KRT Condrowasesa, Mengajar Tari dan Menghidupkan Budaya

KRT Condrowasesa dalam Pementasan Tari di Amerika Serikat

Tak dinyana, di titik inilah nasibnya berbelok. Ia iseng mendaftar jurusan pendidikan seni tari di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) dan diterima. Belajar tari bukanlah hal baru baginya. Sejak belia ia sudah mengikuti ayahnya, KRT Condroredana yang juga Abdi Dalem, berlatih beksa di Kasatriyan keraton. Kegiatannya masa itu sangat padat. Pagi hari ia kuliah di IKIP, sore di APMD, dan malam belajar menari di Pujokusuman hingga kadang tak pulang.

Di Kridamardhawa, pria yang masih terhitung sebagai keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II ini bertugas sebagai pemucal tari beksa kakung. Ini sejalMemadukan budaya, manajemen modern, dan dunia akademis bukan perkara mudah. Beruntung Keraton Yogyakarta memiliki KRT Condrowasesa, Abdi Dalem KHP Kridamardawa yang bisa memadukan ketiganya.

Meski ayahnya berstatus sebagai penari keraton, Kuswarsyanto, demikian nama aslinya, awalnya tidak bercita-cita menjadi penari. “Sebenarnya saya ingin jadi sarjana hukum,” tuturnya. Kuliah di APMD (Akademi Pemerintahan Masyarakat Desa), ia mendapat tawaran bekerja di Kalimantan Tengah, namun sang ibu menangis tidak rela ia pergi.an dengan profesi utamanya sebagai dosen dan kepala jurusan pendidikan seni tari di kampus almamaternya. Tari klasik Jawa gaya mataraman merupakan mata kuliah utama yang ia ajarkan.

Keberadaannya di keraton dan kampus saling melengkapi. “Saya ingin mengembangkan budaya tidak hanya di dalam keraton, namun juga dalam bidang pendidikan.”

Ia sering mengajak mahasiswanya masuk Kasatriyan. Menurutnya atmosfer keraton akan memperkaya batin dan mendukung penguasaan teknis. “Tarian yang sama akan berbeda atmosfernya bila ditarikan di keraton dan menggunakan gamelan hidup.”

Sebaliknya ia juga menerapkan sikap intelektual dan professional ala akademisi untuk meningkatkan kualitas seni pertunjukan keraton. Apalagi seiring waktu, ia tidak hanya melatih tetapi juga mengkoordinir para mataya (penari). “Meski sudah menjadi penari keraton, mereka harus tetap ngudi sehingga kualitas kepenariannya semakin meningkat.”

 

Ds C00206
Dalam Pethilan Wayang Wong Umarmaya Umarmadi

 

Falsafah Tari yang Universal

Nyawiji, greget, sengguh, ora mingkuh. Filosofi tari keraton yang secara harfiah berarti menyatu, bersemangat, percaya diri, dan pantang menyerah diterapkan oleh KRT Condro Wasesa di mana pun.

“Falsafah ini bisa diterima sebagai sesuatu yang universal. Ketika saya menjabarkannya, mahasiswa senang sekali.”

Seolah sudah menjadi garis hidupnya untuk mengembangkan budaya, peran Condrowasesa terus meluas. Di tempat tinggalnya ia ditunjuk sebagai ketua Rukun Kampung dan membangun kampung budaya. Sementara di Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarya, ia menjadi ketua satu bidang adat tradisi.

Seolah belum cukup, ia juga membuka sanggar tari dengan nama ayahnya, Condroredana. Dengan bangga ia menunjukkan foto Sultan sewaktu muda diajar menari oleh sang ayah. Sanggar itu sendiri diniatkan untuk menumbuhkan kepekaan wiramawiraga, dan wirasa anak-anak sejak dini. “Untuk pembentukan karakter. Soal jadi penari itu urusan pribadi.” Ia telah berjanji kepada Sri Sultan untuk mengembangkan 3 B –Basabeksa, dan batik di sanggar tersebut.

Tumbuh bersama Keraton Yogyakarta

Pengalaman Condrowasesa bersama keraton tak terhitung banyaknya. Ia pernah dipercaya oleh keraton menjadi sutradara wayang wong menggantikan ayahnya. Wayang wong tersebut ditampilkan dalam peringatan Jumenengan Dalem dan melibatkan putri-putri Sultan. Ia juga pernah terbang ke Amerika Serikat mewakili keraton sebagai duta seni dan menari di lima kota di sana.

Sementara itu, karier akademisnya terus maju. Dengan terharu ia menyatakan tak menyangka bisa meraih gelar doktor dan kini tengah berjuang untuk mencapai posisi guru besar.

“Kalau saya bisa menjadi guru besar, saya akan menulis tentang joged mataram. Gelar itu akan saya berikan kepada keraton sebagai cikal bakal saya berkesenian,” angannya.

Bulan depan ia akan menjadi salah satu narasumber dalam Simposium Internasional Budaya Jawa dan Naskah Keraton Yogyakarta. Dalam peringatan 30 tahun bertakhtanya Sri Sultan HB X ini, ia akan membahas Beksan Lawung Ageng yang menjadi keahliannya.

Dengan segudang pencapaian tersebut, kerendahatian selalu menjadi cirinya. Hal ini ia akui sebagai buah tantangan di kampus dan gemblengan di keraton. Ia memegang prinsip menang tanpa ngasorake ngluruk tanpa bala; yang secara harfiah berarti menang tanpa merendahkan (lawan) dan (berani) menghadapi lawan tanpa pasukan, dan urip kuwi dingo urup; hidup harus menerangi alias memberi manfaat.

Ia memiliki idealisme bahwa kompetensi harus menjadi dasar bagi majunya bakat-bakat muda di keraton tanpa memandang pangkat sehingga cita-cita besarnya, yaitu kemampuan Kridamardhawa memproduksi karya dari naskah lama secara mandiri, dapat terwujud.

 

Pementasan Keraton Yogyakarta tahun 2018 di Asia Society, New York, Amerika Serikat.