Mas Jajar Cermogupito, Dalang Muda Pewaris Nilai Budaya

Mas Jajar Cermogupito

Sebagai pusat kebudayaan Jawa Mataram, keraton Yogyakarta menyimpan banyak benda budaya bernilai tinggi. Salah satunya, wayang kulit yang ribuan jumlahnya. Menyadari pentingnya penyelamatan pusaka ini, keraton Yogyakarta memulai proyek besar pendokumentasian wayang kulit dengan membentuk tim dokumentasi yang dimotori oleh para dalang.

Bayu Aji Nugraha, dalang muda lulusan Institut Seni Indonesia, terpilih sebagai salah satu yang terlibat dalam pekerjaan ini dan menerimanya sebagai panggilan hati.

Bayu mulai bergabung dengan status sowan bekti Februari 2019. Ia baru diwisuda sebagai Abdi Dalem pada tanggal 18 Juni pada tahun yang sama. Nama Paring Dalem yang disandangnya adalah Mas Jajar Cermogupito. Rupanya ini jawaban atas ketertarikannya untuk mengabdi pada keraton dan seni budaya secara luas.

“Saya ditawari untuk mendokumentasikan wayang Kagungan Dalem oleh senior saya, dalang Susila Madya.”

Dunia Abdi Dalem bukan hal baru bagi Bayu karena kakek serta ayah ibunya adalah Abdi Dalem keraton. Namun menurut Bayu mereka bersikap biasa-biasa saja terhadap keinginannya mengikuti jejak mereka. “Mendorong tidak, melarang juga tidak.”

Darah dalang memang mengalir deras di keluarga besarnya. Kakek Bayu, Mas Wedana Cermokubita, tidak hanya dalang di atas panggung namun juga mengajar pedalangan. Dua pamannya juga dalang yang masing-masing mengajar di Senawangi (Sekretariat Nasional Wayang Indonesia, Jakarta) dan Sekolah Pedalangan Habirandha, Keraton Yogyakarta.

Pendokumentasian Wayang Kulit Keraton

Keraton Yogyakarta memiliki sekitar selusin kotak wayang yang masing-masing berisi sekitar 250 buah wayang. Pendokumentasian dalam bentuk digital menjadi keharusan agar harta ini lestari dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Wayang-wayang tersebut akan difoto, diberi deskripsi, dan dilengkapi dengann data mengenai wayang itu sendiri. ”Kami membuat format data yang baru. Agak sulit karena tidak menjiplak deskripsi wayang yang ada.”

Gambar-gambar wayang memang banyak bertebaran di internet, namun sangat sedikit yang kualitasnya bisa dijadikan referensi. “Gambar harus proposional karena wayang kulit itu dua dimensi. Jadi fotografer harus kerja keras,” tutur dalang yang tinggal di Ambarketawang ini.

Lebih lanjut ia menerangkan bahwa ada dua data yang dimasukkan yaitu data subyektif dan obyektif. Data subyektif diperoleh dari penuturan lisan, sementara data obyektif didapatkan dari “pelemahan” (bagian bawah) wayang itu sendiri. “Di kedua kaki (wayang) terdapat lajur merah. Ada aksara jawa kecil-kecil di sana. (Kami) terpaksa belajar lagi karena banyak aksara jawa murda.” Aksara murda adalah huruf khusus yang berfungsi seperti huruf kapital.

“(Semua deskripsi) diusahakan sesuai, seperti nama, wanda, dan sungging (warna).” Wanda atau karakter wajah yang dikaitkan dengan adegan tertentu. “Misalnya wanda Gatotkaca untuk jejer dan perang itu beda. Kalau mau perang dia agak mendongak, kalau jejer menunduk.” Deskripsi lain yang harus termuat adalah bahan wayang, kondisi, bentuk anggota tubuh, hingga aksesoris yang ia kenakan.”

Meski digarap oleh sekitar lima belas orang, proyek yang dimulai Februari 2019 ini tetap merupakan pekerjaan berat karena diharapkan dalam satu setengah tahun semua wayang selesai terdata. Sementara para dalang sendiri tetap memiliki tugas rutin seperti pemeliharaan wayang dan tampil dalam pertunjukan.

Melestarikan Kebudayaan Tanpa Sekat

Di luar keraton, Bayu yang baru saja menikah ini bekerja di Institut Seni Indonesia sebagai asisten dosen dalam mata kuliah praktik di jurusan pedalangan. Selain itu ia juga sering pentas baik mengiringi dalang senior atau tampil tunggal.

Kesibukannya sangat padat, namun di sela-sela waktunya ia masih berusaha memenuhi impiannya mengumpulkan dokumen-dokumen dan buku peninggalan sang kakek terkait pedalangan. Bagi Bayu itu semua bisa jadi sumber pelajaran. Menurutnya, seorang dalang tak boleh berhenti belajar karena pelestarian harus dilakukan dengan peningkatan keterampilan.

Untuk itulah ia bertekad meneruskan kecintaan budaya pada generasi selanjutnya, salah satunya dengan meneruskan kuliah S2 sebagai syarat untuk menjadi dosen kelak. “Keterampilan harus bisa dipertanggungjawabkan di kalangan umum dan diajarkan pada generasi penerus.”

Bayu Cermo 1