Nyi Mas Jajar Teluhwatu Samiyem, Pengabdian dalam Lembaran Batik

Lahir di Kapanewon Pandak, Bantul, Bu Samiyem akrab dengan canting dan lilin malam sepanjang hidupnya. Perjalanan waktu membawanya menjadi salah satu perajin wastra bagi keluarga dan kerabat Keraton Yogyakarta. 

Membatik di keraton sejak 1999 dan di bawah koordinasi (alm) GBRAy Murdokusumo, Bu Samiyem akhirnya ditarik menjadi Abdi Dalem Kanca Batikan pada 2016. Bu Samiyem kemudian mendapat nama Paring Dalem Nyi Mas Jajar Teluhwatu Samiyem.

GBRAy Murdokusumo atau lebih dikenal dengan Gusti Murdo adalah kakak perempuan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Gusti Murdo semasa hidupnya menjabat Ketua Sri Yoga Wandawa, organisasi yang mengurusi busana adat di keraton. Beliau juga aktif dalam organisasi Perkumpulan Batik ‘Sekar Jagad’. Sebelum 2016, produksi batik keraton dipusatkan di pendopo Bangsal Tamanan yang terletak di area barat Bangsal Srimanganti. Ketika bangsal tersebut direnovasi, aktivitas pembuatan batik berpindah ke teras Museum Batik Keraton. 

Ketika Gusti Murdo memberi restu para pembatik ini untuk menjadi Abdi Dalem, Bu Samiyem dan teman-temannya mulai berkarya di Reh Kanca Batikan. Kanca Batikan merupakan bagian dari golongan Kagunan yang secara struktural berada di bawah KHP Kridhomardowo. Seluruh Abdi Dalem pembatik keraton –tujuh orang saat ini— berasal dari desa-desa di kapanewon Pandak. Daerah tersebut merupakan sentra batik tradisional Jawa, di mana sebagian besar masyarakatnya bisa membatik.

Ibu Pembatik 01

Menjiwai Batik Seumur Hidup

“Dari kecil (saya sudah) membatik. Sejak umur tujuh tahun sudah diajari membatik oleh ibu. Semua teman pembatik saya memang membatik sejak kecil. Awalnya ada kertas diorek-orek sendiri dulu. Lalu ibu saya kan juga nyerat, saya ngrusuhi memakai canting, lalu lama-lama bisa. Tidak diajari, hanya dibilang ini diisi begini, kalau sudah bisa, ya dilepas,” tutur Nyi Teluhwatu mengenai awal mula kebisaannya membatik. 

Batik yang dihasilkan oleh keluarganya kemudian dijual. Samiyem kecil tak hanya membantu membatik, namun juga menjaga adik-adiknya yang berjumlah empat orang dan mengerjakan tugas rumah lainnya. 

Ketika beranjak dewasa, Bu Samiyem kemudian bekerja di rumah-rumah batik di Yogyakarta. Bu Samiyem juga pernah mengajarkan keterampilan membatik kepada para siswa sekolah. Atas ajakan Gusti Murdo, acap kali Bu Samiyem menunjukkan kebolehannya di pameran-pameran serta menjual karya batik di berbagai event sampai ke luar kota, termasuk Jakarta. 

Hingga suatu saat, keraton mencari tenaga pembatik. Bu Samiyem dan beberapa perempuan pembatik yang tinggal berdekatan menyanggupi permintaan tersebut. Dimulailah sebuah pengalaman baru membatik di Tamanan. Setelah diangkat menjadi Abdi Dalem, Nyi Teluhwatu bergantian dengan rekan-rekannya juga bertugas mendemonstrasikan cara membatik tradisional kepada rombongan tamu keraton. Di antaranya, Nyi Teluhwatu pernah unjuk kepiawaian di depan Raja dan Ratu Belanda serta Presiden Joko Widodo.

