Nyi Raden Bekel Lukitaningrum Sumekto, Menjaga Lewat Tata Rias dan Busana

Seni tari telah membuka pintu bagi Raras Lukitaningrum untuk tampil di panggung internasional. Tak hanya itu, lewat tari menjumpai dunia yang kemudian menjadi kecintaannya, tata rias dan tata busana. 

Raras diperkenalkan dengan tari oleh orang tuanya saat ia masih kanak-kanak. Namun, ia tidak serta merta tertarik untuk berlatih. Ia baru serius mendalami kesenian ini saat remaja dengan berlatih di Ndalem Pujokusuman. 

Ia bercerita bahwa dulu almarhum ayahnya ingin menjadi Abdi Dalem keraton. Sayang sebelum keinginan itu terwujud, ia telah berpulang. “Itu tahun 1998. Tahun 1999, saya perdana menari di keraton. Itu menurut saya seperti kebetulan yang sangat manis. Bapak yang menginginkan, saya yang melanjutkan. (Saat) wisuda pertama, saya pakai jarik kesayangan Bapak yang dulu dipakai untuk melamar Ibu, yang lalu dipakai untuk menyelimuti jenazah (saat Bapak meninggal). Itu sudah sobek (saat) saya pakai bertugas di sini. Meski sobek, tetap saya simpan.” 

002

Selanjutnya Raras sering dipanggil untuk tampil di depan tamu-tamu keraton. Tak berhenti di lingkungan istana, kepiawaiannya menari mengantarnya keliling dunia. Ia pernah mewakili Keraton Yogyakarta menari di berbagai negara, seperti Jepang, Kolombia, Chili, Peru, dan Amerika Serikat. 

Menekuni tari membuatnya tertarik pada seni busana dan tata rias. Ia mengamati kostum yang dikenakan oleh para penari serta tak segan-segan menimba ilmu dari pemucal-pemucal (pengajar) sepuh. 

Semakin mendalami, semakin ia menyadari ada “harta karun ilmu” di balik riasan dan busana khas Yogyakarta. Ia kemudian belajar paes (rias pengantin) di SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Bantul bersama maestro paes Bawoek Sumiyati. Setelah itu ia ngangsu kawruh kepada ahli paes lain, Kinting Handoko. 

001

Merias Putri Sultan

Di keraton, ia menemukan “harta karun” yang lebih menakjubkan. Ia pun semakin mencintai tata rias. Setelah bertahun-tahun menjadi juru rias, momen istimewa itu pun tiba. Ia mendapat anugerah untuk merias GKR Mangkubumi dan GKR Bendara, saat kedua putri sultan tersebut berperan dalam pertunjukan Wayang Wong di Bangsal Pagelaran pada tahun 2015. Selanjutnya, ia bersama beberapa Abdi Dalem juga dipercaya menangani kostum dan riasan GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, GKR Hayu, dan GKR Bendara ketika menari di Jepang. Latar belakang Raras sebagai penari menjadikannya pendamping yang sempurna karena ia bisa membantu para Putri Dalem untuk ikut menghafal gerakan. 

Tahun 2017, keluarlah dhawuh dari KPH Notonegoro agar para penari yang sudah pernah tampil di luar negeri mendaftar menjadi Abdi Dalem. Raras, meski sangat ingin, menahan diri. Ia tak yakin dapat memenuhi kewajibannya di keraton mengingat kesibukannya sebagai juru paes telah menyita banyak waktu. 

Suatu hari ia mengobrol dengan Mas Kayun Sumekto, Abdi Dalem Sedhahan, yang kemudian menyarankannya untuk mendaftar sebagai Abdi Dalem di bagian yang sama. Raras langsung tertarik. “Sepertinya asyik kalau bisa jadi Abdi Dalem di sini. Waktu itu (ruangan) Sedhahan kan tingkat ya. Keren banget kostum bertingkat-tingkat, wow banget.” Namun, ia perlu menimbang-nimbang karena juga masih aktif menari. 

Apalagi, waktu itu Sedhahan hanya menerima Abdi Dalem laki-laki. Tak patah arang, ia pun meminta izin KPH Notonegoro untuk mendaftar. Tak disangka, Kanjeng Noto langsung mengizinkan. Selama enam tahun pertama, ia menjadi satu-satunya Abdi Dalem perempuan di sana. 

