Mas Riya Sarihartakadipura, Kunci Kelancaran Kegiatan Keagamaan

Mas Riya Sarihartakadipura adalah gambaran khas kebanyakan Abdi Dalem keraton yang mengabdi semata karena panggilan hati. Busaeri, demikian nama aslinya, tidak kekurangan materi –malah dapat dibilang berkelimpahan–, menduduki banyak jabatan, serta memiliki berderet tugas dan kegiatan. Namun, itu semua tak mampu meredam keinginan sanubarinya untuk menyumbangkan tenaga, pikiran, dan keahlian demi pelestarian budaya. 

Bapak dua anak yang tinggal di Gilangharjo, Pandak, Bantul ini menjabat sebagai kahartakan (bendahara) di Kawedanan PengulonKawedanan ini mengurusi masjid dan makam milik keraton, termasuk seluruh kegiatannya. 

Pada tahun 70an, Pak Busaeri bertualang hingga ke Sumatera dan Kalimantan. Dalam perjalanan itulah, ia menemukan jati diri dan merasa harus kembali ke tanah kelahirannya. Orang tuanya melarang pergi jauh lagi serta menyuruhnya mencari pekerjaan di seputar Yogyakarta. 

“Pada waktu itu saya bertemu Abdi Dalem keraton di Pasarean Tambalan. Namanya Bapak Temu. Itu tahun 1981. Terus beliau bilang, pengin dadi Abdi Dalem paning bayare sithik. Waktu itu saya tergugah, ingin jadi Abdi Dalem.”

Pak Busaeri lantas melamar tahun itu juga. Setelah proses yang panjang, ia secara resmi diangkat magang. Akhirnya pada 2000, Pak Busaeri mendapat pangkat jajar. Secara bertahap, ia naik pangkat menjadi Bekel Anom, Bekel Sepuh, Lurah, Penewu, Wedono, hingga sekarang Riya Bupati. Namun, jabatannya tidak pernah berubah, hartakan

Mas Riya Sarihartakadipura 01

“Waktu itu saya begini, saya ingin mengabdi karena ingin melebur dosa. Bisaku ya hanya di keraton, walau saya (salat) lima waktu juga masih saya jalani. Melebur dosa itu konotasinya memang banyak sekali,” ujarnya.  

Imbalan materi sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Pak Busaeri bahkan menolak pemberian tanah gaduhan (tanah milik keraton), “Saya waktu itu sudah berkomitmen dengan pribadi saya, sesuk yen aku isa tuku lemah pirang-pirang, ora bakal njaluk gaduhan. Muga-muga aku dadi Abdi Dalem.”

Seperti doa yang terkabul, setelah itu ekonominya meningkat. Ia dapat membeli tanah hingga delapan petak. “Terus saya tetap ditawari (tanah gaduhan), tetapi saya tidak mau karena sudah bernazar.” 

Pak Busaeri nyaris selalu mendapat tanah dengan harga miring. Baginya, itulah keberuntungan yang ia yakini tak lepas dari Berkah Dalem –berkah mengabdi di keraton–. “Saya sujud syukur,” tuturnya. 

Hartakan Berdedikasi

Mas Riya Sarihartaka senang menjalin komunikasi dengan siapa pun. Cara bicaranya lincah penuh semangat, sesuai dengan kepribadiannya yang senantiasa aktif berkarya. Di rumah, ia mengolah tanahnya untuk usaha pertanian dan peternakan. Sebagian tanah ia sewakan. Pak Busaeri dan sang istri juga berdagang daging sapi yang ia sembelih sendiri. 

Di lingkungan keraton, Mas Riya Sarihartaka bertugas dari Senin sampai Sabtu, mulai pukul tujuh pagi hingga satu siang, walau jam kerjanya secara resmi baru dimulai pukul sembilan. Selesainya pun tak jarang lebih sore. Ia sengaja datang lebih pagi untuk memenuhi amanat dari Kiai Wardan Dipaningrat, salah satu pinisepuh Pengulon serta komitmennya pada diri sendiri. “Kalau ada yang minta izin (pemakaman) kan pasti pagi, tidak mungkin siang. Jadi saya mesti berangkat awal. Jadi bisa menangani, dari sisi mana pun.” 

