Mas Jajar Kusworogo, Merawat Budaya Lewat Olah Suara

Lebdaswara mungkin belum sepopuler sindhen, padahal keduanya mengacu pada profesi yang sama, yakni pelantun tembang Jawa dan bersinergi dengan irama karawitan. Perbedaannya, lebdaswara digunakan untuk menyebut penembang putra. 

Mas Jajar Kusworogo adalah salah satu pelaku profesi lebdaswara, yang mengawali karier ini tanpa direncanakan. Sering diajak teman-temannya mengisi suara untuk iringan pertunjukan beksan atau tari, Mas Kus –panggilan akrabnya—mulai berlatih vokal dan mempelajari lagon-lagon beksan. Dengan latar belakang pendidikan pedalangan, lagu-lagu Jawa tak asing baginya. Mas Kus dengan cepat menyesuaikan diri.

“Saya (sekolah) di SMKI Jurusan Pedalangan. Terus di ISI juga pedalangan. Di dalam proses itu kan sering kita wayangan, nah saya didapuk gerong (vokal bersama). Dari situ dapat sangu (bekal) materi ini, terus diajak teman mengiringi tari. Oh, lagon (salah satu jenis tembang) tari itu begini, nah dari situ saya belajar,” Mas Kus mengisahkan awal mula menyelami bidang tarik suara yang terbilang unik ini. 

Jajar Kusworogo 01

Terpikat Budaya Jawa

Sejak kecil pria bernama asli Hendy Prasetya ini menyukai kesenian Jawa. “Saya senang kebudayaan, tapi nggak ada turun seni, cuma dari kecil senang nonton wayang di TV, nonton apa sajalah yang berbau-bau Jawa,” tuturnya.  

Krenteg (keinginan kuat) untuk menjadi Abdi Dalem juga sudah muncul dalam dirinya sejak belia. Orang tua mendukung niatnya karena tahu persis sejak kanak-kanak Hendy menunjukkan minat terhadap Keraton Yogyakarta. Prosesi Sekaten selalu dihadiri Mas Kus, upacara garebeg pun juga tak pernah dilewatkan. Adagium “keinginan akan menemukan jalan” mewujud dalam perjalanan hidup Mas Kus. Setelah beberapa kali terlibat dalam pementasan di keraton, Mas Kus menjalani sowan bekti selama kurang lebih setengah tahun dan akhirnya diangkat menjadi Abdi Dalem Lebdaswara pada 2020. 

Tidak mudah memahami seluk beluk dunia lebdaswara karena berkaitan dengan teknis pembawaan tembang dalam khazanah karawitan Jawa, hal ini berbeda dari lagu pada umumnya. “Lebda itu tampil bila ada penyajian gendhing lirihan dan beksan. Kalau di lirihan ada bawa swara namanya, ada bawa swara sekar ageng, sekar tengahan dan sekar macapat. Lalu ada bagian-bagian gendhing yang harus ditembangi atau digerongi istilahnya. Apabila di tari, ada lagonkawin sekar, dan ada-ada (salah satu jenis tembang),” jelas Mas Kus. Saat ini ada sekitar 20 Abdi Dalem Lebdaswara di keraton yang tampil bergiliran dalam kelompok-kelompok. 

Selain menyukai budaya Jawa, Mas Kus tergerak mengabdi di Keraton Yogyakarta karena hasrat menimba lebih banyak ilmu. “Saya itu orang Jogja. Di sini ada keraton. (Saya ingin tahu) kayak apa keraton itu, bagaimana unggah-ungguh di dalamnya, terus berbagai ilmunya. Walau saya di golongan lebda, ilmunya tidak cuma soal lebda, cara nembang atau cara lagon dan sebagainya, tapi lebih ke ilmu universal saling ngemong, saling unggah-ungguh tadi.” 

Untuk menjadi lebdaswara yang baik, menurutnya kita harus mengerti karakter instrumen gamelan atau cengkok-cengkok tabuhan serta runtutnya nada. “Dalam gendhing ada (pola gendhinglambadados, pangkat ndhawah terus ndhawah, nah pas ndhawah itu ada gerongan, ada tembangnya sendiri. Jadi ada strukturnya. (Kita) harus mengerti cengkok-cengkok tabuhan, cengkok rebaban-nya gimana, genderan-nya gimana. Ini garap-nya kecil atau tengah atau gedhe.”

Mas Kus melanjutkan dua hal penting dalam pembawaan tembang adalah keutuhan kata dan penjiwaan. Apalagi di lagon beksan yang mengandung cerita. “Kalau cuma membaca (teks lagu) itu kurang, jadi paling tidak harus hafal. Biar kita bisa lihat tarinya, tidak begini (menunduk membaca teks) terus.”

