Raden Lurah Purwatrimurda: Pengabdian Sentana Dalem untuk Kelestarian Pusaka
- 27-05-2025

Sebagai kerajaan serta pusat budaya Jawa, Keraton Yogyakarta memiliki berbagai benda pusaka berupa serangkaian relikui yang meneguhkan eksistensi dan takhta seorang raja. Wujud dan jenisnya bervariasi, mulai dari perhiasan, senjata, hingga kereta kerajaan. Lekat dengan kehidupan raja, benda-benda warisan budaya tersebut memiliki nilai sejarah dan filosofis tinggi.
Urusan Radya Pusaka merupakan penanggung jawab utama pemeliharaan pusaka-pusaka tersebut. Badan ini berada di bawah Kawedanan Sriwandawa dan sesuai tradisi serta pranatan (aturan), Abdi Dalem yang melaksanakan tugas merupakan Sentana Dalem (kerabat keraton). Selain aturan status Abdi Dalem tersebut, Urusan Radya Pusaka memiliki kekhususan, yaitu pengelolaannya dijalankan secara tertutup karena terkait dengan kedudukan pusaka itu sendiri.
Raden Mas Suryo Radietama, NK, S.H., cicit Sri Sultan Hamengku Buwono VII, terpanggil sejak dini untuk membaktikan diri merawat benda-benda peninggalan leluhur tersebut. Awalnya, sekitar tahun 2005, ia ikut serta dalam penyelenggaraan Hajad Dalem di keraton. Waktu itu RM Suryo Radietama baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Kemudian, RM Suryo Radietama mengikuti magang di Reh Sekuriti, Kawedanan Puraraksa. Menjalani masa magang sekitar setahun, RM Suryo Radietama kemudian diwisuda sebagai Abdi Dalem dan mendapat Nama Paring Dalem Raden Purwatrimurda. Begitu menerima Serat Kekancingan, ia diliyer atau dipindahtugaskan ke Radya Pusaka.
Dukungan untuk mengabdi otomatis RM Suryo Radietama dapatkan dari keluarga besar yang memang memiliki pertalian darah dengan keluarga keraton dan sudah terbiasa melihatnya berkegiatan di keraton. Kini, Raden Purwatrimurda berpangkat lurah.
Merawat Pusaka dan Budaya
“Di Radya Pusaka, kami memang menjalankan Dhawuh Dalem yang cukup sensitif dan cukup tertutup dari ekspos luar,” ujarnya. Dalam satu bulan tim Radya Pusaka mendedikasikan dua hari berturut-turut untuk melakukan pemeliharaan pusaka. Mereka membuat inventori dan memastikan Pusaka-pusaka Dalem selalu dalam kondisi yang baik dan terawat luar-dalam. Terkadang mereka mendapat tugas di luar jadwal rutin.
Setahun sekali, pada bulan Sura (Muharram), Keraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara Hajad Dalem Siraman Ageng yang bertujuan membersihkan pusaka secara menyeluruh. Upacara tersebut dihadiri dan dipimpin langsung oleh Ngarsa Dalem. berlangsung dua hari berturut-turut dan biasanya Ngarsa Dalem miyos (hadir) pada hari pertama. Mengingat jumlah dan jenis pusaka yang harus dijamasi, upacara tersebut berlangsung selama beberapa hari. Radya Pusaka sebagai penanggungjawab upacara akan melibatkan Abdi Dalem dari kawedanan lain yang biasanya sudah berpangkat sipat bupati.
Lebih jauh, Raden Lurah Purwatrimurda menjelaskan bahwa cakupan tanggung jawab Radya Pusaka terbatas pada benda-benda yang disimpan di Kedhaton. Namun, ia menekankan, Kedhaton sangatlah luas. Ia mencontohkan, waos (mata tombak) sebagai bagian dari dwaja (bendera kesatuan) yang dimiliki oleh setiap bregada (kesatuan) prajurit keraton juga merupakan Pusaka Dalem yang berada di bawah perawatan Radya Pusaka.
