Guntur Purwito Aji, Semangat Keprajuritan Keraton untuk Indonesia

Guntur Purwito Aji bergabung dengan Bregada (prajurit) Patangpuluh sejak 2022. Saat ini, ia bertugas sebagai jajar waos atau pembawa tombak dalam pasukan tersebut. Keprajuritan keraton bukan hal asing baginya. Kakeknya dahulu juga merupakan anggota Bregada Patangpuluh. Bahkan sang kakek menjadi motivasi bagi Guntur untuk turut mengabdikan diri dalam korps pengawal keraton tersebut. 

“Saya ingin (jadi prajurit) sejak dari kecil, saat melihat kakek saya berangkat ke keraton mengenakan busana pranakan, jangkepan ageman prajurit dan memakai songkok. Ia terlihat gagah dan saya jadi ingin bergabung kelak. Alhamdulillah sekarang sudah bergabung di Bregada Patangpuluh.”

001

Guntur meneruskan pengabdian kakeknya setelah sang kakek secara fisik sudah tidak mampu bertugas. Selain kakeknya, beberapa leluhurnya dahulu juga mengabdi sebagai Abdi Dalem di keraton. 

Motivasi lain yang melatarbelakangi keputusan Guntur untuk mendaftar menjadi prajurit adalah keinginan untuk memperluas pergaulan serta melestarikan budaya. Pemuda kelahiran 1998 ini merasa tugas menghidupi budaya harus disangga anak-anak muda seperti dirinya. Kemauan pemuda lajang ini untuk membaktikan diri di keraton mendapat dukungan penuh dari orangtuanya.

Dari Keraton untuk Indonesia

Bregada Patangpuluh adalah satu dari sepuluh pasukan pertahanan keraton yang hingga kini masih eksis dengan fungsi yang berubah menjadi elemen pelestarian budaya. Bregada ini memiliki klebet (bendera) bernama Cakragora yang berbentuk persegi empat dengan warna dasar hitam dengan gambar bintang segi enam berwarna merah. Cakra merupakan senjata yang berbentuk roda bergerigi dan gora berarti berani atau membuat gentar. 

Selain mengenakan sebilah keris, pasukan ini terdiri dari kesatuan bersenjata senapan serta kesatuan bersenjatakan tombak. Gendhing Bulu-Bulu dimainkan saat pasukan berjalan cepat (lampah mares) dan Gendhing Gendera diperdengarkan ketika pasukan melangkah lambat (lampah macak).

Saat ini Bregada Patangpuluh memiliki kurang lebih 50 anggota yang terbagi menjadi tujuh komponen, yaitu panji parentah (komandan), ungel-ungelan (korps musik), jajar senjata (prajurit bersenjata senapan), panji kedua, sersan dwajara (bintara pembawa dwaja/ bendera kesatuan), sersan senjata, sersan waos, dan jajar waos (prajurit bersenjata tombak). 

Sebagai jajar waos, Guntur berbaris dengan mengikuti aba-aba panji, misalnya mandhe hastra atau membawa tombak dengan posisi tegak, dan maniyung hastra atau posisi tombak merunduk, sebagai sikap siaga menghadapi berbagai kemungkinan. 

Sebagai anggota bregada, Guntur menjalani berbagai kewajiban seperti mengikuti gladhen (latihan), rondhan (berjaga) rutin, dan geladi khusus menjelang perhelatan upacara Hajad Dalem. Sebelum Garebeg misalnya, Guntur dan rekan-rekan prajurit lain harus menjalani gladi reged (geladi kotor) dan gladi resik (geladi bersih). 

002

Selain itu, ia juga diikutkan dalam lomba antarprajurit yang kadangkala diadakan untuk mengasah keterampilan tiap-tiap anggota. “(Saya) diikutsertakan dalam lomba pencak silat beregu dan perorangan di pelataran Kagungan Dalem Bangsal Kamandungan sekitar satu bulan yang lalu (Maret).” Selain pencak silat, ia juga ikut lomba jemparingan (panahan tradisional). 

Guntur memang menyukai olah fisik. Ia menggemari joging dan bola voli. Tak heran, kondisi jasmaninya tergolong prima. Olah karena itu, ia berhasil lolos seleksi program Komponen Cadangan (Komcad) yang diadakan oleh Kementerian Pertahanan. Program ini bertujuan menguatkan kekuatan pertahanan utama, yaitu TNI, dengan cara menyiapkan sumber daya nasional yang dapat dikerahkan dalam keadaan darurat. 

Sebelas prajurit keraton yang berusia di bawah 35 tahun dari berbagai bregada terpilih untuk mengikuti program ini setelah melalui serangkaian tes layaknya calon prajurit TNI, yaitu tes fisik, tes kesehatan, tes psikologi, lalu disambung dengan tes pantukhir.  Guntur merupakan satu-satunya yang lolos seleksi dari Bregada Patangpuluh. Selama tiga bulan penuh ia mengikuti latihan militer yang diadakan di Surabaya, Malang, dan Bandung. 

Mereka mendapatkan pelatihan menembak, survival, teknik bertempur, serta pelajaran hukum dan wawasan kebangsaan. “Terutama kedisiplinan yang penting di sana itu,” ujarnya. Sebagai wakil keraton, Guntur merasa bangga. “Bahkan rekan kami di komponen cadangan ada yang mendaftar sebagai bregada.”

Menjaga Lingkungan

Sehari-hari Guntur bekerja di Balai PIALAM (Pengelolaan Infrastruktur Air Limbah dan Air Minum Perkotaan) Dinas PUP-ESDM, Pemda DIY yang berkantor di Sewon, Bantul. 

Sejak 2017, ia bertugas menjaga dan memperbaiki jaringan limbah di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Sleman. Setiap ada aduan gorong-gorong mampat atau rusak, ia dan tim segera datang untuk menangani permasalahan. 

“Kalau hujan, saya sering melaksanakan susur jalan besar, seperti Jalan Parangtritis, Jalan Kaliurang untuk mengetahui di mana limbah meluap. Jadi saya mengontrol setiap titik gorong-gorong di Yogya.”

004

Menurut Guntur, tugas di Balai PIALAM dan keraton dapat berjalan beriring tanpa masalah. Hal ini dikarenakan jam kerjanya di Balai PIALAM berlangsung dari pagi hingga pukul 16.00 WIB, sementara kewajiban di keraton kebanyakan dilaksanakan sore atau malam hari. 

Pada awal masa kerjanya, ia bahkan memantapkan tekad untuk berkuliah. Ia mendaftar di jurusan Teknik Sipil, Universitas Tjokroaminoto dan lulus pada tahun kelima, saat ia sudah menjadi prajurit keraton. 

Waktu senggang dan libur akhir pekan ia manfaatkan untuk membantu orang tuanya bertani dan beternak ayam. Selain itu, ia juga aktif dalam kegiatan karang taruna di dusunnya dan menjadi ketua dalam organisasi tersebut. 

003

Terus Mendalami Budaya Jawa

Guntur mengaku banyak belajar setelah bergabung dengan keprajuritan di keraton, mulai dari hal-hal yang bersifat praktis seperti mengenakan baju tradisional, cara baris-berbaris, tata bahasa Jawa, dan penerapan unggah-ungguh hingga hal-hal yang bersifat moral, contohnya menjaga sikap dan menghargai sesama. 

Pemuda yang memendam cita-cita untuk menjadi pengusaha ini berharap anak-anak muda mau nguri-nguri kebudayaan. “Di Yogyakarta ini sangat banyak sekali (produk budaya). Terutama untuk di daerah-daerah tertentu, kesenian bisa dilestarikan lagi.”