KRT Puspodiningrat, Melestarikan “Tosan Aji” sebagai Warisan Budaya Takbenda

KRT Puspodiningrat (Dr. RM Kunyun Marsindra) tak pernah membayangkan akan menggeluti tosan aji –senjata tradisional Jawa dari logam—. Meski ayah dan kakeknya mengoleksi benda-benda pusaka tersebut. Demikian pula, tak pernah tebersit dalam benaknya untuk mengikuti jejak mereka masuk ke keraton menjadi Abdi Dalem. Namun, itulah yang terjadi. Sudah sekitar dua dekade Kanjeng Puspo mengabdi di keraton dan merawat pusaka yang sudah diakui sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO ini. 

Tumbuh di antara koleksi tosan aji, tak serta merta memantik ketertarikan RM Kunyun terhadap keris, tombak, dan senjata tradisional lainnya. “Awalnya karena di rumah banyak (tosan aji) peninggalan eyang, lalu (perawatannya) dilanjutkan bapak. Waktu itu kalau bapak njamasi –membersihkan dan merawat pusaka--, saya dipanggil, sini menunggui bapak. Udah, hanya sekadar menunggui. (Setelah itu) main, udah lupa lagi. Karena masih ada bapak.”

Setelah sang ayah meninggal, kewajiban merawat pusaka ini jatuh ke tangan ibunyaSang ibuselalu memanggil kerabat bila tiba saatnya untuk njamasi. RM Kunyun juga sering ikut menyaksikan proses jamasan tersebut. Setelah ibunya meninggal, kesadaran menghentak, “Waduh, ini peninggalan banyak, masa saya tidak tahu. Punya sendiri kok nggak ngerti.” Sejak saat itulah –saat usianya sudah menginjak 39 tahun— RM Kunyun mulai belajar.

RM Kunyun bergabung dengan Pametri Wiji (Paheman Memetri Wesi Aji), komunitas pemerhati tosan aji. “Banyak yang lebih mengerti. Saya belajar di situ. Lama-lama tertarik.”  Berawal dari anggota, RM Kunyun naik menjadi pengurus harian, lalu akhirnya menjabat ketua umum selama bertahun-tahun hingga kini. 

Puspodiningrat 02

Kanca Pusaka

Pada  2001, sebelas orang diangkat sebagai Abdi Dalem Kanca Pusaka termasuk RM Kunyun, yang kemudian mendapat nama Paring Dalem Puspodiningrat. RM Kunyun mengajukan nama tersebut, karena sebelumnya nama itu juga disandang ayah dan kakeknya ketika menjadi Abdi Dalem. “Kebetulan belum dipakai oleh orang lain, kepareng, ya sudah (saya pakai).” 

Kanca pusaka yang berada di bawah Kawedanan Hageng Sriwandawa datang (sowan) ke keraton dua kali tiap selapan (35 hari) yaitu pada Selasa Kliwon dan Rabu Legi. Tugas mereka adalah untuk merawat pusaka-pusaka keraton. Pada tahun 2000-an, kewajiban utama mereka adalah mendata pusaka keraton yang ratusan jumlahnya. “Pendataan sudah selesai sekarang. Kita merawat agar pusaka tetap terjaga kebersihannya karena kita tahu kebanyakan keris dan tombak dari besi dan baja. Jangan sampai berkarat, kena air,” jelas KRT Puspodiningrat.

Setiap bulan Sura, semua Abdi Dalem Kanca Pusaka bertugas sebagai pengawas Hajad Dalem Jamasan Pusaka. Mereka juga mengawasi pengambilan dan pengembalian pusaka, karena merekalah yang paling tahu letak penyimpanan masing-masing pusaka. 

Pengaturan penyimpanan pusaka tidak bisa disepelekan. KRT Puspodiningrat mengisahkan ketika gedhong pusaka keraton dipugar, semua senjata harus dipindahkan sementara. “Memindahnya mudah, tetapi mengembalikan ke tempat semula itu agak ribet karena harus sesuai dengan letaknya semula. Jadi harus dicatat, didata, ini di sini, ini di sini, dikasih kode.” 

Dengan jumlah pusaka yang sangat banyak, tidak mungkin semuanya dijamasi atau disirami bersamaan pada penyelenggaraan Hajad Dalem Jamasan Pusaka. Pusaka-pusaka tersebut harus dijamas bergantian. “Pusaka-pusaka yang belum disirami di bulan Sura menjadi tugas kita untuk merawat dan membersihkan.”

Tugas tambahan bagi Kanjeng Puspo adalah membekali Abdi Dalem baru saat pawiyatan (penataran) terkait pengetahuan pusaka senjata keraton.  