“Khusus Pusaka Dalem yang berada di dalam kesatuan-kesatuan prajurit itu, kita melakukan treatment tersendiri,” ujarnya. Ia melanjutkan bahwa pusaka yang digunakan oleh bregada kaprajuritan hanya dikeluarkan pada saat upacara resmi Hajad Dalem. Sehingga, saat latihan, yang digunakan adalah replikanya.
Beberapa kawedanan lain turut merawat benda-benda yang bernilai historis tinggi tersebut. Kostum-kostum tari tertentu, misalnya, dirawat oleh Kawedanan Kridhamardawa yang memang mengurusi kesenian. Sementara kereta kerajaan dirawat oleh Radya Kartiyasa yang mengelola museum kereta keraton. “Namun demikian ada beberapa bagian dari Titihan Dalem (kendaraan sultan) yang ada dalam supervisi kami. Bagian-bagian tersebut biasanya bagian dari seperti aksesori kuda,” ujarnya.
Dedikasi Tinggi Para Sentana
Sampai hari ini, Urusan Radya Pusaka beranggotakan lima hingga tujuh Sentana Dalem. “Sangat sedikit kalau dibandingkan dengan inventori yang dimiliki. Wah itu memang salah satu hal yang memiliki tantangan tersendiri. Apalagi agenda kerjanya sebulan hanya dua kali (dua hari), tapi kami memang ada program kerja secara berurutan. Kita sudah lakukan inventori mana yang akan kami kerjakan sampai akhirnya dalam kurun waktu satu tahun itu paripurna.” Dengan segala keterbatasan tersebut, mereka mengupayakan yang terbaik dan selalu berhasil menyelesaikan tugas dari hulu sampai hilir. Sentana Dalem di luar Radya Pusaka terkadang turut terlibat, tetapi sifatnya membantu.
Merawat pusaka, sebagai benda warisan budaya yang terbilang kuno, tentu tidak mudah. Namun, Raden Lurah Purwatrimurda tidak menemui kendala yang berarti sejauh ini. Tantangan pertama adalah perlakuan dan tingkat kesulitan yang berbeda untuk jenis pusaka yang berbeda. “Dan juga kehati-hatian (yang diperlukan) pasti berbeda tingkat, mengingat pusaka ini kan usianya bukan hanya puluhan tahun, tapi sudah berabad-abad.”
Tantangan lainnya adalah regenerasi karena aturan Abdi Dalem Radya Pusaka harus merupakan kerabat raja. “Diperlukan effort yang lebih untuk kemudian bagaimana menjadikan (pengabdian ke Radya Pusaka) panggilan para Sentana Dalem yang lain, terutama yang masih muda untuk mau melanjutkan estafet tugas dan tanggung jawab ini.”
Raden Lurah Purwatrimurda menyadari tidak semua Sentana Dalem memahami cara merawat pusaka. “Jadi memang betul-betul yang pilihan, tapi semuanya pasti berawal dari belajar karena saya juga dulu mulainya dengan belajar. Tapi prinsipnya Sentana Dalem ini memiliki basic (dasar) karena mereka secara pribadi juga memiliki pusaka. Jadi mereka secara basic sebenarnya sudah memahami, cuma mereka berada di kawedanan lain yang sesuai dengan disiplin ilmunya, ungkap Raden Lurah Purwatrimurda.”
Dengan jujur ia mengakui pada awalnya, ia sama sekali tidak punya pengetahuan dan pengalaman merawat benda-benda pusaka, tetapi karena Radya Pusaka membutuhkan personel, ia pun belajar dan mengabdi sesuai yang amanat.
“Tantangan terakhir adalah memastikan Pusaka Dalem yang merupakan bagian dari rahasia dari Negari Dalem ini tetap lestari pada masa mendatang, terjaga kondisi fisiknya,” tambahnya. Ia menyambut baik perkembangan teknologi digital yang masuk ke keraton, tetapi di saat yang sama mengakui Radya Pusaka tidak bisa melaju secepat kawedanan lain. “Bukan karena hal lain, tetapi apa yang kami ampu, ayahan-ayahan kami ini bersentuhan dengan rahasia negara, jadi perlu kehati-hatian.”