Selanjutnya, staf lain akan menggantikannya menjaga kantor hingga pukul empat sore. Hari Minggu pun bila ada kegiatan keraton yang digelar, ia tetap datang. “Karena ya sithik-ideng (bertenggang rasa), yang penting kantor sini nggak kosong, kalau secara administrasi dari pasarean atau kemesjidan ada permasalahan itu bisa ter-cover atau ditangani.”

Penyangga Operasional Kawedanan Pengulon

Sebagai hartakan, Mas Riya Sarihartakadipura utamanya bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan di kawedanan. Dialah yang membuat rantaman pembayaran Abdi Dalem yang berkerja di bawah Kawedanan Pengulon, termasuk juru kunci pasarean (makam) dan masjid. Selanjutnya, ia menyerahkan rantaman tersebut ke Danartapura (bagian keuangan), lalu membagikannya ke Abdi Dalem yang jumlahnya mencapai nyaris empat ratus orang. Tugas ini lumayan menantang karena para juru kunci tersebar di berbagai tempat di Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. “Ada yang (gajinya) diambil setahun, tiga bulan, empat bulan (sekali). Itu ada yang dari Gunung Lawu, Srumbung, Wanadya, Gunung Pring. Itu setahun sekali karena jauh. Kalau yang dekat-dekat, kadang tiga bulan.” 

Selain itu, Mas Riya Sarihartaka juga mengurusi keuangan penyelenggaraan berbagai kegiatan keagamaan. Pengulon merupakan salah satu kantor yang kegiatannya sangat padat.  

“Sekarang banyak sekali (kegiatannya). Kita tiap satu tahun buat anggaran belanja. Itu untuk kegiatan pengajian Bukhoren, Jumat Legi, Ahad Pon, safari kemesjidan, safari pasaeran, dan banyak sekali.”

Mengatur alokasi anggaran tentu bukan pekerjaan mudah, tetapi Mas Riya Sarihartaka tidak pernah mengeluh. Padahal bukan keuangan saja yang ia urus. Ia harus memastikan ubarampe untuk kegiatan Pengulon tersedia lengkap dan diterima oleh Abdi Dalem bersangkutan tepat waktu. 

Untuk kegiatan Kuthomoro (ziarah kubur pada bulan Ruwah) misalnya, Mas Riya Sarihartaka harus mengirim yatra tindih, lisah konyoh, ratus, serta ubarampe lain yang sudah dikemas oleh Kanca Keparak. Jadwal harus benar-benar diperhatikan. Untuk makam Kotagede dan Imogiri, contohnya, semua sudah harus sampai di tangan juru kunci makam pada tanggal 14 Ruwah agar dapat digunakan untuk nyekar pada tanggal 15 Ruwah. Makam-makam lain mengikuti setelah itu dan tidak boleh mendahului karena kedua makam tersebut merupakan makam tertua. 

Di Kawedanan Pengulon telah memiliki jadwal tertulis yang rapi untuk kegiatan setahun, yang mereka bagi dalam beberapa kategori, di antaranya kegiatan rutin pelestarian keagamaan, yang berisi kajian bukhoren, kajian Jumat Legi, dan kajian Ahad Pon. Ada pula kegiatan rutin adat, seperti upacara Labuhan dan Garebeg. Sementara kegiatan Pengetan Hadeging Nagari diisi dengan acara mujahadah dan semakan Al-Qur’an serta Festival Masjid Gedhe, dan telah rapi tertulis jadwal kegiatan untuk setahun dengan pra-acara di Masjid-masjid Pathok Negara

Tim yang solid tentu menjadi kunci kelancaran semua acara. Mas Riya Sarihartaka selalu mengutamakan kebersamaan dan keikhlasan masing-masing pribadi, “Tidak ada masalah, pokoknya ayo kita bersama-sama berkomitmen, ayo kita bersama-sama bekerja, sing kabeh kepenak, nang ati ora ana sing nggerundul.” 