Puspodiningrat 03

Pusaka-Pusaka Keraton 

Saat ini pusaka duwung (keris) milik keraton berjumlah sekitar 200-an buah, sementara tombaknya 150-an buah. Pusaka-pusaka tersebut tersimpan di beberapa lokasi, di antaranya Gedhong Prabayeksa, Gedhong Mandragini, Gedhong Hinggil, dankompleks Gadri Kasatriyan

“Setiap pusaka punya ciri khas untuk membedakan dengan pusaka lain. Semua punya nama,” ujar KRT Puspodiningrat yang mengaku hanya hafal pusaka-pusaka utama. “Karena saking banyaknya, tidak semua hafal, tetapi kita punya catatan dan kita punya buku pegangan. Kalau lupa kita buka catatan.”

Menurutnya, tosan aji yang ada di keraton adalah tosan aji-tosan aji terbaik karena dibuat dari bahan berkualitas dan dikerjakan oleh para ahli. Keraton sebagai sumber atau pusat budaya sudah selayaknya menjadi standar untuk produk-produk budaya yang selanjutnya ditiru oleh masyarakat luas. Keraton pun memiliki metode pembersihan dan perawatan, hingga kemudian menjadi pedoman di antara berbagai macam metode yang ada. 

Pengabdian Pada Masyarakat

KRT Puspodiningrat berprofesi sebagai dokter spesialis radiologi yang masih aktif bekerja meski telah purnatugas dari PNS. Beliau masih berpraktik di tiga tempat layanan kesehatan. Kesibukannya sebagai dokter tak membuat lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini berhenti mengabdikan diri bagi pelestarian kebudayaan. Sejak tahun 1994 hingga kini, Kanjeng Puspo menjabat Ketua Umum komunitas Pametri Wiji. Komunitas ini aktif menggelar sarasehan dan pameran yang terbuka untuk umum. Komunitas ini juga tampil di berbagai media massa untuk menyebarluaskan informasi yang benar mengenai tosan aji

“Intinya misi kami adalah memberikan pengertian kepada masyarakat umum tentang tosan aji, supaya masyarakat bisa menyikapi tosan aji secara proporsional.” Tak dimungkiri ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia tosan aji bersinggungan dengan syirik dan mistis. Inilah yang berusaha diluruskan oleh Pametri Wiji.  

Selain itu mereka juga memberi pelayanan jamasan tosan aji. “Kalau yang punya pusaka itu mau belajar, boleh nungguin, boleh praktik di situ, kita bimbing,” tutur pria yang masih terhitung keturunan Sri Sultan HB VII. 

Menjadi Abdi Dalem membawa kebahagiaan tersendiri bagi KRT Puspodiningrat. Sowan ke keraton walau secara fisik melelahkan, terasa menyenangkan baginya. Melakukan siraman pusaka ditunggui Ngarsa Dalem dan para pangeran menjadi momen tak terlupakan. “Saya disuruh mencari salah satu pusaka. Itu sama sekali saya blank. Saya sama sekali tidak ingat. Mungkin saya grogi harusnya di sana, kenapa saya mencari ke sana (tempat lain),” kenangnya sambil tertawa.  

Membantu merawat pusaka keraton dan memberi sumbangsih dalam pelestarian budaya secara luas, hal ini oleh Kanjeng Puspo rasa sebagai kepuasan batin. “Alhamdulillah saya bisa ikut berpartisipasi sekecil apa pun. Saya melanjutkan (tradisi) eyang-eyang saya.” 

Terkait kelestarian budaya Jawa secara keseluruhan, KRT Puspodiningrat berharap keraton dapat menjadi sebagai sumber atau pusat budaya, “Budaya apa pun, dalam bentuk apa pun. Pelakunya harus sesuai dengan bidangnya masing-masing, seni tari, karawitan, dan sebagainya. Supaya tetap menjadi patokan atau menjadi standar budaya klasik.” 

Sementara terkait tosan aji, Kanjeng Puspo berharap anak-anak muda makin mengenal senjata tradisional nusantara. Teknologi informasi yang berkembang hendaknya bisa membuat anak muda lebih mudah mengenal dan kemudian tertarik pada tosan aji.  “Bagaimana pun ini adalah artefak budaya, ini sebagai karya seni nenek moyang yang adiluhung. Bahkan UNESCO sudah mengakui tosan aji sebagai warisan budaya takbenda. Mau tidak mau kita harus menjaga. Kepercayaan UNESCO jangan hilang, nanti bisa dicabut lagi.”

Dukungan dari istri dan dua putranya –yang masing-masing juga berprofesi sebagai dokter—membuatnya makin mantap menggeluti bidang unik ini, sepi dari pamrih materi.