KRT Surya Satriyanto, Abdi Dalem Berwawasan Global yang Kuat Mengakar

Pergaulan dengan orang asing justru membawa kesadaran akan pentingnya mencintai kebudayaan sendiri. Inilah yang terjadi pada RM Adwin Surya Satriyanto. Saat remaja, ia mengikuti pertukaran pelajar ke Australia. Hingga kini, ia masih aktif berkecimpung di kegiatan pertukaran budaya. Sebelum pandemi, keluarganya beberapa kali menjadi host family bagi pelajar pertukaran yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Tak pelak, ia memiliki banyak relasi dengan warga mancanegara. Mereka sering bertanya mengapa sebagai orang Jawa, ia tidak bisa berbahasa Jawa, tidak bisa menabuh gamelan, tak pandai menari tradisional, dan sebagainya. 

Kesadaran baru seakan menamparnya. Hingga saat itu, Mas Adwin –demikian biasa dipanggil– tak pernah menganggap hal-hal tersebut penting. Profesi ayahnya sebagai anggota militer membuat keluarganya selalu berpindah-pindah tempat tinggal dan menyebabkan kemampuannya berbahasa Jawa terbatas. Ia mengakui, walau masih terhitung sebagai Sentana Dalem (kerabat keraton), ia tidak tumbuh dalam atmosfer budaya Jawa. 

Pertanyaan dari teman-teman asingnya membuatnya merenung. “Ada sesuatu dalam hati yang bergejolak, oh iya, aku Wong Jawa, kok nggak ngerti. Akhirnya saya berusaha memahami. Setelah memahami, saya menyadari ternyata begitu kaya apa yang kita punya; budayanya, seninya, adatnya. Memang sangat menarik buat saya. Saya putuskan untuk terlibat lebih dalam di sini, saya melamar jadi Abdi Dalem.”

Dunia Abdi Dalem bukan hal baru bagi Mas Adwin. Ayahnya, KPH Suryahadiningrat, merupakan Penghageng II di Kawedanan Hageng Punakawan Puraraksa. Beberapa sepupunya adalah penari yang lebih dahulu bergabung dengan keraton. Ia resmi mengikuti jejak mereka pada 2012. 

Kini Mas Adwin mengabdi di Kawedanan Panitikisma dengan Nama Paring Dalem Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Surya Satriyanto. Kawedanan Panitikisma mengurusi tanah-tanah milik Keraton Yogyakarta yang memiliki beragam status dan fungsi. 

Mas Adwin 02

“Perjalanan saya mengalir saja di keraton ini,” tuturnya, “Dan ini kan sebagai bentuk kecintaan dan harapan saya karena pada tahun 2008, saya memutuskan untuk menjadi seorang kejawen dan saya beranggapan bahwa keraton ini adalah benteng terakhir untuk bisa mempertahankan itu karena saya melihat efek globalisasi. Kita berkompetisi dengan semua budaya lain yang masuk ke Jogja, bahasa lain masuk ke Jogja, hingga otomatis ketika tidak ada yang memulai bahwa budaya dan bahasa Jawa ini keren atau berfilosofi tinggi, berbudi luhur, saya pikir keberadaan nilai-nilai kejawaan kita akan terancam. Untuk itu saya mendedikasikan diri untuk mendukung keraton dengan apa yang saya punya.”  

Bekerja di Beberapa Kawedanan

Pertama kali Mas Adwin ditempatkan di Widya Budaya, kawedanan yang mengurusi naskah-naskah koleksi keraton. Ia menyesuaikan pilihan itu berdasarkan pada keinginan untuk mempelajari budaya Jawa lebih dalam, “Saya beranggapan pusat pengetahuan budaya dan sejarah Jawa kan ada di sana.”

Di Widya Budaya, Mas Adwin bertugas, salah satunya, mendampingi instansi Arsip Daerah untuk menata kelola arsip keraton dan mendigitalisasi manuskrip lewat kerja sama dengan salah satu universitas dari Jerman. Widya Budaya juga membuat back-up data dan katalog. Mereka juga berkolaborasi dengan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mengkonservasi manuskrip yang ada, salah satunya dengan membangun ruang penyimpanan yang ideal dan melapisi lembaran naskah dengan tisu Jepang untuk mencegah kerusakan kertas akibat zat kimia dalam tinta. 

