Nyi Raden Wedana Kismaretnapuspita, Jiwa Milenial di Keraton Yogyakarta

Witing tresna, jalaran saka kulina. Cinta bisa tumbuh karena interaksi terus menerus. Agaknya inilah latar belakang terpanggilnya RA. Nadia Ayu Cahyaningtyas untuk mengabdikan diri di Keraton Yogyakarta pada usia yang masih terhitung belia.

Dara ayu yang ramah ini sudah akrab dengan keraton sejak kecil. Ia memang masih memiliki pertalian darah dengan keluarga keraton. Eyang buyutnya adalah istri Sultan Hamengkubuwana VIII dengan nama  paring Dalem Retna Puspita. 

Saat diwisuda menjadi Abdi Dalem 12 Januari 2018, Nadia berbangga karena nglungsur nama sang nenek buyut. Nama Paring Dalem yang disematkan padanya adalah Nyi Raden Wedana Kismaretnapuspita. Ia ditugaskan di Panitikismo, tepas yang mengurus tanah-tanah milik keraton (Sultan Ground).  

Figur 2

Panggilan dari Leluhur

Orang-orang dekat Nadia rupanya banyak berkecimpung di keraton. Kakak perempuannya adalah penari di Yayasan Siswo Among Bekso dan sering menari di keraton. Almarhum eyang kakungnya (kakek) dulu adalah penghageng (kepala) tepas Wahana Sarta Kriya. 

Sang eyang meninggal sebelum Nadia lahir, namun rupanya justru dialah yang ‘memanggil’ jiwa Nadia untuk meneruskan karyanya di keraton. Nadia mengaku ingin mengenal kakeknya lebih dekat dengan bekerja di keraton. 

“Waktu aku masuk Panitikisma, banyak yang bilang ‘Oh, ini cucunya Gusti Hadiwidjojo. Banyak cerita mengalir tentang eyang yang alhamdullilah bisa dijadikan panutan. Banyak cerita baik tentangnya.”

Begitu lulus kuliah di tahun 2017, Nadia segera mengajukan lamaran pekerjaan di berbagai perusahaan. Namun tidak ada yang sreg di hatinya. “Lalu aku punya pikiran untuk kerja di keraton. Pas aku sudah tes di suatu perusahaan dan dapat panggilan, jarak beberapa jam, ayahku mendapat dawuh dari Gusti Hadiwinata agar aku ngayahi di keraton.”

Menuruti panggilan jiwanya, Nadia memilih bekerja di keraton “Pekerjaan di Panitikisma seperti ‘kuliah’ geografi dan hukum. Itu menjadi tantangan tersendiri bagiku yang lulusan ekonomi manajemen.”

Selain itu karena sejak kecil Nadia terbiasa melihat kakaknya menari di keraton, ia memiliki ketertarikan khusus pada kebudayaan keraton. “Wah kalau aku kerja di keraton, aku bisa melihat tari tiap hari,” tutur dara yang banyak tertawa ini mengenai latar belakang pilihannya. 

Figur 4 (1)

Panitikisma dan Wahana Sarta Kriya

Di panitikisma Nadia menjadi Abdi Dalem termuda dengan tugas yang tak bisa dibilang enteng. Ia harus mendigitalisasi semua data terkait tanah-tanah keraton. Sebagai generasi milineal ia dianggap lebih mampu berurusan dengan teknologi informasi. Ia juga menangani permohonan penggunaan sultan ground dari berbagai pihak, “Ada yang memperpanjang, permohonan baru, lintiranliyeran. Yang itu masih manual, belum pakai komputer. Namun ke depan semua akan dikomputerisasi.” Ini termasuk membalas proposal terkait penggunaan alun-alun dan pagelaran. Event-event tertentu seperti jamuan makan malam untuk Sri Sultan Hamengkubuwana X dan tamu-tamu beliau juga menjadi bagian tugasnya. 

Dua bulan bekerja di panitikisma, Nadia diberi tugas tambahan di tepas Wahana Sarta Kriya. Di sini ia mulai diajari oleh para senior untuk ladosan, menyajikan sajen pada hari-hari tertentu, dan caos dhahar setiap hari. “Jadi di panitikisma aku kerja jam 9-13.30, lalu lanjut sampai jam 4 di Wahana Sarta Kriya,” terangnya. 

Apresiasi Budaya

Nadia mengaku tak memiliki hobi khusus. Begitu selesai bekerja, Nadia lebih suka berkumpul dengan teman-teman dan keluarganya. Namun seperti generasi milineal lainnya, Nadia menggemari drama Korea dan akan menyempatkan diri untuk berwisata ke Korsel yang ia sebut sebagai salah satu mimpinya.

Impiannya  yang  lain adalah melihat kebudayaan keraton menjadi panutan dunia. Meski tidak menjadi pelaku, Nadia berkeinginan kuat untuk terus mempromosikan kekayaan keraton dengan cara menceritakan nilai luhur keraton kepada masyarakat yang bertanya padanya serta mengundang teman-temannya untuk menyaksikan pertunjukan keraton secara langsung. 

Perempuan muda ini sudah merasa menemukan tempatnya di keraton.  “Di keraton ada bahasa bagongan. Jadi tiap hari dapat sesuatu yang baru untuk dipelajari. Paling tidak, saya dibiasakan memakai bahasa krama alus.”

Untuk teman-teman milinealnya, ia berpesan, “Setiap ada kesempatan yang datang, setiap ada tugas yang lebih menantang, jangan pandang itu sebagai zona berbahaya. Pandanglah itu sebagai zona untuk belajar dan berkarya.”

Figur 4