Nyi Mas Lurah Surakso Boga Mursani: Menjaga Merapi, Menjaga Tradisi

Mursani lahir dan tumbuh di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Glagah Harjo, Cangkringan, Sleman, DIY. Perjalanan hidup menuntunnya pada pengabdian yang lebih besar untuk gunung kebanggaan Yogyakarta itu. 

Tahun 2003, Mursani menikah dengan Mbah Asih. Mbah Asih adalah putra Mbah Maridjan, Abdi Dalem juru kunci Gunung Merapi. Setelah Mbah Maridjan wafat dalam erupsi Merapi tahun 2010, Mbah Asih menerima tongkat estafet tugas sebagai Abdi Dalem Pengirit (semacam pimpinan) juru kunci Petilasan Merapi dan menyandang Nama Paring Dalem Mas Wedana Surakso Hargo.

Menikah dengan Mbah Asih, Mursani secara otomatis membantu ibu mertuanya menyiapkan makanan dan sesaji yang dibutuhkan untuk upacara Labuhan setiap bulan Rejeb menurut penanggalan Jawa. Sang ibu mertua adalah Abdi Dalem untuk urusan boga. Dari sini Mursani belajar. Perlahan, ia mengetahui apa saja makanan yang harus disiapkan, termasuk sajennya. Ia mempelajari cara memasak, hingga cara menyajikannya. Ketika Mbah Maridjan putri sudah tidak kuat lagi secara fisik, ia memimpin sekitar tujuh perempuan Abdi Dalem Boga lainnya menyiapkan makanan untuk perhelatan besar Labuhan tanpa penunjukan resmi. Mengelola keuangan hingga berbelanja aneka keperluan juga menjadi tanggung jawabnya. 

Tahun 2012, Mursani diwisuda sebagai Abdi Dalem dengan Nama Paring Dalem Surakso Boga Mursani. Memulai dari pangkat paling rendah, jajar, kini Mursani menyandang pangkat Nyi Mas Lurah. 

Bu Mursani 01

Meneruskan Pengabdian

“Niatnya dahulu ya cuma membantu simbah. Kasihan, alhamdulillah diangkat,” tutur Mursani terkait motivasinya menjadi Abdi Dalem keraton. “Kan ya harus ada Abdi Dalem di Merapi. Dahulu kan sudah sering membantu, tetapi kan belum diangkat (sebagai Abdi Dalem), ya cuma bantu-bantu, pakai baju (kebaya) hitam beli sendiri, kadang waktu itu masih pakai kebaya biasa, belum hitam. Saya ikut simbah. Gendong tumpeng. Naik (ke gunung) itu. Terus 2012 setelah erupsi dikasih dari keraton (kebaya) hitam.” Kebaya hitam yang dimaksud adalah Janggan, baju Abdi Dalem perempuan dengan model menyerupai surjan yang dilengkapi kancing hingga menutup leher (jangga). 

Tugas utama Mursani sebagai Abdi Dalem Boga adalah memasak untuk keperluan ubarampe upacara Labuhan, “Tetapi kalau mau Labuhan, Abdi Dalem perempuan pun ikut memperbaiki jalan.” Perbaikan jalan setapak menuju tempat Labuhan Merapi dan penyiapan lokasi upacara mereka cicil tiap minggu selama beberapa bulan. 

Memasak hidangan Labuhan bukanlah pekerjaan ringan. Ada aturan yang harus diikuti. Selain itu makanan yang harus disiapkan pun bukan main banyaknya karena akan disajikan untuk ratusan petugas, pengunjung, dan tamu. 

Prosesi Labuhan dimulai dari pasrah tampi (serah terima) ubarampe dari keraton di kantor Kecamatan Cangkringan. Setelah itu, ubarampe diarak menuju petilasan Mbah Maridjan di Dusun Kinahreja, Cangkringan dan diserahkan ke Mbah Asih sebagai juru kunci.  

Malamnya diadakan kenduri yang terkadang disusul dengan pergelaran wayang kulit. Baru keesokan harinya, ubarampe diarak dan dibawa mendaki menuju suatu tempat bernama Sri Manganti, di lereng Gunung Merapi, sebagai lokasi prosesi utama. 

Sekitar pukul enam pagi, Mursani dan rekan-rekan Abdi Dalem lainnya mendaki bukit sambil membawa ubarampe dan sesaji yang berupa beberapa kilo nasi putih, serundeng, dan seekor panggang ayam dere. Semuanya mendaki dengan pakaian tradisional pranakan atau kebaya dengan jarik sebagai bawahan. Tidak mudah bagi orang kebanyakan, tetapi untuk mereka, ini merupakan hal biasa. 

Setelah didoakan, sesaji dibagikan kepada yang hadir. Setiap orang mendapat sejumput nasi dan lauk pauk berupa ayam serta serundeng. Membagikan hidangan ini juga menjadi tugas Mursani dan Abdi Dalem Boga lainnya. 

Bila sesaji untuk acara inti Labuhan hanya terdiri dari tiga macam, hidangan kenduri jauh lebih banyak, seperti nasi gurih, nasi golong, gudangan, tumpeng, sambal goreng kentang, tempe, kerupuk, dan rempeyek. Para tamu yang jumlahnya bisa mencapai lima ratus orang akan menyantap hidangan bersama-sama. Untuk menyiapkan semuanya, Mursani dan rekan-rekan mendapatkan bantuan Abdi Dalem lain, masyarakat setempat, dan para relawan. Instansi terkait, seperti BPBD dan Dinas Kebudayaan juga terlibat dalam prosesi tradisi ini. 

