Nyi Raden Wedana Noorsundari, Edukator Wisata di Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta disangga dan digerakkan oleh ribuan Abdi Dalem yang berkarya penuh ketulusan. Dengan keahlian masing-masing, mereka saling melengkapi dan bersama-sama melestarikan pusat kebudayaan Jawa ini. 

Nyi Raden Wedana Noorsundari (RA Siti Amieroel Noorsoendari) adalah salah satu Abdi Dalem yang turut andil dalam pengembangan pariwisata dan museum keraton. Bergabung sejak 2003 sebagai pemandu wisata atau edukator, perempuan yang akrab dipanggil Mbak Ami, kini menjadi carik Tepas Museum Keraton Yogyakarta. 

Sebagai keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Mbak Ami sudah akrab dengan lingkungan keraton sejak belia. Apalagi banyak pendahulu di keluarganya pernah menjadi Abdi Dalem di antaranya, ayah, ibu, kakek, nenek, serta kakek buyut. Ayahnya, KRT Pakukusuma, bahkan hingga kini menjadi penghageng di Perpustakaan Banjar Wilapa

Mbak Amie 1

Memberi Manfaat untuk Sesama

Untuk mencapai posisinya sekarang ini, Mbak Ami telah menempuh perjalanan panjang. “Orang dahulu kalau kerja di keraton itu bayangannya terperangkap. Kayak nggak bisa berkembang. Nggak ada jenjang karier dan lain sebagainya. Itu membuat saya mundur. Waktu itu umur saya masih dua puluh sekian, kan masih mikir jenjang karier dan sebagainya kalau kerja.”

Pada masa itu, ia juga merasa terbebani karena kedua orangtuanya bekerja di keraton. “Takut salah, (dan menjatuhkan) nama baik bapak dan ibu.” Namun, didorong oleh orang-orang terdekatnya, Mbak Ami akhirnya menyerahkan berkas lamaran untuk magang di keraton. “Seiring berjalannya waktu ternyata saya sadar kalau kerja di keraton itu terperangkapnya karena kita memang nggak ingin keluar. Keraton itu kalau digali nggak habis-habis. Oh, ternyata kita itu terperangkapnya di situ. Karena belajar (yang) ini tidak selesai-selesai,  masa mau pindah?” 

Butuh enam belas tahun sebelum akhirnya Mbak Ami memantapkan menjadi Abdi Dalem dan diwisuda resmi pada 2019. “Itu pelajaran berharga buat saya. Kalau kamu terlalu banyak memikirkan omongan orang, nggak jadi-jadi. Pertimbangannya kan semakin banyak. Seharusnya fokus.” 

Meruntuhkan stereotip adalah salah satu pendorong Nyi Raden Wedana Noorsundari untuk berkarya di keraton. Dengan gelar RA (Raden Ajeng) di depan namanya, saat remaja ia pernah disentil temannya yang kebetulan warga negara asing, “Kalau isih ndoro itu pasti bodoh dan males.” Mbak Ami pun terlecut. “Memangnya kita bisa milih dilahirkan oleh siapa?” Tekadnya bulat untuk membuktikan bahwa dengan keistimewaan yang dimiliki, ia bisa memberi manfaat bagi orang lain. “Nah, ini keraton gedenya sekian, banyak hal yang harus kita buat lebih baik. Kalau bukan kita siapa lagi. Jadinya ya udahlah, saya ingin jadi bagian yang ada di sini.”

Bagi Mbak Ami, motivasi semacam ini penting karena akan berimbas ke sistem secara keseluruhan, “Kalau kita sudah senang, semangat, kinerja kita akan lebih baik. Itu kan bikin manfaat.”

Ini sejalan dengan pesan yang pernah diberikan oleh sang ayah, “Yang namanya di keraton, berilah sesuatu yang bermanfaat, tetapi jangan meminta sesuatu di belakang. Di keraton itu bukan untuk mencari duniawi. Dengan mencari surgawi kita dapat akan semuanya. Kamu jangan sampai nyuwun untuk dirimu sendiri. Yen nyuwun sing manfaat buat orang banyak.” 

Mbak Amie 2

Tugas dan Wewenang

Sewaktu bertugas menjadi pemandu wisata, tak terhitung pengalaman menarik didapatkan oleh perempuan yang mengaku sulit berdiam diri ini. Mbak Ami beberapa kali mendampingi tamu-tamu istimewa, seperti Raja dan Ratu Belanda, Presiden Republik Singapura, Putri Kerajaan Thailand, dan Raja Carl Gustaf dari Swedia. Kunjungan Raja Carl Gustaf ini menorehkan kesan tersendiri baginya. “Kebetulan beliau Ketua Pandu Sedunia. Beliau sampai ke Museum HB IX untuk melihat barang-barang kepramukaan (milik Sri Sultan Hamengku Buwono IX).  Ada penghargaan Bronze Wolf Award dari Amerika dan (beliau berkata) ‘aku juga punya itu’.”

Ketertarikan para tamu pada keraton membuat Mbak Ami senantiasa bersemangat. Beberapa wisatawan masih mengenalinya ketika mereka berkunjung ulang. Namun, meski senantiasa ramah kepada tamu, Abdi Dalem yang pernah kuliah di Sastra Jawa UGM ini tak segan-segan mengoreksi bila mendengar persepsi salah terkait keraton. Di sisi lain, ia tak malu untuk mengakui keterbatasannya.

“Paling senang kalau kita diapresiasi. Mereka bertanya yang kadang susah kita jawab. Itu membuat hubungan kami jadi bersambung. Boleh minta e-mail? Nggak enak kalau saya tidak menjawab. Saya jadi belajar lagi.”

