Nyi Mas Bekel Lalitamardowo, Hartakan dan Penari Muda Keraton Yogyakarta

Bila dahulu Abdi Dalem identik dengan para lansia mapan yang ingin mendedikasikan tenaga dan keahliannya, kini banyak generasi milenial yang memiliki kepedulian besar terhadap pelestarian budaya. Sebagian mereka memilih menyalurkan kiprah di Keraton Yogyakarta. Dewati Rahmayani salah satunya. 

Perempuan kelahiran 1992 ini diwisuda menjadi Abdi Dalem pada 2018 sebagai Abdi Dalem mataya (penari) di Kawedanan Kridhamardawa. Kini, ia menyandang Nama Paring Dalem Nyi Mas Bekel Lalitamardowo. Pada saat itu terhitung sudah empat tahun ia rutin berlatih menari di Kasatriyan. Tawaran dari Bu Inul, sang guru tari, untuk melamar menjadi Abdi Dalem tidak ia sia-siakan. Ia yakin posisi tersebut akan membuka kesempatan besar dan merasa terhormat untuk mendapatkannya.

Manungsa 04

“Keraton kan ibaratnya pusat ketika kita mau belajar tari klasik. Tari itu asalnya dari sini. Ketika ditawari, saya sangat senang karena bisa belajar langsung dari pusatnya, dari empu-empunya,” ia menjelaskan. Dalam pandangan Dewa, Abdi Dalem bukanlah sembarang orang. Mereka adalah pribadi yang memiliki ilmu keduniawian tinggi. “Mungkin saya bisa belajar menjadi manusia yang lebih baik (dari mereka).”  

Kridhamardawa merupakan kawedanan yang melestarikan kesenian keraton, baik itu tari, wayang kulit, wayang golek, karawitan, macapat, maupun musik. Kawedanan ini juga memiliki sekolah-sekolah untuk para seniman, seperti Habirandha untuk mereka yang ingin belajar mendalang dan Kasatriyan bagi yang ingin belajar beksa (tari). 

Pergelaran seni kecil maupun besar diselanggarakan oleh kawedanan ini. Dalam event internasional seperti R20 dan G20 misalnya, keraton menjadi tuan rumah salah satu acara. Para seniman Kridhamardawa pun tampil sepenuh hati menjamu tamu dari dalam dan luar negeri.   

Tak hanya mengelola sumber daya manusia, kawedanan ini juga merawat properti yang diperlukan untuk nguri-nguri kesenian, seperti gamelan, wayang, hingga kostum. Itulah mengapa, mereka membuat jadwal rutin untuk merawat benda-benda tersebut, seperti nyirami gangsa yang dilakukan setiap Jumat. Selain untuk membersihkan, kegiatan ini bertujuan memperbaiki serta mengganti bila ada alat yang rusak.  

Perawatan serta digitalisasi wayang dan manuksrip-manuskrip kesenian juga merupakan tanggung jawab Kridhamardawa. Yang terbaru, mereka tengah mempersiapkan skema sertifikasi seniman. 

Dengan tugas yang begitu luas, tentu Kawedanan Kridhamardawa harus disokong oleh banyak staf di tiap-tiap bagian, meliputi antara lain kapustakan (perpustakaan), pariwara (media sosial), pratikel (logistik), pamarsudi (riset), kagunan (busana), dan kanca hinggil (peralatan). 

Pada 2020, Nyi Mas Bekel Lalitamardowo mendapat tugas baru sebagai kahartakan (bendahara) di Kawedanan Kridhamardawa. Awalnya, ia kaget saat mendapat dhawuh tersebut dari KPH Notonegoro, Penghageng Kridhamardawa. Ia pun berterus terang bahwa tidak memiliki latar belakang akuntansi atau keuangan. Alih-alih ia adalah sarjana psikologi. Namun KPH Notonegoro meyakinkan bahwa ia bisa. “Beliau memercayai saya. Oke, saya coba dulu. Kalau tidak bisa, pasti saya juga akan matur.” Walau mendapat banyak kesulitan di awal, ia belajar banyak hal baru. Dengan bimbingan dari Abdi Dalem senior, Dewa belajar hingga akhirnya dapat menjalankan tugas dengan baik. 

