Nyi Mas Penewu Hamong Hadiharsono, Memayungi Tradisi

Nyi Mas Penewu Hamong Hadiharsono merupakan salah satu Abdi Dalem sepuh yang setia mengabdi di keraton hingga kini, di usianya yang menjelang senja. Perempuan bernama asli Partilah ini bergabung dengan keraton sejak 1994 atas ajakan seorang kenalan Abdi Dalem. Walau belum pernah menjejakkan kaki di keraton, hal ini tidak sepenuhnya asing bagi Partilah kecil. Mendiang kakeknya pernah menjadi Abdi Dalem empu keris. Tak heran, kisah tentang keraton kerap didengarnya.  

“Bila sudah sore (bapak) bercerita (tentang kakek). Kok ndilalah, saya ternyata bisa masuk keraton,” ujarnya bangga.  

Meski demikian, Bu Partilah tetap berdebar dan ragu saat mulai bergabung dengan keraton, “Dahulu saya agak goyah. Jangan-jangan ada yang kurang pada diri saya. Keraton itu seperti apa. Saya takut,” akunya. Perlahan kemantapan hati tumbuh, digantikan dengan perasaan nyaman. “(Saya) bersemangat, yakin, mencari berkah,” tuturnya. Kisah-kisah sang kakek menjadi salah satu pendorongnya. “Banyak cerita bapak dahulu yang membuat saya berani.” 

Semula ditempatkan di Kridhomardowo sebagai waranggana (pesinden), Bu Partilah kemudian justru magang di Keparak dan melanjutnya bekerja di kawedanan tersebut hingga sekarang. 

Kebulatan tekad Bu Partilah untuk mengabdi tergambar dari kegigihannya. Bu Partilah menempuh perjalanan sekitar 40 km dari Piyaman, Wonosari, Gunungkidul menuju keraton setiap delapan hari sekali menepati jadwal tugas. Suaminya, Pak Mohadi, seorang peternak dan pencari rumput pakan, mengantarnya hingga jalan besar. Ibu empat putra ini kemudian naik bus, berganti sekali, lalu naik becak hingga sampai keraton. Tak merasa berat, Bu Partilah menjalani semua dengan penuh pengabdian. Di keraton, Bu Partilah menemukan ‘keluarga’ dan kebahagiaan. 

Ibu Partilah 02

Penongsong dan Penyaji Klemuk

Di kawedanan yang bertanggung jawab atas urusan domestik keraton itu, Bu Partilah ambil bagian di Dhak Lebet. Salah satu tugasnya adalah mengantar klemuk setiap pagi dan siang. Klemuk berupa teko khusus berisi air putih yang telah didiamkan satu malam. Perkakas ini merupakan salah satu rampadan (perlengkapan minum) untuk Sri Sultan. Rampadan yang isinya terdiri dari klemuk, satu perangkat rampadan kopi, satu perangkat rampadan teh, dan sebuah teko untuk air panas dibawa dan diletakkan di Gedhong Prabayeksa. Sementara dhaharan (makanan) Bu Partilah antar ke kediaman Sri Sultan di Ndalem Kilen setiap siang. 

Selain itu, Bu Partilah juga bertugas sebagai penongsong (pembawa payung kerajaan) Sri Sultan ketika keluar dari kediaman untuk menghadiri upacara kerajaan, seperti Siraman Pusaka atau Ngabekten. Saat membawa songsong (payung), Bu Partilah berpasangan dengan Abdi Dalem lain yang membawa ploncon atau dudukan songsongSongsong akan diletakkan dalam ploncon saat tidak digunakan. Apabila Sri Sultan berjalan bersama permaisuri, ada dua pasang penongsong dan pembawa ploncon yang mengiringi. 

Tugas lain yang kadang dilaksanakan Bu Partilah adalah menyalakan kutug (kemenyan) yang menjadi ubarampe dalam berbagai upacara. 

Salah satu dhawuh istimewa yang pernah Bu Partilah terima adalah menjadi penari edan-edanan dalam perhelatan pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro (2013). Penari edan-edanan menjadi pembuka jalan jelang prosesi Panggih, yakni pertemuan kedua mempelai. Mereka berdandan seperti badut dan menari dengan gerakan lucu tanpa mengikuti irama, seperti orang gila. Tarian ini bermakna sebagai penolak bala. 