Raras diterima secara mirunggan (istimewa), yang membuatnya diangkat tanpa magang. Nama Paring Dalem ia dapatkan adalah Lukitaningrum Sumekto.

Keluarganya mendukung penuh keputusan Raras. Raras merasakan nada kebanggaan saat sang ibu bercerita bahwa ia menjadi Abdi Dalem. Ia juga merasakan, bila sudah memakai busana Abdi Dalem, ia mendapat penghormatan dari orang-orang di sekitarnya. “Kalau sudah pergi pakai ini, kita jadi kayak punya privilege lebih.”

003

Kagunan

Sedhahan kini telah berganti nama dan disebut Kagunan. Divisi Kagunan berada di bawah Kawedanan Kridhamardhawa, tanggung jawabnya antara lain memelihara, merawat, dan menginventarisasi busana/kostum Kagungan Dalem, termasuk properti tari Kagungan Dalem. Tidak hanya itu, Kanca Kagunan juga menyiapkan busana yang digunakan pada saat ada Hajad Dalem atau agenda budaya lainnya, misalnya Garebeg, Uyon-uyon Hadiluhung, ayahan mirunggan, Musikan, dan muhibah budaya.

Di Kagunan terdapat dua golongan Abdi Dalem, yaitu Kanca Sumekto dan Kanca Wiguna. Secara ringkas, Kanca Sumekto bertugas mempersiapkan busana atau properti acara, sementara Kanca Wiguna menjadi pembuatnya.

Wiguna itu terbagi menjadi Kanca Gerji (jahit), Kemit (blangkon), dan Kanca Tatah Sungging (pemahat kulit),” jelas Raras.  Kurang lebih tiga puluh orang tercatat sebagai Abdi Dalem Kagunan. 

Selain mengurusi pementasan, tim Kagunan terkadang bertugas merias keluarga sultan saat ada upacara adat khusus, serta dalang dan prajurit dari kesatuan tertentu. 

Pengajeng

Setelah kurang lebih enam tahun bertugas sebagai Lumaksana (staf pelaksana), Raras mendapat perintah untuk menggantikan Pengajeng Kagunan yang baru saja dipindah ke bagian lain. “Itu adalah hal yang paling bikin syok. Jujur, saya sama sekali tidak ada bayangan. Apalagi saya satu-satunya perempuan,” akuinya. 

Sebagai Pengajeng, Raras harus mengetahui semua hal yang menjadi tugas Kagunan. “Tanggung jawab pasti bertambah karena dulu kan sebagai sumekto saja, jadi mencari, menyiapkan, merawat, dan menyimpan kembali busana. Hanya sebatas itu.”

Ia segera membenahi hal-hal yang dirasa belum optimal. Salah satunya, ia mengusahakan agar Abdi Dalem Kagunan yang sowan marak tidak menganggur. “Karena dulu saya merasakan sendiri kalau nggak ngapa-ngapain, sehingga jadi kurang semangat saat marak sowan,” ujarnya. Untuk itu, ia selalu memberi tugas kepada Abdi Dalem yang datang, misalnya, meminta Kanca Tatah Sungging untuk membersihkan properti kulit dan memperbaiki yang sudah rusak. Abdi Dalem Punakawan di Kagunan adalah para perajin yang memiliki keterampilan.  Oleh karenanya, menurut Raras, mereka harus didorong untuk berkarya. 

Dampaknya dapat dilihat dalam waktu singkat. Kagunan menjadi lebih hidup. Mengutip kalimat KPH Notonegoro, “Kagunan sekarang lebih asyik.” 

Abdi Dalem pun menjadi lebih rajin. “Alhamdulillah, sekarang saya pun kadang masih tidak percaya. Saya tadi ke belakang, saya mendengar lagi orang memahat kulit, benar-benar membuat hati saya hangat.” 

Ia mengenang dulu Abdi Dalem yang mendapat giliran marak sowan sering hanya berdiam diri atau bercanda. “Bukan melarang bercanda, tapi sekarang mereka datang dan lebih bermanfaat karena saya lebih sering membagi (tugas). Ini tugas kita bersama, saya di sini bisanya hanya mengkoordinir.” 