Pada waktu-waktu tertentu, Mursani dan Kanca Abdi Dalem lainnya sowan marak ke keraton untuk urusan administratif atau mengikuti kegiatan terkait kewajibannya sebagai Abdi Dalem, seperti pawiyatan (pelatihan). Biasanya mereka berangkat bersama-sama karena tidak semua memiliki kendaraan pribadi. Di Cangkringan sendiri, para Abdi Dalem juru kunci berkumpul tiap selapan (35 hari sekali) untuk menjalin silaturahmi dan membahas apa pun seputar pekerjaan. 

“Kalau dibuat berat ya berat, kalau nggak ya nggak. Yang utama kan Labuhan itu. Yang penting diberi sehat bisa mendaki.” Begitulah pandangan Mursani terhadap tugasnya. Seringkali Abdi Dalem juru kunci dianggap punya kelebihan spiritual. “Bagaimana ya namanya juru kunci, dikiranya wong pinter, tetapi bukan.” Terkadang, orang-orang meminta izin kepada mereka untuk mengadakan kenduri di daerah tersebut. Mursani dan sang suami hanya mempersilakan, tanpa mencampuri. Baginya laku spiritual seseorang adalah urusan pribadi. 

Pendidikan dan Pertanian

Sehari-hari Mursani bekerja sebagai karyawan Instiper (Institut Pertanian) Yogyakarta, pada bagian Pendidikan dan Penelitian. Tugas pokoknya adalah membantu para dosen dan mahasiswa yang akan melakukan praktik, penelitian, atau kerja lapangan. Selain itu, ia mengurus kebun milik kampus yang berada di wilayah pegunungan Merapi. Pekerjaan ini segaris dengan latar belakang pendidikannya, yakni SMK Perkebunan. Di luar itu, ia masih bertanam di kebunnya sendiri. Saat ini ia memilih memelihara kayu sengon yang relatif mudah dirawat. 

Tak suka berpangku tangan, perempuan ramah yang banyak tertawa ini mengkoordinasi produksi minuman jahe instan untuk dipasarkan di tempat wisata lereng Merapi. Perempuan lansia di wilayah itu membuat produknya, sementara Mursani mengurusi pemasarannya. Kadang ia pun ikut menunggui warung di petilasan yang juga menjual produknya. “Sudah ada yang (dijual) online. Kalau orang berwisata ke sini itu kan beli jahe saya, labelnya saya kasih nomor HP. Sampai di rumah mereka mencicipi, kok enak. Mereka minta dikirim.” 

Kebanggaan

Di antara sekian profesi yang ia jalani, menjadi Abdi Dalem mendatangkan rasa khusus pada diri Mursani. “Kebanggaan tersendiri. Walau cuma berpakaian seperti ini, nyatanya banyak yang kepengin. Misalnya, kadang simbah-simbah (Abdi Dalem) kalau sudah memakai seragam begini, wah dilihat orang. Bukan pamer, ya. Kok kelihatan tenteram ya, ada yang bilang begitu.” Ia mengakui mengalami pendewasaan. “Dasare wis tuwa, kudu manembah,” sambungnya sambil tertawa berderai.   

Selama menjadi Abdi Dalem, pengalaman yang paling berkesan baginya adalah upacara Labuhan pertama setelah erupsi. Erupsi Gunung Merapi 2010 memang menyisakan duka mendalam. Beberapa desa luluh lantak. Kayu terbakar. Jelaga di mana-mana. Hutan menggundul menjadi lautan abu. 

“Saya tuh, menengok ke timur jurang, menengok ke barat jurang,” kata Mursani mengenang bencana besar itu. “Sekarang ya sudahlah. Ambil hikmahnya. Dahulu waktu Labuhan pertama setelah Bapak (Mbah Maridjan) berpulang, jadi juru kunci pertama kali, nggak ada rumah, masih di shelter, terus dibawa ke sana jalan kaki. Lihat lokasi, banyak yang terharu. Teringat Mbak Maridjan yang nggak ada.” 

Salah satu berkah setelah erupsi adalah munculnya tempat-tempat wisata baru, termasuk lava tour yang kini banyak diminati. Petilasan Mbah Maridjan pun banyak dikunjungi. 

Selamat dari musibah besar bisa jadi menyebabkan Mursani selalu bersyukur dan tidak menginginkan hal muluk-muluk. “Doa saya itu hanya minta selamat. Semoga Merapi aman. Seandainya Merapi erupsi biarlah lewat jalannya. Biar Gusti Allah yang mengatur.” 

Untuk anak-anak muda ia berpesan agar mereka bisa menjaga lingkungan. “Peduli dengan yang di atas (gunung) sana. Misal, kadang ada relawan naik, Bapak (suami) punya bibit, ya tolong ditanam. Biar bersemi lagi.”

Salah satu bibit tanaman itu adalah pohon kinah atau kina. Pohon berkhasiat obat tersebut menjadi salah satu kekayaan desa Kinahreja yang namanya diambil dari nama pohon tersebut ditambah “reja” atau makmur. 

Lewat pelestarian alam dan tradisi yang terus diupayakan oleh para Abdi Dalem dan warga masyarakat, kemakmuran Merapi akan menjadi berkah untuk semuanya.