Selain menyampaikan informasi seputar keraton kepada pengunjung, ia juga melayani travel agen yang akan menyusun jadwal kunjung, terkadang untuk setahun penuh. Tak heran banyak yang kehilangan saat ia akhirnya pindah dari penugasan tersebut. Mbak Ami pun awalnya berat hati mengingat Tepas Pariwisata terkadang kekurangan tenaga pemandu, terlebih saat musim liburan. “Kalau peak season bisa guiding lima kali dalam sehari,” jelasnya. 

Setelah menjabat carik (sekretaris) Tepas Museum, ternyata kesibukannya tak berkurang. Semenjak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Permuseuman 2016 diterbitkan, Museum Keraton berbenah untuk memenuhi syarat-syarat yang dicantumkan dalam PP. Sebenarnya, menurut Mbak Ami, Museum Keraton secara substansial telah memenuhi aturan PP tersebut, tetapi masih membutuhkan sertifikat legal formal bagi para petugas yang mengawakinya, seperti kepala museum, kurator, dan registrar.   

“Kita mencoba restrukturisasi, yang jadi Abdi Dalem (di Tepas Museum) masih muda-muda dan kenal IT. Itu akan mempermudah kami juga,” ujarnya. 

Museum Keraton terbilang unik karena berada di bawah struktur keraton yang besar dan kompleks, sehingga mereka harus melakukan koordinasi lintas bidang saat menyelenggarakan acara-acara khusus, pameran misalnya. “Jadi kayak dulu kami pernah pameran busana penari, otomatis (kami meminta) ke Kridhamardawa karena yang dipamerkan bukan milik museum (melainkan milik Kridhamardawa).”

Di Tepas Museum, Mbak Ami mengaku belajar mengenai tim kerja. Ini berbeda dari saat ia menjadi pemandu yang seringkali bekerja sendirian. “Saya benar-benar belajar dari mereka, bagaimana mem-breakdown pekerjaan, mapping ketugasan, dan lain-lain.” Menurutnya setiap pameran mengajarkan sesuatu yang baru. “Team building, sistem kerja, flow kerja itu kan juga penting.”

Mbak Amie 5

Belajar Tanpa Henti

Menguasai Bahasa Inggris, Belanda, sedikit Sanskerta selain tentu saja Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, Nyi Raden Wedana Noorsundari selalu rendah hati dan tak pernah berhenti belajar. “Bapak ngendika, ‘Jangan pernah merasa bisa.’ Soalnya kalau bukan bahasa kita, kita nggak akan pernah bisa menguasai.” Selain memperdalam bahasa yang sudah ia kuasai, Mbak Ami senantiasa berminat mempelajari bahasa asing lain. 

Di luar bidang kebahasaan, Mbak Ami banyak menyelami ilmu pendidikan keluarga dan kemasyarakatan lewat kegiatan PKK. Sudah lama ia menjadi anggota tim penggerak PKK Kecamatan Kraton serta aktif dalam kegiatan Kampung Wisata dan Kelompok Dasawisma Kelurahan Kadipaten. 

Seolah tak pernah kehabisan energi, Mbak Ami juga pernah menjadi guru PAUD, kader BKB Kota Yogyakarta yang berprestasi, dan sampai sekarang aktif berkegiatan di koperasi tingkat kelurahan serta kecamatan. Baginya PKK adalah sumber pembelajaran terkait organisasi dan manajemen. “Pelajaran hidup tidak didapat di sekolah. PKK itu sarana kita belajar di masyarakat.”

Perempuan yang gemar membaca dan berjalan kaki ini mensyukuri dukungan yang diberikan suami serta dua anaknya. Hingga kini, ia bisa bekerja dan berkegiatan sosial sepenuh hati. 

Filosofi Keraton sebagai Pijakan Hidup

Hamemayu hayuning bawono dan golong gilig, filosofi yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I,  menjadi ajaran yang diterapkan serta disebarluaskan kepada siapa pun oleh Mbak Ami. 

“Sekarang bukan saatnya kompetisi, tetapi kolaborasi, golong gilig. Golong gilig itu persatuan dan kesatuan tanpa pamrih. Ketika gilig bolong satu aja, itu bukan gilig lagi. Kita harus tahu kemampuan kita, harus tahu di mana posisi kita karena perbedaan yang kita punya bukan untuk membandingkan atau mengkotak-kotakkan, tetapi untuk mengisi satu sama lain. Kalau kita saling isi, jadi gilig.”

Nyi Raden Wedana Noorsundari mengakui mengabdi di keraton membuahkan perubahan positif bagi dirinya, di antaranya meningkatnya sikap tawaduk atau kesadaran semua hal berasal dari Allah dan menyerahkan semua pada-Nya. “Tawaduk sama dengan semeleh, semilah, bismillah. Dengan nama Allah, ya sudah gitu aja. Selesai.” 

Selain itu keraton juga memberinya banyak saudara yang sepenanggungan. “Semuanya kan kanca. Ketika kita di keraton kita semuanya saudara. Bukan hal yang mudah untuk memandang yang lain sebagai saudara, walau tak ada ikatan saudara. Kalangan yang paling rendah dan yang paling atas itu sama. Semua manusia itu sama.” 

Mbak Ami berharap semua yang terlibat dalam pengembangan keraton bisa berjalan bersama, fokus, dan saling menghargai satu sama lain. “Keraton bisa lebih maju karena kita bisa satu visi, satu frekuensi. Itu baru (tingkat) keraton. Lebih luasnya untuk Indonesia.”