Mas Bekel Surakso Hargolawu, Pelestari Tradisi di Gunung Lawu

Mas Bekel Surakso Hargolawu, Abdi Dalem Juru Kunci Petilasan Gunung Lawu

Gunung Lawu di Karanganyar merupakan salah satu petilasan yang punya pertalian historis dengan Keraton Yogyakarta. Gunung ini dipercaya sebagai tujuan terakhir Raja Majapahit, Brawijaya V, ketika menyingkir dari serbuan musuh. Raja tersebut dianggap salah satu leluhur pendiri keraton Yogyakarta. Untuk itulah setahun sekali, menurut kalender Jawa, diadakan Labuhan di sebuah petilasan yang teletak di gunung ini. Upacara tersebut dilaksanakan dalam rangka peringatan Jumenengan Dalem atau penobatan sultan.

Sebagai petilasan, Gunung Lawu dijaga oleh Abdi Dalem Juru Kunci yang kini berjumlah sebelas orang. Mereka bertugas merawat petilasan dan menjadi pelaksana utama upacara Labuhan.

Mas Bekel Surakso Hargolawu sudah menjadi Abdi Dalem Juru Kunci di Gunung Lawu selama 22 tahun. Pria bernama lahir Daryono Patmowiyono ini “mewarisi” kedudukan tersebut dari kakeknya, meski tidak ada aturan garis keturunan untuk menjadi juru kunci.

Dengan pembawaan yang tenang dan tutur kata halus, pria kelahiran 1970, ini menjelaskan bahwa ia tergerak menjadi Abdi Dalem karena bertekad merawat budaya Jawa sesuai pesan orangtuanya sekaligus “ngalap berkah”. Selain menjadi juru kunci, ia juga bekerja sebagai tukang bangunan dan dapat membagi waktunya tanpa kesulitan.

“Setelah menjadi Abdi Dalem saya merasa mendapat berkah dari segi kejiwaan dan ekonomi. Soal ekonomi, sedikit banyak harus disyukuri,” tuturnya bijak. “Sewaktu masih dalam kandungan, Tuhan sudah menggariskan jalan hidup kita. Itu semua titah. Kita harus mengelolanya agar hidup berjalan mudah.”

Labuhan Lawu

Pada dasarnya upacara Labuhan diadakan untuk mengucap syukur dan memanjatkan doa keselamatan serta kesejahteraan dengan simbol penyajian ubarampe. Upacara ini diadakan di beberapa petilasan, seperti Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, Perbukitan Dlepih, dan Gunung Lawu. Di Gunung Lawu, ubarampe dibawa ke puncak gunung untuk didoakan dan dibawa turun kembali.

“Utusan keraton tiba kira-kira jam delapan pagi di pendapa Bupati. Sekitar jam sebelas, dinas terkait menerima (utusan itu). Nanti ada upacara sampai selesai, lalu (ubarampe) diarak sampai padepokan. Setelah itu dilakukan upacara serah terima dari utusan Ngarsa Dalem ke pegawai Muspika dan teman-teman juru kunci. Sorenya diadakan selamatan.” Demikian Surakso Hargolawu menerangkan awal rangkaian upacara Labuhan.

Para Abdi Dalem juru kunci akan mengantarkan ubarampe tersebut ke puncak Gunung Lawu pada tengah malam. Perjalanan tersebut memakan waktu kurang lebih tujuh jam. Mereka harus sampai di sana saat pagi menjelang.

“Alhamdulillah tak sampai jam sembilan pagi biasanya kami sudah kembali,” tutur Surakso. Ia dan rekan-rekannya tidak merasa prosesi itu melelahkan. “Semua kembali pada niat dan tekad. Kalau dikatakan berat ya berat, tetapi dengan niat (prosesi) bisa berjalan dengan lancar.”

Dukungan Masyarakat dalam Melestarikan Kebudayaan

Menyadari pentingnya Gunung Lawu dan Labuhan, masyarakat sekitar memberikan tanggapan positif terhadap ritual ini. Menurut Surakso, setiap kali kirab diselenggarakan, partisipasi masyarakat sangat tinggi. Dinas-dinas terkait juga mendukung, termasuk dalam hal dana. Hal ini dikarenakan kirab Labuhan juga memajukan pariwisata.

Surakso berharap ritual Labuhan dan kebudayaan Jawa pada umumnya tetap dilestarikan. “Karena selain untuk menghibur masyarakat, (Labuhan) juga membuat masyarakat menjadi lebih mengerti soal adat istiadat.” Ia memiliki gagasan agar upacara semacam ini disesuaikan dengan perubahan zaman. Tujuannya agar menarik minat generasi muda dan mendorong mereka mencintai budaya Jawa.

“Semoga Labuhan mendatangkan berkah, dari semua Abdi Dalem Keraton Yogyakarta lumeber ke masyarakat sini, terhindar dari musibah. Yang penting tahun depan apa yang sudah berjalan mari kita perbaiki lagi,” pungkasnya.


 
Labuhan Ageng Dal 1951 (2017 Masehi)