Saat bekerja di kawedanan ini, Mas Adwin menyaksikan fenomena meresahkan, yaitu sedikitnya Abdi Dalem yang fasih aksara Jawa. Tak mau berdiam diri, ia dan rekan-rekan merancang program pawiyatan aksara Jawa untuk para Abdi Dalem. Sekitar tahun 2016 dibukalah angkatan pertama dan ia menjadi salah satu pesertanya. Totalitas mendukung keraton juga dibuktikannya dengan menjadi tim judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait Perda DIY. 

Berikutnya, ia di-dhawuhi pindah ke Panitrapura untuk mendampingi Kawedanan Panitikisma mengawasi penggunaaan tanah kasultanan dan tanah desa. “Ada permasalahan apa, yang terancam bermasalah yang mana, saya mengikuti. Waktu itu semua kewenangan masih di Panitikisma, saya masih (sebatas) melihat, mendengar, mendata.”

Pada tahun 2021, Gusti Hadiwinoto, Penghageng Panitikisma kala itu, wafat. Kawedanan ini pun direstrukturisasi dan Mas Adwin ditunjuk sebagai Wakil Penghageng. Namun, tak lama kemudian, ia di-dhawuhi untuk menjabat sebagai penghageng. 

Karena isu pertanahan cukup banyak dan rumit, jam kerja Mas Adwin didominasi oleh rapat bersama para pemangku kepentingan untuk membentuk kesepahaman. Tugas utama lainnya adalah mengelola administrasi tanah-tanah keraton yang tersebar di berbagai penjuru Yogyakarta dan beberapa provinsi lainnya. Untuk melakukannya, Panitikisma bekerja sama dengan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY. Selain itu, kawedanan ini menjalankan kewenangan untuk memberi rekomendasi penggunaan tanah-tanah kasultanan sesuai peraturan yang berlaku.  

Mas Adwin 04

Di era modern ini, Panitikisma dituntut untuk memperbaiki model surat kekancingan (surat keputusan) tanah yang telah beberapa kali dipalsukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya banyak masyarakat yang tertipu dan dirugikan. GKR Mangkubumi selaku Penghageng KHP Datu Dana Suyasa menghendaki agar hal ini tidak terjadi lagi. Oleh karena itu Panitikisma akan mencetak surat kekancingan dengan teknologi terbaru yang dilengkapi kode rahasia dan pengaman lainnya. 

Karena ketidaktahuan masyarakat, sering kali tanah kasultanan dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan komersial tanpa izin. Untuk mencegah hal ini terulang kembali, Panitikisma menggandeng tenaga ahli menyusun prosedur pengawasan dan pelaporan. Terkait pemulihan status tanah yang sudah dipergunakan secara tidak sah, saat ini keraton berfokus untuk menarik kembali tanah-tanah yang berstatus sebagai objek vital (tanah keprabon) seperti petilasan dan situs bersejarah lainnya. 

Selama proses restrukturisasi organisasi berlangsung, telah menunggu banyak berkas yang perlu ditindaklanjuti. “Itu baru Sultan Ground. Yang tanah desa lalu tanah-tanah HGB (hak guna bangunan) itu memang masih mengantre,” ujar Mas Adwin. 

Sepenuh Hati

Sadumuk bathuk, sanyari bumi. Pepatah ini menekankan pentingnya tanah bagi orang Jawa. Tak mengherankan, masalah tanah sering menimbulkan konflik. Menyadari sensitifnya isu tanah, Mas Adwin senantiasa mengedepankan diplomasi dan musyawarah. Aparat keamanan dan ahli hukum juga selalu dilibatkan. Untuk mencapai kesepakatan, kadang butuh tiga empat kali mediasi yang harus dijalani dengan kepala dingin. 

