton Yogyakarta yang berkisah tentang bedhah (jatuh)-nya Kadipaten Madiun dan perjumpaan romantis antara Panembahan Senopati dari Mataram dengan Retno Dumilah, putri Panembahan Madiun. Peperangan terjadi pada masa awal kebangkitan Mataram saat Panembahan Senopati berupaya memperluas wilayah kekuasaannya sampai daerah Madiun. Peperangan tersebut berakhir dengan luluhnya hati Retno Dumilah yang kemudian diperistri Panembahan Senopati. Oleh sebab itu, Bedhaya Gandakusuma juga kerap disebut dengan Bedhaya Bedhah Madiun. Penyebutan Bedhaya Bedhah Madiun menunjukkan inti cerita tarian tersebut, sedangkan istilah Bedhaya Gandakusuma lebih menunjukkan gendhing utama pengiring.

Ada beberapa pendapat mengenai kapan karya tari ini diciptakan, ada yang menyebut Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828), ada pula yang menyebut Yasan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855). 

Bedhaya Gandakusuma 04

Dalam tradisi tari klasik di lingkungan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, beberapa tarian kerap diputrani atau diduplikasikan oleh sultan yang tengah berkuasa. Artinya, tarian yang sudah muncul pada periode sebelumnya, kemudian dimunculkan lagi dan disesuaikan dengan kehendak raja yang bertakhta saat itu. Penyesuaian tersebut dapat berupa ragam gerak, pemadatan durasi pertunjukan, dan lain-lain.

Naskah Tari 

Naskah tari Bedhaya Gandakusuma dimuat dalam Serat Kandha Bedhaya Utawi Srimpi yang disalin pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921). Naskah tari tersebut memuat teks narasi dan petunjuk singkat iringan musik gamelan untuk mengiringi tari bedhaya atau srimpi di Keraton Yogyakarta. Sedangkan teks lirik vokalnya (sindhenan) dimuat dalam Serat Pasindhen Bedhaya Utawi Srimpi. Naskah-naskah tersebut dimiliki oleh Keraton Yogyakarta dan kini disimpan di Perpustakaan Kawedanan Widya Budaya. 

Bedhaya Gandakusuma juga muncul pada era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1935). Hal ini tertuang pada naskah B/S 13 yang berisi Serat Kandha Bedhaya Utawi Srimpi.  Selain memuat kandha, naskah ini juga menyajikan petunjuk singkat iringan musik, termasuk iringan untuk Bedhaya Gendhing Gandakusuma. Pada Uyon-Uyon Hadiluhung 26 Juni 2023 untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10), Bedhaya Gandakusuma yang ditampilkan merupakan versi Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. 

Bedhaya Gandakusuma 03

Musik Pengiring

Bedhaya Gandakusuma diiringi oleh Gendhing Gandakusuma, oleh karena itu bedhaya ini dikenal sebagai Bedhaya Gandakusuma. Komposisi Gendhing Gandakusuma yang dibawakan untuk mengiringi bedhaya ini diawali dengan Lagon Lasem Jugag Pelog Pathet Nem, kemudian dilanjutkan dengan Ladrang Gati Brangta (untuk kapang-kapang maju), Lagon Panunggul Pelog Pathet Nem, Kandha, Bawa Swara Tebu Kasol, Gendhing Gandakusuma, Dhawah Ladrang Gambuh Awis-awis, Ladrang Gurisa Mengkreng, Ketawang Mijil Wedharingtyas, Lagon Panunggul Pelog Pathet Nem, Ladrang Gati Raja (untuk kapang-kapang mundur), dan diakhiri Lagon Panunggul Pelog Pathet Nem.

Ragam Gerak

Diawali saat Gendhing Ageng dibunyikan, Bedhaya Gandakusuma dibawakan dengan urutan ragam gerak Nyembah, Ngenceng Encot, Trisig, Lampah Semang, Imbal, Ngewer Udhet, Apit Nyolongi, Gudhawa Asta Minggah, Pucang Kanginan, Gudhawa Asta II, Ngewer Udhet, Pendhapan Maju Mundur. Selanjutnya dilakukan gerak Dhawah untuk masuk ke Gendhing Alit. Ragam gerak pada Gendhing Alit adalah Kipat Gajahan, Lembehan, Duduk Wuluh, Impang Majeng, Lampah Mundur, Ngenceng Jengkeng, Nglayang. Setelah suwuk (berhenti), Gendhing Ketawang dimainkan. Ragam gerak yang ditampilkan pada Gendhing Ketawang adalah Bango Mati, Ngundhuh Sekar, Gidrah, Ngundhuh Sekar, Gidrah, Ngundhuh Sekar II. Bedhaya Gandakusuma ini diakhiri dengan gerak kapang-kapang yang diiringi dengan lagon.

Bedhaya Gandakusuma 02

Bedhaya Gandakusuma utamanya memiliki 5 rakit atau tata pola lantai, terdiri dari Rakit Lajur, Rakit Ajeng-Ajengan, Rakit Iring-Iringan, Rakit Tiga-Tiga, dan Rakit Gelar. Rakit lajur menggambarkan wujud jasmani manusia yang terdiri dari kepala (batak), hati (endhel pajeg), leher (gulu/jangga), dada (dhadha), pantat (buntil), tangan kanan (apit ngajeng), tangan kiri (apit wingking), kaki kanan (endhel wedalan ngajeng), kaki kiri (endel wedalan wingking). Rakit lajur digunakan saat penari berbaris masuk dan keluar dari ruang pementasan. 