Yang juga harus diutamakan adalah kekompakan dengan sesama lebda karena dalam pagelaran, pelantun tembang pria ini nyaris selalu tampil dalam kelompok. “Cengkoknya harus sama dengan teman-teman kanca lebdaPedhotan-nya di sini, temponya segini.” Untuk itu latihan bersama dan diskusi sangat vital.  

Mas Kus lebih tertarik pada gendhing-gendhing pengiring tari karena iramanya seakan membangkitkan imajinasi hingga mendorong kita ikut menari. Salah satu gendhing favoritnya adalah iringan Beksan Lawung. “Lawung itu kan Yasan Dalem (karya) Sri Sultan HB I. Dari lagon-nya sudah gereget, iringannya naik. Jadi menimbulkan semangat, wah kayaknya harus sumanggem (siap sedia).”

Pentas di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi pengalaman yang paling berkesan baginya. “Kita pentas di hadapan Ngarsa Dalem itu kan bombong-nya (rasa bahagia) tidak bisa digambarkan.” Sementara pengalaman paling mengharukan bagi laki-laki penyuka tokoh Arjuna ini adalah saat terlibat dalam pementasan tari Golek Menak di Purworejo, “Kita (ber)hari-hari latihan terus, gladhen terus, lalu bisa menampilkan maksimal itu lega banget. Di luar ekspektasi.”  

Jajar Kusworogo 02

Pelaku Seni

Di luar keraton, Mas Kus menjalani peran sebagai pelaku seni seutuhnya. Selain menjadi penembang, Mas Kus acap kali menabuh gamelan dalam pementasan wayang atau ketoprak. Terkadang Mas Kus mengisi suara untuk kepentingan video pertunjukan wayang. Tak hanya di seputar Yogyakarta, Mas Kus menjelajah hingga ke luar kota untuk memenuhi undangan tampil dalam suatu acara. 

Laki-laki yang paling senang menabuh kempul ini menempuh semua tugasnya dengan gembira karena di situlah renjana atau passion-nya. Bahkan hobinya pun tak jauh-jauh dari memetri budaya Jawa, seperti mengoleksi keris dan kain batik. 

Dari pekerjaan dan hobinya, Mas Kus memetik banyak hikmah yang bersumber dari budaya Jawa. “Kita saling menghormati (terutama kepada) yang lebih sepuh,” ujarnya, “Kita sebagai kawula muda di sini tidak bisa terus cuma mengandalkan kepintaran atau skill saja, tapi unggah-ungguh dan tata krama harus diutamakan.” Mas Kus juga menerapkan prinsip-prinsip filosofi Jawa seperti memayu hayuning bawana atau memelihara keindahan dunia. “Itu yang paling saya pegang. Kalau tidak dipegang, alam ini pasti sudah nggak karu-karuan.” 

Berhubungan dengan profesi pembawa suara, menjadi lebda di keraton mengajarinya untuk menakar rasa. Sebelumnya Mas Kus terbiasa nembang dengan sora atau keras. “Kalau di keraton itu gimana ya, sora tapi tidak keras sekali. Ada filternya, pelannya segini, tebal tipisnya segini. Itu saya terapkan di luar keraton juga.” Perubahan lain yang Mas Kus rasakan adalah jiwa yang lebih menep dan kebiasaan menjaga sikap, termasuk lebih disiplin, dan lebih rajin. Batin pun otomatis lebih tenteram. 

Apresiasi Budaya

Mas Kus berharap anak-anak muda makin tertarik untuk merangkul budaya bangsa. “Marilah kita mengakui budaya kita, tidak harus bisa memainkan, mempraktikkan, tapi kita ngrengkuh, ini budayaku, ini milikku.” Menonton pertunjukan seni dan mengapresiasinya, menurut Mas Kus, merupakan langkah luar biasa. “Syukur-syukur bisa, ya kalau mau belajar lebih bagus lagi.” 

Berkaitan dengan pelestarian budaya tersebut, Mas Kus memandang keraton sebagai penjaga inti kebudayaan asli. Karena kesenian sangat cair dan mudah berkembang, perlu ada satu institusi, seperti keraton, yang menyimpan bentuk pakemnya. 

Sementara untuk dirinya sendiri, Mas Kus masih berkeinginan menjadi dalang serta mengeksplorasi karawitan lebih dalam. “Tidak jauh dari seni,” ujarnya, “karena itu yang saya sukai.”