Mempercantik Pengantin Jawa

Di luar keraton, Raras masih menjalankan profesi sebagai perias pengantin. Totalitasnya dalam menjalani profesi ini dibuktikan dengan berbagai prestasi dalam lomba tingkat daerah maupun nasional. 

Meski demikian, kini ia lebih selektif dalam menerima pesanan yang ia terima karena ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan kedua anaknya. Baginya, mengabdi di keraton adalah takdir yang cantik. Sebelumnya, ia nyaris tak punya waktu untuk kedua anaknya berhubung akhir pekan sering ia habiskan untuk menjalani pekerjaan. Setelah mengabdi di keraton, ia bisa menemani keduanya anaknya untuk berkegiatan di akhir pekan. 

“Saya sering bawa anak-anak ke sini kalau benar-benar sudah nggak ada waktu. Mereka ke sini untuk saya tungguin belajar. Itu bisa. Sembari menanamkan bahwa mereka adalah orang Jawa.”

Penghageng di keraton tak hanya mengizinkan, tetapi juga mendorong pengaturan semacam ini dengan beberapa ketentuan, seperti pemakaian baju jangkepan sesuai usia anak. Harapannya anak-anak pun akrab dengan budaya Jawa. “Karena memang lingkungan yang terdekat kita dulu yang kita gandeng,” Raras menjelaskan.  

004

Merangkul Semua

Bagi perempuan lulusan Fakultas Ekonomi ini, tantangan terbesar dalam menjalankan tugas di keraton adalah banyaknya acara “mendadak”. “Bukan tidak terencana, tapi ada perkembangan di tengah. Itu yang harus kita akomodir,” katanya.  

Salah satu kejadian yang ia ingat adalah ketika KPH Notonegoro tiba-tiba harus memimpin bregada prajurit dalam pawai Garebeg. Beliau menggantikan Manggala Yudha yang tidak bisa bertugas. Keputusan itu diambil dua hari sebelum hari pelaksanaan. 

Raras dan timnya hanya punya sedikit sekali waktu untuk mempersiapkan kostum yang akan dikenakan KPH Notonegoro. “Kita langsung menginventaris apa yang bisa dipakai.” Dengan kesungguhan dan kerja keras, akhirnya tugas itu selesai dengan baik. 

Namun, sebaik-baiknya ia menjalankan tugas, komentar negatif tetap sesekali terdengar. Raras tak pernah balik menanggapi. “Saya bukan tipe yang menjelaskan, tapi langsung membuktikan (dengan kerja).” 

Tantangan selanjutnya cara merangkul semua Abdi Dalem Kagunan, terutama yang sepuh, “Kita Pengajeng bisa ndhawuhi lumaksa, tapi kita (harus) lebih banyak belajar dan terus ngemong yang sepuh.” Pendekatan kekeluargaan dan profesionalisme ia pilih agar semua pekerjaan dan hubungan sosial dapat berjalan dengan baik. 

Sumber Kebahagiaan

Bagi Raras, kebahagiaan datang dari keberhasilan menjalankan tugas. “Menjalankan ayahan dengan lancar adalah sebuah kebahagiaan. Kadang receh. Dianggap orang receh. Tapi bagi saya itu adalah hasil perjuangan.”

Perempuan yang gemar membaca novel dan menikmati kuliner ini mengaku lebih sabar setelah menjadi Abdi Dalem. “Hidup saya itu banyak dinamika, (sekarang) bisa menghadapinya lebih tenang. Ora kemrungsung. Bisa lebih open minded. Dulu, misalnya menghakimi sesuatu gampang, tapi sekarang tidak lagi.”

Ia juga mendapati dirinya tak lagi menggebu menyangkut kebendaan. Ia tak lagi impulsif membeli benda-benda yang tak penting. Ia lebih memilih kepraktisan dan fungsi. 

Keinginan terbesarnya adalah memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi sesama. Kepada anak-anak muda, ia berpesan agar bangga menjadi diri sendiri. “Dalam arti, bila kamu orang Jawa, banggalah menjadi Jawamu.”

Meski menjalani laku sebagai penari, perempuan yang tinggal di Jogokariyan ini tidak mengharuskan anak-anaknya mengikuti jejaknya. “Paling tidak, anak-anak itu sudah merasa memiliki budayanya.” Baginya, yang paling penting adalah kepedulian terhadap kelestarian budaya.