Rakit ajeng-ajengan merupakan formasi dengan tiga penari di sebelah kiri dan enam penari di sebelah kanan saling berhadapan. Pada formasi ini, penari endhel pajeg dengan batak yang menggambarkan Retno Dumilah dan Panembahan Senopati saling berhadapan. Sementara pada rakit iring-iringan, posisi batak dan endhel saling membelakangi diikuti oleh posisi penari lainnya. Selanjutnya dalam rakit tiga-tiga, seluruh penari berada pada posisi berbaris dengan batak, endhel pajeg, dan apit wingking berada di depan. Formasi ini muncul dua kali, saat sebelum dan sesudah rakit gelar. Salah satu yang khas dari Bedhaya Gandakusuma ini adalah adanya rakit semu gelar. Rakit ini menampilkan penari posisi endel yang melakukan gerakan tari dalam posisi berdiri. Sedangkan delapan penari lainnya berada pada level rendah yaitu jengkeng. Rakit terakhir adalah rakit gelar yang menggambarkan inti cerita, yaitu peperangan antara Panembahan Senopati (penari batak) melawan Retno Dumilah (penari endel pajeg) yang berakhir dengan keduanya saling jatuh cinta. 

Bedhaya Gandakusuma 01

Tata Busana dan Rias

Penari Bedhaya Gandakusuma utamanya mengenakan busana kampuhan, kain cindhe, dan kain sondher/ sampur dengan rias paes ageng seperti yang diterapkan pada pengantin putri gaya Yogyakarta, dilengkapi dengan gelung bokor sebagai tata rambut. Terdapat variasi lain berupa baju rompi beludru dengan nyamping model seredan, ditambah dengan aksesoris berupa jamang berhias bulu, dan rias jaitan dengan pemakaian sanggul gelung sinyong. Selain itu para penari Bedhaya Gandakusuma juga membawa senjata berupa sebilah keris yang digunakan saat adegan perang. 

Pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 26 Juni 2023, para penari Bedhaya Gandakusuma mengenakan busana gladhen sebagai berikut; sanggul tekuk dipadukan dengan kampuh bermotif kawung, nyamping tenun ungu polos, sonder gendala giri, ditambah aksesori subang dan cincin. 

Perkembangan Bedhaya Gandakusuma

Bedhaya Gandakusuma versi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pernah digunakan sebagai materi pembelajaran tari putri saat tari keraton mulai diajarkan di luar lingkup istana, melalui Sekolah Seni Kridha Beksa Wirama. Sekolah tersebut didirikan oleh BPH Suryadiningrat dan GPH Tejokusuma. Di sekolah inilah, putri tunggal GKR Timur (putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII) dengan KGPAA Mangkunegoro VII, yakni GRAj Siti Nurul Kamaril, belajar Bedhaya Gandakusuma atas izin GPH Tejokusuma. Gusti Nurul beserta Abdi Dalem Pura Mangkunegaran yang belajar menari kala itu, kemudian menggubahnya ke dalam versi berbeda dan kemudian dikenal sebagai Bedhaya Bedhah Madiun gaya Mangkunegaran.

Bedhaya Gandakusuma tercatat pernah dipentaskan pada 18 November 1900 dan 25 Maret 1945. Pada tahun 1983, Bedhaya Gandakusuma direkonstruksi oleh Titik Agustin dari Akademi Seni Tari Indonesia. Tahun 1989, bedhaya ini ditampilkan kembali di Universitas Negeri Yogyakarta. Pada 21 Juni 2014, rekonstruksi kembali dilakukan oleh Keraton Yogyakarta bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Proses rekonstruksi kali ini dibarengi dengan pendokumentasian. Durasi tari hasil rekonstruksi ini memakan waktu selama kurang lebih 80 menit. 

Sebagai sebuah tari, Bedhaya Gandakusuma mengungkap sebuah kisah patriotik dalam sejarah kebangkitan menuju kejayaan Mataram. Kemenangan Panembahan Senopati selaku raja Mataram adalah suatu kebanggaan bagi Kesultanan Yogyakarta selaku penerusnya. Kebanggaan tersebut diwujudkan dalam bentuk tarian yang mengenang kembali upaya gigih Panembahan Senopati.


Daftar Pustaka

Ditta Novita Astuti K. 2015. Analisis Koreografi Bedhaya Bedhah Madiyun Gaya Yogyakarta Rekonstruksi Juni 2014 Oleh RAy Sri Kadaryati. Yogyakarta: Skripsi ISI Yogyakarta 

Eny Kusumastuti. 2012. Makna Simbolik Filosofis Dalam Pelembagaan Tari Bedhaya Bedhah Madiun di Keraton Yogyakarta. Semarang: Jurnal Imajinasi Vol.1, No. 1

Jennifer Lindsay. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

RM Dinusatomo BA. 1995. Sinopsis Repertoar Pentas Tari Klasik Yogyakarta Oleh Yayasan Siswa Among Beksa Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Siswa Among Beksa

Sunaryadi. 2013. Aksiologi Tari Bedhaya Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Jurnal Kawistara Vol.3

Theresia Suharti. 2004. Bedaya Keraton Yogyakarta: Sebuah Media Pewarisan Budaya yang Sarat Makna. Yogyakarta: Jurnal Seni BP ISI Yogyakarta Vol.X/2

Daftar Wawancara

Wawancara dengan Nyi KRT Pujaningsih (Pamucal Beksa) pada 13 Maret 2019

Wawancara dengan Nyi RL Sastrawidyakartika (Pamucal Beksa) pada 31 Mei 2023 

Wawancara dengan MB Kayun Sumekto (Kanca Kagunan) pada 16 Juni 2023