Nyi Mas Lurah Hamong Hadidiharjo, Dedikasi Tinggi Pelaksana Domestik di Keraton Yogyakarta

Di Keraton Yogyakarta, Abdi Dalem Keparak berperan penting dalam berjalannya aktivitas istana sehari-hari. Didominasi oleh perempuan, Abdi Dalem Keparak pada dasarnya bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas domestik, seperti membersihkan ruangan tertentu dan menyajikan hidangan untuk Sultan serta keluarga. Tugas lainnya, membuka menutup pintu gedhong, meronce bunga untuk sesaji, mengganti bunga penghias pusaka, membawa kelengkapan yang harus disertakan saat Sri Sultan miyos, dan menyiapkan sesaji atau ubarampe upacara adat.

Nyi Mas Lurah Hamong Hadidiharjo merupakan salah satu Abdi Dalem Keparak yang telah bertugas sejak 2004. Bernama asli Sajinem dan lebih sering dipanggil Bu Sabar, awalnya masuk ke keraton atas ajakan teman yang sudah lebih dahulu menjadi Abdi Dalem Keparak. Bu Sabar sempat mengakui ada keraguan untuk menjalani tugas ini karena ketujuh anaknya masih kecil. Selain itu, Kawedanan Keparak mewajibkannya bertugas dua hari dua malam di keraton tiap minggu. Namun, setelah menjalani magang, perempuan kelahiran 1953 ini merasakan makna lebih mendalam dari pengabdiannya.

Bukan hanya itu, Bu Sabar merasa meneruskan pengabdian kakeknya. Saya dulu tidak ingin menjadi Abdi Dalem. Namun lantaran simbah yang sudah tiada, timbul keinginan saya. Saat ditawari, saya bersedia karena dulu simbah adalah juru kunci Makam Kotagedhe dengan nama Paring Dalem Astanapawira.”

Berdasarkan area tugas mereka, Kawedanan Keparak terdiri atas golongan Sedhahan, Sumbagan, Keparak Para Gusti, Pawon Kilen (Gebulen), dan Pawon Wetan (Sekulanggen). Namun, pada praktiknya, tugas-tugas mereka bisa lebih rinci lagi, seperti yang dituturkan oleh Bu Sabar, “Kelompok saya terdiri dari Sumbagan dua orang, Sareyan dua, Dhak Jawi dua, Dhak Lebet tiga, Sedhahan tiga.”

Ada empat kelompok Abdi Dalem Keparak dan tiap kelompok bekerja bergiliran hingga rata-rata mereka bertugas dua hari dua malam dalam satu minggu. Anggota kelompok bertanggung jawab atas pekerjaan dan area tertentu. Bu Sabar kini bertugas di Sareyan. Ini artinya Bu Sabar menjaga Gedhong Prabayeksa, termasuk membersihkannya. Sebelumnya Bu Sabar bertugas sebagai pengurus Dhak Lebet. Waktu itu, Bu Sabar bertugas sebagai penongsong, pembawa Songsong (payung) Agem Dalem dalam upacara adat. “Saya penongsong bila ada upacara adat, seperti Apeman (Ngapem), Labuhan, (Nyebar) Udhik-udhik, dan Siraman (Pusaka).” 

Ragam Figur Keparak 01

Pendukung Upacara Adat

Abdi Dalem Keparak ikut berperan besar dalam berbagai upacara adat. Dalam upacara Siraman Pusaka pada bulan Sura (Muharram) misalnya, mereka bertugas menerima kain singep. Kain singep digunakan sebagai penutup pusaka, kemudian di-lorod (dibuka atau diturunkan) oleh Kanca Suranata dan Kanca Kaji. Mereka harus mengingat-ingat kain mana untuk pusaka mana. Sementara, saat keraton menghelat upacara Ngebluk dan Ngapem, mereka turun tangan mulai dari ngebluk adonan apem, menyiapkan tungku dan bahan bakar, menyiapkan hidangan lain yang diperlukan, membuat wadah-wadah –sudi dan takir—dari daun pisang, hingga mencuci peralatan memasak. “Saat Ngapem kami semua berangkat. Empat kelompok berangkat semua,” Bu Sabar menjelaskan.Demikianlah, totalitas, ketelitian, dedikasi, dan kesabaran Abdi Dalem Keparak menjadi salah satu kunci kelancaran upacara.

Ayahan atau tugas Abdi Dalem Keparak dalam Hajad Dalem tidaklah sederhana. Selain menyiapkan makanan yang banyak jumlahnya, mereka juga harus mengantarkan atau membagikan hidangan tersebut ke tempat yang tepat. Mereka memeriksa semua ubarampe dan sesaji sebelum disajikan. Dengan kata lain, Abdi Dalem Keparak harus mengerahkan ketelitian dan konsentrasi untuk melaksanakan setiap tugas yang diemban. 