Sebagai kahartakan, kewajiban utama Dewa adalah mengurus administrasi keuangan, tepatnya mengontrol anggaran dan manajemen. Kelengkapan laporan pertanggungjawaban menjadi tugas pokoknya. Untuk itu ia mengoordinasi tim kahartakan yang beranggotakan delapan orang. “Tetapi itu tidak membuat (ayahan/tugas) mataya hilang, justru malah Kanjeng Noto mengatakan saya bisa di kahartakan dan tari. Semuanya berjalan beriringan, tidak ada yang berhenti,” tuturnya terkait dua peran yang ia emban. 

Manungsa 02

Meditasi

Dalam pandangan Dewa mengabdi bukan hal yang mudah karena para Abdi Dalem dituntut untuk “sendika” (menuruti perintah), tetapi tidak asal sendika. Sendika berarti sanggup menghadapi halang rintang yang mengiringi kata itu. “Pengabdian di keraton itu seperti meditasi,” demikian ia menyimpulkan, “pasti ada pergulatan batin, mana yang benar, mana yang salah, tapi pada akhirnya yang keluar adalah untuk yang baik. Ketika saya datang ke keraton, mindset saya seperti itu.”

Ia mengakui tugasnya sebagai hartakan cukup berat. Bagaimanapun, kegiatan Kridhamardawa sedemikian banyak dan terus berjalan. Dewa dan tim harus siap mem-back-up berbagai situasi terkait laporan pertanggungjawaban. 

Di balik segala kerepotan itu, Dewa mendapat hikmah positif. “Di akhir, saya sadar ternyata saya bisa sekuat itu. Saya bisa menantang diri saya sedemikian rupa, bisa mengembangkan diri.”

Pada intinya, ia menikmati tugasnya di keraton, terutama karena ia mendapat kesempatan untuk menjalankan hobinya, menari. Hal yang paling berkesan baginya adalah menari di depan Ngarsa Dalem dan orang terhormat lainnya. 

Salah satu momen yang akan terus ia kenang adalah menari di Kagungan Dalem Bangsal Kencana dalam rangkaian upacara Tingalan Jumenengan Dalem saat badai pandemi mulai bertiup. “Masih ingat jelas. (Dengan) situasi kala itu, tapi masih berkhidmat menari bedhaya yang sangat sakral.”

Manungsa 03

Bermanfaat Bagi Sesama

Dewa bertugas Senin-Sabtu pukul 10.00-14.00 WIB, tetapi pekerjaan yang banyak kadang menuntut dia bekerja lebih lama. Selama tugas tersebut masih mampu dikerjakan, Dewa tidak keberatan karena menurutnya, yang penting dalam hidup adalah kemanfaatan bagi orang lain. 

Untunglah, ia mendapat dukungan penuh dari keluarga. “Keluarga saya tipikal yang kamu mau melakukan apa, lakukan aja, yang penting tanggung jawab. Dan ketika saya sudah membuktikan saya bisa melakukan dengan baik, ya sudah, mereka akhirnya oke.” 

Selepas bertugas, bila ada waktu luang, ia memilih berjalan-jalan atau menghabiskan waktu bersama teman-temannya. 

Menjadi penari di keraton telah mengubahnya menjadi pribadi yang lebih disiplin. “Saya baru mengenal tari waktu kuliah semester akhir. Dulu sering terlambat, tapi beres-beres aja. Namun, waktu awal mula jadi Abdi Dalem, (kegiatannya) ternyata sangat tepat waktu.” 

Ia belajar banyak dari para pengajar tari tentang kedisplinan ini. “Sampai akhirnya keterusan, ketika saya kerja di luar (keraton), saya paling tepat waktu.” Sikap menghargai waktu ditekankan oleh para guru tari sesuai dengan filsafat joged Mataraman. Dewa juga merasa lebih tenang serta sabar. Menangani banyak acara dan bertemu dengan berbagai karakter manusia mengasah emosinya hingga lebih matang. 

Ia menyadari rekan-rekannya sesama generasi milenial menggandrungi karya-karya seni dari luar negeri. “Nggak masalah suka budaya luar, justru malah menambah ilmu, tapi jangan lupa mengapresiasi budaya sendiri, tidak harus menjadi pelaku seninya, tapi bisa menonton, share video tentang budaya-budaya (lokal) yang kalian sukai. Jadi tetap kenalilah akarmu sendiri,” pesannya bijak.