Seperti halnya Abdi Dalem Keparak yang lain, Bu Partilah bertugas selama dua hari berturut-turut dalam delapan hari. Saat mendapat giliran tugas, Bu Partilah dan teman-teman satu kelompok menginap di keraton. Satu kelompok terdiri dari Abdi Dalem Dhak Lebet, Dhak Jawi, Sareyan, Sedhahan, dan Sumbagan. Biasanya, ada dua petugas untuk masing-masing pekerjaan.  

Namun, saat Hajad Dalem diselenggarakan nyaris seluruh Abdi Dalem Keparak, yang semuanya perempuan, datang dan menginap berhari-hari. “Kalau ada acara Siraman Pusaka atau apa gitu, saya tidak pulang,” tuturnya. Bu Partilah pernah menginap seminggu, bahkan sepuluh hari. 

Di luar keraton, perempuan yang lahir pada 1958 ini menjalankan peran ibu rumah tangga dengan sama tekunnya. Selain mengerjakan pekerjaan sehari-hari bersama suami dan anak-anaknya, Bu Partilah juga ikut perkumpulan sosial di desanya. Bu Partilah juga terkadang berjualan jarik (kain batik) dari desa ke desa. “Kalau ada yang pesan, saya bawakan juga.”  

Berdagang bukan hal baru bagi Bu Partilah. Sebelum marak sowan (mengabdi) di keraton, Bu Partilah berjualan sayur yang digendongnya dalam tenggok, berkeliling ke desa-desa sekitar, termasuk kantor-kantor pemerintahan. Cukup lama Bu Partilah melakoni pekerjaan tersebut, mulai dari anak pertamanya lahir hingga anak keempatnya remaja. Ia berhenti berjualan sayur saat mulai magang menjadi Abdi Dalem.

Ibu Partilah 03

Batin yang Tenteram

Ketulusan Bu Partilah membuat pengabdiannya jauh dari pamrih materi. Yang penting baginya adalah kebahagiaan batin, “Ya, alhamdulillah, meski saya bukan orang berpunya, hati saya tenteram,” tuturnya diiringi tawa ramah.Bu Partilah nyaris tak pernah merasakan rintangan dalam bekerja dan justru kecewa bila tak bisa memenuhi kewajiban marak sowan ke keraton karena suatu hal, “Saya bisa di sini, sudah (luar biasa). Andai sakit atau ada hal lain dan tidak bisa sowan, rasanya seperti kecewa.”

Setelah bergabung dengan keraton, Bu Partilah merasa mendapat banyak kemudahan dalam hidup. “Saya rasa bedanya banyak sekali. Apabila membutuhkan sesuatu, selalu mudah. Selalu terpenuhi.” 

Momen yang paling Bu Partilah nikmati adalah Hajad Dalem. Karena saat itu Bu Partilah bisa bertemu dengan banyak Abdi Dalem Keparak lainnya. “Itu paling senang karena banyak temannya. Kalau sudah dipanggil, Partilah, Partilah, songsong, (saya langsung) lari.”

Kenikmatannya mengabdi di keraton tak lepas dari dukungan keluarga. “Saya merasakan sekali dukungan keluarga. Anak-anak selalu mengingatkan. Suami juga mengingatkan, ‘segera berangkat (ke keraton), keburu siang’.” Terkadang mereka membekali dengan uang saku. Inilah sebabnya, meski sudah dua puluh lima tahun lebih mengabdi, Bu Partilah tak pernah sekali pun melupakan jadwal marak sowan-nya. 

Bisa dimengerti bila permohonan terbesarnya adalah kesehatan dan keselamatan bagi keluarganya, “Ya, saya hanya berdoa anak-anak juga tenteram seperti saya. Yang jauh juga saya minta agar tetap bahagia. Hanya itu saja. Anak cucu sehat semua. Senang seperti saya.”  

Kini Bu Partilah terkadang membimbing Abdi Dalem Keparak baru. Bu Partilah merangkul dan mengajak mereka belajar, “Ayo biar cepat bisa dan cepat pintar,” ucapnya memberi semangat. Mungkin karena Bu Partilah paham betapa berartinya penerimaan bagi generasi penerus Abdi Dalem, seperti yang ia rasakan pada saat awal dahulu. Demikianlah, tak hanya membawakan payung kerajaan bagi Sri Sultan, Nyi Mas Hamong Hadiharsono juga memayungi rasa persaudaraan dan tradisi.