 

Sikap komunikatif juga dikedepankan oleh pria lulusan SMEA (SMK) Jurusan Akuntasi ini sehingga ia mengenal semua Abdi Dalem Pengulon termasuk yang berasal dari luar daerah walau mereka hanya bertemu beberapa tahun sekali. Namun, mulai akhir 2021 dijalankan inisiatif agar para Abdi Dalem Pengulon datang caos bergilir ke keraton. “Abdi Dalem itu senang sekali karena diuwongke (dihargai) disuruh caos meski waktunya lama, 24 jam. Yang Gunungpring dan Wanadya juga (datang).” 

Aktivis Sosial

Seolah energinya tidak pernah habis, Mas Riya Sarihartaka terlibat dalam banyak organisasi sosial dan politik. Ia berkecimpung dalam kepengurusan RT, LPMD, Karang Taruna, FKPM, Linmas, Jagawarga, FPRB, Forum Penurunan Risiko Bencana. Biasanya, ia memegang jabatan bendahara dalam organisasi-organisasi tersebut. Tentu ini menegaskan sifatnya yang jujur dan amanah, selain keahlian spesifiknya mengelola keuangan.  Ia juga menjadi ketua sebuah partai politik di Kecamatan Pandak. Sebagai hobi, ia bergabung dengan komunitas radio panggil. 

Jiwa sosial membuatnya memiliki kepedulian khusus terhadap ODGJ. Bila kebetulan mengetahui ada tetangganya yang menderita gangguan jiwa, ia secara aktif membantu orang tersebut berobat. “Saya peduli bila ada masalah apa pun di lingkungan. Dan memang basic saya itu jiwa sosial.”  

Pak Busaeri tak pernah berat hati untuk berbagi. Hasil sawah dan peternakannya sering ia berikan kepada siapa saja yang berkunjung. Lainnya ia jual kepada teman-temannya dengan harga murah. “Saya itu begitu, seneng kok di hati, seneng kalau teman-teman pesan beras, saya bawakan, seneng tenan,” katanya dengan nada gembira, tanpa kesombongan sama sekali. 

Tak Tergoyahkan

Sengguh, Ora Mingkuh”, tegak, tak tergoyahkan adalah prinsip filosofis Jawa yang dipegang oleh Mas Riya Sarihartaka. Inilah yang membuatnya bertahan lebih dari tiga puluh mengabdi di keraton. Tentu telah banyak asam garam ia temui. Pak Busaeri pernah mendapat ancaman saat menjalankan tugas. Juga sering disambati orang-orang yang kesusahan dan beberapa di antaranya datang untuk meminta berkah dari keraton agar terbebas dari masalah. 

“Suka duka, tentu ada, tetapi itu hal biasa,” katanya. Hal ini tentunya tak lepas dari dukungan penuh keluarga, termasuk kedua anaknya yang kini juga menjadi Abdi Dalem Pengulon di makam Tambalan. Dengan pengaturan dan kerja sama yang kompak dengan istri dan anak-anak, tugas-tugas rumah pun dapat dikerjakan dengan baik. Terkait anak-anak yang mengikuti jejak langkahnya, Mas Riya Sarihartaka mengatakan hal itu dapat menjadi wahana bagi mereka untuk belajar menata hati.

Namun, terkadang, ada juga omongan miring yang ditujukan padanya, salah satunya adalah tuduhan bahwa ia bekerja di tempat syirik. Namun, ia dengan sabar menjelaskan bahwa semua adat istiadat di keraton mengacu pada tuntunan agama dan upacara-upacaranya merupakan simbol ketaatan pada Gusti Allah. “Itu banyak saya sampaikan ke masyarakat, sekarang sudah banyak (yang mengerti), ‘oh iya ya, ternyata begitu’.”

Bekerja di keraton mendatangkan ketenteraman batin baginya. Ini berpengaruh pada kesehatan fisiknya. Di usia yang menginjak enam puluh lebih, ia masih lincah dan nyaris tak pernah sakit. Ia mengaku awet muda karena berbahagia dalam bekerja dengan pikiran dan hati yang tertata. 

Mas Riya Sarihartaka sudah tidak memiliki cita-cita terkait materi. Ia memimpikan menjadi orang tua yang bijaksana dan tidak bertingkah macam-macam. Selain itu, ia ingin membangun joglo seni yang bisa dimanfaatkan banyak orang. Terkait generasi muda, ia berharap anak-anak zaman sekarang terus melestarikan budaya tradisional, termasuk unggah-ungguhnya.