KPH Pujaningrat, Duta Yogyakarta di Pentas Dunia

KPH Pujaningrat

KPH Pujaningrat tak bisa dilepaskan dari kesenian, khususnya tari. Sejak usia belia ia menggeluti kesenian, dan kini di usianya yang sudah lebih dari 70 tahun perhatiannya terhadap bidang ini tak surut.

“Waktu SMP saya sudah menjadi ketua bagian kesenian,” tutur Penghageng II Kawedanan Hageng Sri Wandawa ini. “Di SMA juga begitu. Bahkan di UGM saya termasuk yang mendirikan unit kegiatan tari, Swagayugama.”

Kepiawaiannya dalam menari gagrak Yogyakarta telah membawanya melanglang Nusantara bahkan dunia. Ia pun terlibat dalam momen-momen penting, seperti penyerahan kedaulatan Irian Barat dari Belanda ke Indonesia.

“(Waktu kuliah) saya pernah dikirim ke Irian Jaya pas penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia bersama-sama dengan mahasiwa dari universitas Indonesia, universitas Padjajaran, dan universitas Udayana untuk pentas di sana.”

Menghidupi Seni

Berlatih tari di Siswa Among Beksa, pria yang terlahir dengan nama RM Dinusatama ini menghabiskan sebagian besar masa mudanya untuk pentas dan mengajar tari. Bahkan pada tahun 1973 ia pentas tari sebanyak 90 kali dalam setahun di berbagai negara di benua Eropa, seperti Belanda, Inggris, Belgia, Jerman Barat, dan negara-negara lain. Di sana ia dan tim membawakan tari-tari klasik Yogyakarta seperti bedhayaklana topenggolek tunggalmenakramayana, dan lain sebagainya.

“Waktu pentas di Jepang tahun 1974, seorang penonton sampai minta doa restu pada saya. Saya memerankan dewa Wisnu dan ia menganggap saya ‘kok seperti dewa Wisnu betulan’. Dikiranya saya memiliki kekuatan spiritual. Jadi, saya doakan sedapat-dapatnya.” KPH Pujaningrat tertawa saat menceritakan salah satu pengalaman uniknya.

Selepas kuliah, memenuhi panggilan hidupnya, ia menjadi PNS di Bidang Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelum pensiun, ia menjabat sebagai kepala bidang kesenian yang mengurusi tak hanya seni tari, tetapi juga musik dan seni rupa. Setelah pensiun pun ia masih diminta membantu pekerjaan di PPPG Kesenian selama empat tahun.

Selama melakoni tugas sebagai PNS, ia juga sibuk menjadi pembina di Swagayugama hingga sempat terlibat dalam pementasan Sendratari Gadjah Mada. Setelah meletakkan jabatan itu, ia kembali ke Siswa Among Beksa dan menjadi pamucal di sana sembari tetap berpentas di atas panggung.

“Pentas saya yang terakhir kali berlangsung di Bangsal Sri Manganti tahun 1999,” kenang pria kelahiran 1941 yang merupakan cucu Sri Sultan HB VIII ini.

Bergabung dengan Sri Wandawa

Sri Wandawa merupakan divisi di keraton yang salah satunya bertugas mengelola masjid, pasareyan (makam), patilasan, dan pasanggrahan milik keraton.

“Saya bergabung dengan dengan keraton tahun 2006 dan langsung ditempatkan di Sri Wandawa,” ujarnya. Ia mengaku dipanggil oleh Gusti Joyo untuk menjadi Abdi Dalem dan menyanggupinya. Begitu masuk ia menjabat sebagai Penghageng Angka Kalih dan bergelar KRT, Kanjeng Raden Tumenggung.

Tanpa melewati tahap-tahap jabatan dari bawah, kini ia berkedudukan sebagai Pangeran Sentana dengan gelar KPH, Kanjeng Pangeran Harya. “Saya tidak menyangka akan jadi pangeran. Itu mengherankan,” ujarnya rendah hati. Gelar Kanjeng Pangeran Harya adalah salah satu gelar khusus pemberian Sultan yang bertahta.

Membacakan piagam penobatan Sri Sultan HB 10 dan mendapat tanda jasa bintang karenanya adalah momen paling mengesankan sepanjang kariernya sebagai Abdi Dalem.

“Di keraton santai. Nggak banyak masalah. Kalau (kerja) di kantor banyak masalah.” Demikian yang dirasakan oleh alumni Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada ini, sambil menyebutkan contoh-contoh masalah yang ia alami semasa bekerja di Dinas Kesenian; mulai dari perbedaan pendapat tentang pemugaran gedung Seni Sono dan hingga pelarangan pementasan oleh tentara.

Meski kini tidak menari lagi, perhatiannya terhadap kesenian tak pernah padam. Ia berharap sanggar-sanggar tari mendapat bantuan lebih dari pemerintah, “Selama ini yang dibantu hanya kegiatan (pementasan) saja, tetapi penyelenggaraan kursus kan juga butuh biaya dan itu belum pernah dibantu.”

Sementara untuk para penari muda, bapak dua anak dan tiga cucu ini berpesan agar mereka memperbaiki teknik dan penjiwaaan dalam menari .

“(Penari) sekarang bila mengangkat kaki, asal mengangkat kaki. Teknik yang tepat tidak mereka ketahui,” jelasnya. Sementara untuk penjiwaan, ia berpendapat pengaturan jadwal kadang tak memungkinkan penari mendalami karakter yang dibawakannnya, “Jam tujuh berperan jadi Rama, dua jam kemudian pentas jadi Rahwana. Tidak mungkin mendalami penjiwaan.”

Menurutnya dua hal itulah yang perlu diperhatikan oleh para penari keraton. Sementara pakem tarian dirasanya sudah cukup baik karena standar peraturan sudah tersedia, termasuk untuk gamelan pengiringnya.

“Kami awasi terus,” tutupnya meyakinkan.