RM Pramutomo

Mengabdi pada keraton merupakan panggilan hati. Tak heran, para pengabdi ini datang dari berbagai latar belakang kondisi dan profesi. Salah satu yang terpanggil untuk mengabdikan diri adalah RM Pramutomo. Pria kelahiran tahun 1968 ini adalah penari, dosen dengan gelar doktor, dan penulis buku dengan berbagai jabatan di sana sini.

Pramutomo telah menjadi bagian keraton sejak usia 17 tahun. Saat itu ia tergerak melihat lima sepupunya telah bergabung dengan pasukan keprajuritan keraton. Ia mengaku bergabung dengan keprajuritan keraton karena ingin bergaul dengan orang-orang dari berbagai kalangan. Baginya itu semua adalah sumber ilmu, dan ilmu-ilmu itu hanya bisa didapatkan bila dijalani.

Walau mendapat tawaran pangkat yang lebih tinggi, namun ia memilih untuk memulai dari Jajar, pangkat yang paling rendah. Struktur keprajuritan membuat prajurit berpangkat rendah lebih sering menerima perintah, namun Pramutomo menjalaninya dengan penuh kesadaran. Ia ingin merasakan proses dari yang paling rendah. “Kalau kamu didhawuhi (diperintah) prajurit yang lebih tinggi (pangkatnya), kamu harus menurut.” Menurutnya, ini salah satu bentuk pembelajaran.

Lama ia menjadi Jajar sebelum akhirnya menjabat Sersan Towok di Bregada Nyutra. Menggantikan kakaknya yang meninggal, tahun 1997 ia menjadi Wedana Surakarsa, melompati dua tingkat pangkat. Setelah itu ia menjabat kapten di Bregada Prawiratama dan hingga kini menjabat sebagai Pandhega.

Dalam kesehariannya, Pramutomo adalah dosen jurusan seni tari di Institut Kesenian (ISI) Solo. Lulus dari ISI Yogyakarta jurusan Seni Tari, ia melanjutkan S2 dan S3 pada program paska sarjana UGM dan mendalami studi seni pertunjukan. Pada masa-masa inilah ia sering mengenyam pendidikan luar negeri, salah satunya Culture and Performance Studies di University of California, AS.

Selain mengajar, ia juga seorang seniman pertunjukan tari dan wayang wong. Kepiawaiannya menari membawanya tampil di berbagai negara, termasuk Jepang, Australia, Chekoslovakia, Thailand, Peru, dan Chile. Dari berbagai pertunjukan, pertunjukan di Monaco meninggalkan kesan paling mendalam karena ia tampil sangat dekat di depan Putri Monaco Caroline yang jelita.

Selain mengabdikan diri pada seni tari dan pertunjukan, Pramutomo merawat budaya dengan menulis berbagai buku yang berkaitan dengan seni tari dan kebudayaan seperti “Antropologi sebagai Basis Disiplin Etnokoreologi” (2005), “Penulisan Kritik Tari” (2007), dan “Langendriya: Dramatari Opera Gaya Yogyakarta” (2014) serta masih banyak lagi buku, jurnal ilmiah, dan essai lainnya.

Rm Pramutomo 1
RM Pramutomo dalam Hajad Dalem Garebeg

Estafet Kebudayaan

Pramutomo menyadari bahwa zaman berubah. Karakter stakeholder, demikian ia menyebut generasi sekarang sebagai pemangku kepentingan, juga mengalami perubahan. Oleh karena itu kebudayaan pun memerlukan penyesuaian, “Keraton adalah sumber sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan ini harus dipegang bersama namun disesuaikan dengan peserta atau stakeholder zaman ini, tanpa mengurangi banyak atau mereduksi standar sistem pengetahuan yang diwariskan turun temurun tersebut.”

Separo iding, atau kompromi, itulah yang ia sarankan. “Kita harus memilah apa yang harus distandarkan.” Pramutomo optimistis mayoritas generasi muda sekarang akan tetap menghargai budaya karena mereka mendapatkan transformasi pendidikan yang baik di sekolah.

Keluarga yang Demokratis

Pramutomo mungkin merupakan cermin perpaduan tradisi dan modernitas yang ideal. Ia menjadi contoh generasi yang memegang tradisi sekaligus aktif di media sosial. Dalam keluarganya pun ia menerapkan nilai-nilai demokrasi, seperti membebaskan anaknya memilih minat yang hendak dijalani. Ia menganggap kedua anaknya setara dalam berdialog. “Penghormatannya hanya penghormatan antara bapak-ibu dan anak.”

Sang istri, Dwi Rahayuningsih, yang juga berprofesi sebagai penari, penulis, dan seniman serba bisa juga sepakat mendidik anak tanpa membebankan target tinggi pada mereka.

Sementara untuk rekan-rekannya dalam keprajuritan, Pramutomo tidak memiliki harapan yang muluk. “Sudah cukup dibiarkan saja. Prajurit itu kuncinya cuma satu, rukun, ayem, tentrem.” Bisa jadi kunci inilah yang menjadikan para Abdi Dalem prajurit tetap lestari dalam menjalankan amanat mereka.