Mas Penewu Susilomadya, Pembaharu Karawitan Keraton Yogyakarta

Mas Penewu Susilomadya

Sumanto, demikian nama asli Mas Penewu Susilomadya, tidak terlahir di keluarga seniman atau Abdi Dalem. Bersekolah di STM Pembangunan jurusan konstruksi, ia tak punya bayangan bakal menjadi pengrawit. Namun justru di situlah ia pertama kali jatuh cinta pada gamelan. Di sekolahnya, ia mengikuti ekstrakurikuler karawitan dan semenjak itu jalan hidupnya berbelok. Selulus STM, alih-alih bekerja di industri seperti bayangan orangtuanya, ia justru memilih kuliah di ISI jurusan karawitan. Orangtuanya sempat menentang, namun ia tak berhenti.

Sentuhan Modernitas Karawitan Keraton

Sekitar tahun 1999, saat masih menjadi mahasiswa, Susilomadya dan teman-temannya kadang mengulas kualitas pertunjukan uyon-uyon (tembang) yang diadakan keraton tiap Selasa Wage. “Menurut kami kaidahnya kurang pas, baik cara menata musiknya atau teknik tabuhannya. Tetapi kalau sekadar menggunjing tak akan menyelesaikan masalah. Itulah mengapa akhirnya saya mendaftar jadi Abdi Dalem,” tuturnya.

Tahun itu pula ia mulai sowan bekti. Setelah menjalani magang selama delapan tahun ia baru diangkat sebagai kanca, pada 2009 ia akhirnya diangkat sebagai Abdi Dalem di bagian karawitan. “Waktu itu saya jadi Abdi Dalem termuda, mungkin juga Abdi Dalem pertama yang bergelar sarjana di Kridhamardawa.”

Konsisten dengan tekad semula, Susilomadya segera melakukan perbaikan. Mengumpulkan dan mengetik notasi adalah langkah awalnya. “Saya ditugasi untuk mengetik karena dulu semua (notasi) masih ditulis tangan.” Tak sampai di situ, ia menggali informasi dari Abdi Dalem yang berusia lanjut. Ia mencatat semua notasi yang ia dapatkan.

Ia melangkah lebih jauh dengan membuat perubahan besar, menyodorkan notasi kepada pengrawit. Sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan partitur, “Tetapi saya berpikiran lain, kalau kita tidak pakai notasi, kita nggak bakal kompak, nggak bakal punya musikalitas yang sama karena masing-masing otak kita berbeda.” Perubahan itu tidak mudah diterima, tetapi akhirnya kekukuhannya terbukti membawa manfaat. Pada 2007 saat gamelan Sekaten disiarkan melalui streaming ke Perancis, alunan gamelan yang padu menggema ke seluruh dunia.

Pranata Gending

“Saya ingat waktu jadi kanca, saya memainkan suling selama lima atau enam tahun. Setelah itu saya dipercaya bermain demung, lalu gender, setelah itu jadi penata iringan.” Di awal-awal pengabdiannya, Susilomadya mengaku mendapat banyak bimbingan dari empu-empu karawitan. “Saya merasa ilmu karawitan itu ada di keraton dan ternyata benar.”

Kini tak terhitung lagi gending yang sudah ia aransemen. Gending yang diperdengarkan di keraton tiap Selasa Wage merupakan buah karyanya. Iringan tari yang dipentaskan pada hari yang sama juga merupakan tanggung jawabnya. Tak pelak ia harus berkoordinasi dengan semua lini di KHP Kridhamardawa. “Saya harus berkoordinasi dengan kanca mataya (penari). Saya jemput bola; nanti iringannya bagaimana, jalannya bagaimana. Saya juga harus membantu persiapan di Srimanganti bila ada pentas untuk wisata.” Istimewanya, ia pun dipercaya untuk menata gending pengiring tari Bedhaya Tirta Hayuningrat karya Sri Sultan Hamengku Buwono X serta Gendhing Gerongananggitan beliau yang terbaru.

Belum lama ini Susilomadya mendapat tugas tambahan untuk mendampingi kanca dalang memelihara koleksi wayang keraton. “Saya harus mengecek; konsepnya bagaimana, apa ada yang harus diubah. Wayang Kagungan Dalem harus terfoto semua, data-datanya harus ada semua. Kami wajib meng-upload di website Kraton Jogja. “

Pengabdian Penuh

Demi menjalankan semua tanggung jawabnya, Susilomadya dengan penuh kesadaran undur diri dari semua profesinya di luar keraton. “Secara resmi saya sudah meninggalkan semuanya. Saya dulu pengrawit profesional. Sekarang sudah stop. Saya ndalang beberapa kali, lalu berhenti. Saya juga mengajar di UGM dan ISI, tetapi juga sudah saya hentikan. Saya pernah menulis empat atau lima buku tetapi karena kesibukan di Kridhamardawa, juga tak sempat lagi. Fokus di keraton.”

Namun, ia masih memegang jabatan di beberapa komunitas pedalangan, seperti di Paguyuban Dalang Muda Sukra Kasih dan PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) Yogyakarta. Perhatian Susilamadya terhadap wayang memang begitu besar hingga hobinya di rumah pun tak jauh-jauh dari mengoleksi wayang dan gamelan, yang sebagian ia pinjamkan kepada komunitas karawitan.

Ia optimistis budaya adiluhung milik bangsa ini akan terus terjaga. “Meski nggak mungkin 100% akan digandrungi semua anak muda, tetapi saya tidak khawatir. Mari kita jaga dengan cara masing-masing.” Ia memiliki mimpi keraton menjadi jendela budaya Yogyakarta. Ini akan tercapai, menurutnya, bila keraton membuka diri. “Tak hanya membuka diri namun juga menjalin komunikasi dengan luar keraton sehingga ada sinergi yang baik. (Keduanya harus) saling melengkapi hingga terbentuk atmosfer berkesenian yang sehat dan modern. Kalau sehat dan modern cepat majunya.”

Mp Susilomadyo 5
Mas Penewu Susilomadya di Bangsal Kasatriyan