KRT Pakukusuma, Penjaga Pustaka Keraton Yogyakarta

KRT Pakukusuma, Penghageng Banjar Wilapa

Banjar Wilapa, perpustakaan Keraton Yogyakarta, memiliki nilai penting dan strategis sebagai ‘penjaga’ khazanah sejarah dan kebudayaan Jawa. Berisikan koleksi buku-buku lama maupun baru, baik dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan bahasa asing, perpustakaan ini harus dipelihara oleh orang yang benar-benar peduli pada budaya literasi. Kanjeng Raden Tumenggung Pakukusuma, atau lebih akrab disapa Kanjeng Paku, merupakan salah satu Abdi Dalem yang setia menjaga harta tak ternilai itu.

Bernama lahir Nurdiatiru, hingga sering dipanggil Rama Nurdi, beliau merupakan cucu tertua Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kini ia menjabat sebagai Penghageng Angka Kalih Banjar Wilapa, meski sebenarnya ia mengawali pengabdiannya di keraton sebagai pemandu wisata. Pekerjaan itu ia tekuni dengan kemampuan bahasanya yang istimewa. Ia bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis. Ia mempelajari bahasa-bahasa itu saat duduk di bangku sekolah Belanda yang pada zaman kolonial yang didirikan di Yogyakarta.

“Saya suka melayani tamu dari mana pun,” katanya. Selain memandu wisatawan di keraton, ia juga memandu wisatawan di agen-agen pariwisata mana pun yang membutuhkan jasanya. “Kadang setengah bulan saya tidak di rumah. Saya disewa di mana-mana,” kenangnya.

Kanjeng Paku sempat berkuliah di Fakultas Sospol UGM sebelum kemudian memutuskan keluar karena biaya kuliah yang semakin tinggi. Ia mengaku menganggur tujuh tahun setelahnya, “Lalu saya dipanggil Gusti Purubaya, diminta jadi pemandu wisata. Saya mau. Itu bulan Oktober 1969.”

Menjaga Banjar Wilapa

Ia diangkat menjadi Abdi Dalem pada 2008 dan bertugas di Tepas Pariwisata. Selanjutnya ia mengajukan permohonan untuk mengabdi di Banjar Wilapa karena kegemarannya membaca. Di awal penugasannya, ia berkewajiban mengarsip majalah dan koran.

“Tahun 2014 saya ditetapkan sebagai Penghageng. Saya sendiri tak tahu mengapa. Bagi saya sendiri bekerja di Banjar Wilapa sama dengan membaca buku dan mencari pengalaman.”

Banjar Wilapa merupakan salah satu dari tiga perpustakaan yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta. Dua yang lain adalah Perpustakaan KHP Kridamardhawa dan Perpustakaan KHP WidyabudayaBanjar Wilapa di antaranya menyimpan buku dan majalah koleksi keluarga Sultan yang sudah tidak terpakai lagi. Selain itu banyak pula buku-buku tentang keraton yang ditulis oleh para penulis luar.

“Setahu saya Banjar Wilapa didirikan oleh Sri Sultan VIII, tapi namanya dulu Bibliotik Keraton,” Kanjeng Paku menerangkan. Awalnya perpustakaan ini didirikan untuk menyimpan buku-buku pelajaran putra-putri Sultan yang kebanyakan berbahasa asing. Kanjeng Paku dapat menyebutkan koleksi-koleksi itu dengan lancar, bukti kecintaannya pada pustaka.

Perpustakaan ini sempat berpindah tempat dari sebelah barat Kasatriyan ke timur Perpustakaan Widyabudaya. Menurut penuturan Kanjeng Paku, dalam proses perpindahan itu, buku-buku koleksi Banjar Wilapa banyak berkurang. Namun, perpustakaan ini, bersama dengan dua perpustakaan lainnya, tetap menjadi rujukan bagi para peneliti. Banjar Wilapa memang tertutup untuk wisatawan namun terbuka bagi siapa pun yang ingin mengakses informasi. “(Koleksi) tak boleh bawa pulang. Tetapi boleh difotokopi. Kami yang menggandakan dan pengunjung cukup ganti ongkos fotokopi. Kami tidak mencari untung. Ada kuitansinya. Yang kami ajarkan adalah kesungguhan.”

Lebih jauh Kanjeng Paku menegaskan, “Kita membutuhkan buku-buku dan kita juga harus membaca,” Ia mengajak teman-teman pemandu wisata dan siapa pun untuk gemar membaca agar mengalami perbaikan diri.

Kegemarannya membaca membuahkan keluasan wawasan dalam bidang sejarah dan budaya. Kanjeng Paku dapat menuturkan berbagai versi sejarah yang berlainan yang tertulis di sumber yang berbeda. Ia menyebut contoh, “Ada empat versi Babad Giyanti; Jogja, Solo, Mangkunegaran, dan Balai Pustaka.” Ia pun menyikapi perbedaan itu dengan bijak, “Bagi saya terserah saja kita percaya yang mana.”

Kanjeng Paku membuktikan membaca juga akan membuat kita lebih toleran dalam menghadapi perbedaan.