Giat Bekerja dan Penuh Syukur

Bu Sabar adalah pribadi yang ramah, giat bekerja, dan penuh syukur. Lima tahun lalu, Bu Sabar masih berjualan jamu keliling kampung dengan sepeda. Anak-anak Bu Sabar juga ikut dilibatkan untuk memproduksi jamu. Bu Sabar menjajakan jamu saat sedang tidak bertugas di keraton. Berapa pun hasilnya selalu disyukuri. Berjualan dari pagi hingga menjelang siang, Bu Sabar melanjutkan bekerja di rumah makan; mempersiapkan bumbu sampai menjelang sore. Kini Bu Sabar sudah tidak berjualan jamu. Sebagai gantinya, Bu Sabar membantu anaknya berjualan makanan kecil di rumah. 

Anak-anak merupakan sumber kebahagiaan Bu Sabar karena mereka selalu siap membantu orang tua. Hal ini, menurut bu Sabar, membentuk mereka menjadi pribadi yang ulet, “(Bagi kami) pekerjaan apa pun asal halal bisa kami jalani.” Keluarga dan pekerjaan di keraton sangat beliau syukuri, “Kekayaan saya ya seperti itu (keluarga). Ikut ngayom kepada Ngarsa Dalem. Saya meminta kepada Gusti Allah dengan lantaran (pekerjaan) di sini. Hanya mendoakan anak cucu.” 

Hikmah dan Anugerah

Bu Sabar tidak menampik bahwa pekerjaan sebagai Abdi Dalem terkadang melelahkan. Namun,  Bu Sabar menjalani semuanya dengan ringan hati. “Berkah Dalem,” ujarnya sambil tersenyum. Nada suara penuh keharuan saat Bu Sabar mengenang pernah bertugas sebagai salah satu pembawa Ampilan Dalem (pusaka-pusaka yang mengiringi Sri Sultan ketika hadir dalam upacara kerajaan). Bu Sabar dipercaya membawa Kiai Sabet. “Saya itu anak desa. Bisa sampai seperti ini, bagaimana Ngarsa Dalem senang (berkenan) memiliki Abdi Dalem(seperti) saya, saya sungguh berterima kasih. Bangga sekali. Tidak setiap orang (punya kesempatan seperti ini).”

Dukungan keluarga membuat Bu Sabar semakin mantap. Seiring waktu anak-anak mengerti jalan hidup yang dipilih ibu mereka. Kini kesepuluh cucunya pun ikut bangga memilki nenek Abdi Dalem. Setelah mengabdi ke keraton, Bu Sabar merasakan keluarganya lebih tenteram. Anak dan cucu dengan sukarela hati mengerjakan pekerjaan rumah. “Dulu bila anak-anak saya kasih tahu, (mereka berkata), ‘Ah, simbah itu banyak perintah. Simbok itu…’, sekarang (mereka justru berkata) ‘Apalagi yang bisa saya lakukan?’ Begitulah.” 

Timbul pula kesabaran lebih dan rasa semeleh. “Selama jadi Abdi Dalem, saya merasa lebih sabar. Namun, semakin tua, ya biasalah, kadang bernada tinggi itu iya,” ujarnya sambil tertawa. Selain itu, Bu Sabar meyakini pintu rezeki akan terbuka selama kita menjalankan kewajiban dengan ikhlas. “Saya itu keluar di mana saja, ada yang menawari, ini tolong jualkan. Dapat rezeki. Ndilalah dapat rezeki, dapat memberi. Begitulah. Ada jalannya. Dilandasi ikhlas lahir batin, sabar, walau kalau disuruh sabar sungguhan, kadang lupa,” lanjutnya lagi-lagi sambil tertawa ramah. Sementara rasa sumeleh, Bu Sabar gambarkan dengan pernyataan, “Kelihatannya hanya tidur beralaskan tikar, namun rasanya seperti tidur di atas kasur babut.” Bu Sabar meneruskan, “Meski bekerja di keraton secapek apa pun, begitu sampai rumah dan tidur, ya sudah hilang capeknya.” 

Bu Sabar sudah merasa bahagia dan cukup dengan apa yang beliau miliki sekarang. Bila ada keinginan yang masih bersemayam, itu adalah harapan untuk anak-cucunya. “Cita-cita saya itu hanya memintakan untuk anak cucu, semoga anak cucu lancar dalammenuntut ilmu. Anak-anak diberi kelancaran dalam membiayai cucu. Ayem tentrem, diberi kesehatan. Harapan saya begitu.”  Cita-cita yang terdengar sederhana namun sungguh bermakna.