Nyi Mas Bekel Larasati, Sinden Muda yang Terus Belajar dan Berbagi

Sinden KHP Kridha Mardawa dalam International Gamelan Festival 2018

Menjadi Abdi Dalem adalah panggilan jiwa. Mungkin itulah yang dialami oleh Sri Wahyuningsih, pesinden profesional yang memilih untuk bergabung dengan keraton dan membaktikan diri meski ia sudah cukup sibuk dengan berbagai macam kegiatan.

Sri Wahyuningsih, atau biasa dipanggil Mbak Wahyu, diwisuda menjadi Abdi Dalem pada tahun 2016 dengan pangkat jajar, pangkat paling awal, setelah sebelumnya magang selama kurang lebih setengah tahun. Ia menjadi salah satu Abdi Dalem di Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Kridha Mardawa dan bertugas sebagai pesinden. Nyi Mas Larasati adalah nama Paring Dalem untuknya. Saat ini ia telah berpangkat bekel.

Tugas utama Mbak Wahyu adalah nembang pada pegelaran seni keraton, baik upacara peringatan ataupun penyambutan tamu. Selain itu, ia juga menjadi duta keraton dalam misi kebudayaan di luar negeri. Mbak Wahyu pernah dikirim mewakili keraton untuk pentas di Abu Dhabi. Tugas ini rupanya mengejutkan baginya. “Menurut hitungan saya, seharusnya saya belum berangkat karena banyak yang lebih senior belum berangkat (ke luar negeri),” tuturnya merendah.

Pesinden Hasil Pendidikan Formal

Salah satu yang membuat Mbak Wahyu menjadi sinden mumpuni pada usianya yang baru beranjak 30 adalah bekal pengetahuan karawitan yang ia dapatkan dari SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) dan ISI (Institut Kesenian Indonesia). Bekal pendidikan formal tersebut membuatnya mampu membawa diri sejajar dengan para senior.

Meski demikian, ia tetap rendah hati dan menyatakan belajar banyak dari keraton. Ia akui banyak gendhing keraton yang tak ia ketahui sebelumnya. “Saya jadi tahu kalau gending klasik itu seperti ini. Itu menambah wawasan. Ada cengkok-cengkok yang saya belum tahu.”

Sebagai Abdi Dalem, Mbak Wahyu bertugas dua hari dalam seminggu, kebanyakan untuk gladen atau berlatih. Selain itu, pekerjaan utamanya adalah mengajar di SMKI dan berpentas di berbagai tempat, termasuk di TVRI untuk acara Pangkur Jenggleng.

“Saya juga berekspresi di luar, selain (aliran) klasik. Itu untuk bekal saya mengajar dan mengasah kemampuan. Karena murid sekarang nggak percaya kalau gurunya aja nggak bisa (pentas),” tuturnya.

Berkat ketekunannya, sejak masih kuliah, Mbak Wahyu sudah melanglang buana hingga ke Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Amerika.

Di luar keraton, Mbak Wahyu bergabung dengan komunitas karawitan Laras Kawurya. Tetapi ia tidak menutup diri. Ia bersedia bergabung dengan kelompok mana pun selama ia bisa mendapatkan pengalaman.

“Saya apa pun mau. Kalau pun disuruh main ketoprak, ya saya mau. Pokoknya selama masih ada kesempatan, saya oke. Kalau tidak ada pengalaman saya tidak bisa mengajar. Saya juga pernah jadi sinden jathilan. Lomba juga pasti ikut,” ceritanya bersemangat.

Namun, secara tegas Mbak Wahyu memisahkan tugas di keraton dan pekerjaan di luar. Untuk itu ia mengaku tak mau menggunakan nama Nyi Mas Larasati bila tampil di luar karena membuatnya terbebani secara moral.

“Kalau di kraton saya jadi lebih anggun dan lebih njawani. Di luar lebih bebas, lebih entertain,” ia menjelaskan. “Saya bunglon, harus bisa menyesuaikan diri. Kalau di sekolah saya bu guru, di keraton saya Nyi Mas, di luar saya seniman.” Menurutnya menyandang nama Nyi Mas Larasati membawa konsekuensi hingga ke tingkah laku yang harus ia jaga. “Mungkin dengan berjalannya waktu saya mau dipanggil Nyi Mas, tetapi tidak sekarang.”

Salah satu tujuan mulia Mbak Wahyu dengan menjadi Abdi Dalem adalah menambah ilmu yang bisa ia tularkan kepada siswa-siswanya. Dengan demikian, dapat diharapkan seni tradisi khususnya tembang-tembang Jawa akan terus lestari di tangan generasi muda.

 

Ds C00077
Nyi Mas Larasati dalam pementasan di International Gamelan Festival 2018