Menurut Nyi Teluhwatu, seratan batik gaya Keraton Yogyakarta berbeda dari seratan batik desa. “Bedanya kasar dan halus. Kalau di desa banyak tembokan (bidang besar), di sini banyak motif kecil-kecil.” Selain itu, di desa motif biasanya tidak di-coret (disketsa) terlebih dahulu, melainkan langsung dilukiskan dengan malam. Perbedaan lainnya adalah adanya sered, garis tepi berwarna putih di pinggiran kain. Sered ini merupakan ciri khas batik Keraton Yogyakarta yang membuat kain terlihat indah bila di-wiru

Ibu Pembatik 02

Melestarikan Kekayaan Wastra

Bertahun-tahun membatik, tak terhitung motif yang sudah pernah digambar oleh Nyi Teluhwatu. “Saya tidak ingat. Semua motif ada; sidomukti, sidoasih, sidoluhur, babon angrem. Lebih dari dua ratus motif.” Meski tak bisa mengingat satu persatu motif yang pernah dilukis,  Nyi Teluhwatu tetap fasih menyebutkan nama-nama motif yang tersodor di hadapannya. 

Di dalam keraton, Nyi Teluhwatu sering mendapat tugas untuk melukis motif khusus untuk upacara pernikahan, pentas tari, atau busana keluarga Sultan. Aturan-aturan terkait motif batik masih dipertahankan di sini. Motif parang rusak, misalnya, bila dikenakan oleh raja dan permaisuri akan dibuat besar-besar, lebih dari lima belas senti. Sementara untuk para putri dan pangeran, motif parang tersebut berukuran lebih kecil, sekitar tujuh hingga sepuluh senti.

Motif-motif yang pernah dibuatnya atas permintaan khusus dari keraton antara lain, purbanegara, prabu joko, parang sudarawerti (burung berhadapan), dan parang paradise (burung dengan sayap terkembang). Sebagian motif dibuat untuk upacara tertentu sebagai simbol harapan yang dipanjatkan. 

Begitu cintanya dengan batik, saat tidak bertugas di keraton, Nyi Teluhwatu mengisi waktu luangnya juga dengan membatik. Bagi perempuan tiga anak dan lima cucu ini, membatik adalah hobi sekaligus profesi. Di rumah, Bu Samiyem biasa membantu suaminya beternak ayam dan sapi. Namun, selepas itu ia kembali pada canting dan malam, tak jarang hingga larut. Tak heran, salah satu anaknya ikut tergerak dan meneruskan keahlian turun temurun ini. 

Nyi Teluhwatu biasanya menggambar motif-motif di atas kain dan setelah selesai menjualnya kepada siapa pun yang berminat. Kadang ada pula yang sengaja memesan. Nyi Teluhwatu juga membuat motif kombinasi baru, klasik maupun kontemporer. Berdasarkan pengalamannya, untuk membuat kain batik dengan ukuran  110 x 260 cm dibutuhkan waktu satu setengah hingga tiga bulan tergantung tingkat kerumitannya. 

Tidak ada kesulitan berarti yang dihadapi Nyi Teluhwatu dalam membatik. Ia justru menekankan bahwa batik memberi kita ruang untuk berekspresi tetapi masih dalam pakem, “Batik itu kan seni, diisi apa saja kan boleh. Motif ini diberi isi seperti ini (misalnya) sudah serasi. (Silakan menggambar) sesuai kemauan. Kalau diisi begini dan belum luwes akan kelihatan.”  

Jam terbang membuatnya peka terhadap keserasian, “Karena sudah biasa, (menentukan) isen-isen sudah terbiasa. Dulu saya tidak tahu, isen-isen batik seperti apa. Sebelum saya ke sini, saya sudah mendapat pengalaman dari Gusti Murdo. Isian (batik) dikasih tahu.” 

Ibu Pembatik 04

Ketenteraman dalam Berkarya

Menjadi Abdi Dalem adalah impian yang terwujud bagi Nyi Teluhwatu. Kebahagiaan dan ketenanganlah yang ia cari. “Pekerjaan saya sehari-hari membatik. Karena di sini (keraton) selalu butuh (pembatik), saya ingin bekerja di sini. Agar senang dan tenteram. Kenyataannya memang begitu (senang dan tenteram).”  

Dengan adanya berbagai event yang terus bergulir, seperti Hajad Dalem dan pementasan kesenian, keraton akan selalu membutuhkan kain batik. Kebutuhan ini utamanya dipasok oleh Kanca Batikan

Secara langsung, Nyi Teluhwatu dan Kanca Batikan menjaga kelestarian budaya adiluhung Yogyakarta. Kain batik bukan hanya karya estetik nan sedap dipandang namun juga sarat makna dan merekam jejak peradaban masyarakat Jawa. Inilah salah satu persembahan budaya dari Yogyakarta untuk dunia.