Mengurusi masalah yang lumayan pelik, Mas Adwin tetap merasakan lebih banyak suka daripada duka. “Asal dijalani dengan sepenuh hati, bisa senang juga,” tuturnya. Ada beberapa peraturan yang menyangkut penggunaan tanah kasultanan, di antaranya Pergub DIY 33/2017, Pergub DIY 34/2017, dan Pergub DIY 49/2018. Itulah yang menjadi pedomannya. Ia menuturkan masyarakat yang hendak menggunakan tanah kasultanan, tinggal mengikuti alur sesuai peraturan tersebut. 

Dukungan Keluarga

Mas Adwin dibesarkan dalam keluarga yang menyukai olahraga. Ia menggemari basket dan voli sejak kecil. Ia bahkan pernah menjadi anggota tim inti basket saat di sekolah dan universitas serta meraih kejuaraan. 

Keluarga kecilnya memberi dukungan penuh untuk kariernya di keraton maupun di luar keraton. Bersama istrinya, lulusan Teknik Sipil UII ini mengelola bisnis yang telah mereka bangun sejak lama. Sempat berkecimpung di bidang kontraktor, sekarang ia berfokus pada kuliner dan jasa. Ia juga mencurahkan segenap perhatian untuk anak semata wayangnya. Ia memastikan si buah hati tumbuh lekat dengan budaya Jawa. Hal ini ia lakukan dengan mengajak si kecil menonton pergelaran tari atau wayang di keraton. 

Perhatiannya pada generasi muda terbilang intens. Saat bertugas di Widya Budaya, ia pernah mengadakan program pengenalan keraton pada anak-anak TK dan SD. Ia mengundang siswa-siswi berkunjung dan mengadakan program untuk menarik minat mereka pada seni tradisi. “Angan-angan saya ke depan generasi penerus bisa dikenalkan kepada budaya-budaya luhur, seni tradisi luhur. Ketika mereka mengetahui, memahami, tidak sulit untuk mencintai.” 

Pergaulan global membuat pria berperawakan tinggi ini memiliki wawasan luas. Namun, keraton memberi akar kuat terhadap identitasnya sebagai orang Jawa. Setelah bergabung dengan keraton dan meneguhkan diri sebagai seorang kejawen, cicit Sri Sultan HB VIII ini merasakan perubahan yang signifikan terkait spiritual, “Saya lebih terbuka wawasannya. Bahwasanya agama apa pun, kan intinya berbuat baik. Saya lebih memahami sekarang. Dengan agama lain pun saya tidak menjustifikasi atau menilai ini baik atau buruk. Dengan pemahaman baru, ilmu baru yang saya peroleh di keraton, saya bisa mengolah data dan informasi yang ada di sekitar dengan lebih baik.”

Mas Adwin 03

Ini sejalan dengan motivasi awalnya saat memulai menjadi Abdi Dalem, “Memang sewaktu masuk, sudah saya niati, saya di sini mencari ketenangan hati, mencari sebetulnya saya ini apa dan siapa, bahwa apa yang ditinggalkan oleh leluhur saya itu kan perlu dilestarikan. Nah itu saya temukan di sini. Itu otomatis. Walaupun apa yang dilakukan berat, saya tidak pernah mengeluh karena saya yakin ini untuk memperjuangkan apa yang saya percaya dan saya harapkan untuk lestari.”

Ia mengapresiasi generasi muda yang dinilai makin menyadari pentingnya budaya lokal. “Seperti sekarang, generasi Abdi Dalem yang dahulu mindset-nya (didominasi usia) tua-tua, sekarang kan sudah tidak. Itu kan makin ke sini makin baik. Value yang ada di dalam keraton bisa diserap oleh pihak yang di luar.” 

Mas Adwin memegang teguh pesan eyangnya yang menyatakan bahwa hidup pada intinya adalah berbuat baik. Ia juga menerapkan ajaran Sri Sultan HB IX, “Di mana pun kamu berada, jangan lupa menjadi dirimu, bahwa kamu adalah orang Jawa”. Ia menginginkan generasi penerus, walaupun menggemari budaya asing, tidak melupakan budaya sendiri. Untuk keraton, ia mengharapkan institusi ini terus lestari. “Saya menaruh harapan besar pada keraton sebagai penegak budaya dan sejarah nilai-nilai luhur yang ada di Yogyakarta.”