Sinergi
Tidak lazim bagi anak remaja untuk menekuni bidang yang terbilang langka dan tidak popular, tapi RM Suryo Radietama memilih jalan sunyi tersebut. Ia menyatakan ada tanggung jawab dalam darah dan sanubarinya untuk menerima tongkat estafet dari pendahulunya. “Karena (saya) merasa atau ngrumaosi bahwa ini harus dilanjutkan. Jadi, kalau bukan kita sebagai pelakunya, siapa lagi?”
Motivasinya tergugah saat melihat antusiasme masyarakat dalam berkontribusi untuk kemajuan keraton. Sebagai Sentana Dalem ia merasa harus mengambil bagian. “Karena ini sebuah sinergitas ya, yang harus dilaksanakan antara keraton dan masyarakatnya.”
Ia menikmati menjalankan tugas dan merasakan Ngrimat Pusaka Dalem sebagai sebuah refleksi. “Benda-benda sejarah dan budaya ini memiliki karakter yang berbeda, sama halnya dengan manusia,” tuturnya. Beberapa kali datang Dhawuh Dalem yang mendadak, “Nah, itu yang di satu sisi senang, di sisi lain saya (harus memantau) sebetulnya sudah siap atau belum ya posisinya. Tapi karena selalu melakukan tugas dan tanggung jawab itu sesuai prosedur, memang alhamdulillah tidak ada kendala berat,” sambungnya.
Adaptif dan Terbuka
Raden Lurah Purwatrimurda lahir dan besar di Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Kesempatan bekerja sebagai Sekretaris Duta Besar di Kedutaan Indonesia untuk Bahrain membuat kuliahnya sempat terjeda.
Kembali ke Yogyakarta, ia segera menyelesaikan studi, lulus, kemudian bekerja di Jakarta. Di kota metropolitan itu, ia berkecimpung di industri medis selama delapan tahun. Kini, ia masih bekerja di perusahaan yang sama di Yogyakarta. Ia lebih banyak bersinggungan dengan manajemen, walau terkadang mengerjakan tugas operasional di lapangan, terutama sterilisasi alat medis dan farmasi di rumah sakit. Ia juga masih menyediakan jasa konsultasi bidang medis dan legal.
Adaptif dan terbuka untuk terus belajar membuat Raden Lurah Purwatrimurda tidak mengalami kendala besar dalam menekuni bidang-bidang yang berbeda, bahkan akhirnya ia menemukan inti yang sama, “Sama-sama sebetulnya, tadinya saya cukup surprised kok di dalam keraton (tugas saya) seperti itu (merawat), di luar juga lebih kurang sama. Cuma bedanya yang satu ada nilai budaya, yang satu nilai medis.”
Ia menyatakan hingga hari ini ia masih terus belajar mengenai keraton, “Apalagi sekarang keraton memang sinergi dengan perkembangan zaman, terus bergerak maju. Banyak nama-nama institusi yang baru.” Bertemu dengan wajah-wajah baru di keraton membuatnya bersemangat, “Ini kan belum pernah ada, wajah-wajah baru di zaman itu, sehingga kami juga tentunya sangat excited untuk berkolaborasi.”
Di antara kesibukannya, bapak satu putri ini menyukai jalan-jalan dan minum kopi sebagai sarana relaksasi. Ia mengaku mendapat inspirasi dan energi baru saat menikmati kelezatan kopi.
Sengguh Ora Mingkuh
Raden Lurah Purwatrimurda menuturkan ia mendapat banyak hikmah dari pengabdiannya. Yang paling mengena baginya adalah nasihat dari eyang-eyang dan mitra Abdi Dalem terkait nilai-nilai yang harus diugemi baik di dalam maupun di luar keraton. “Kita selalu menjadi representasi dari budaya yang kita miliki, budaya jawa.” Menurutnya, apa yang kita lakukan di dalam (keraton) akan tercermin saat kita di luar keraton dan sebaliknya.
Ia menggenggam erat pesan kebajikan dari para sesepuh; nyawiji, greget, sengguh ora mingkuh. “Nyawiji, artinya apa yang kita ucapkan dengan apa yang kita harus yakini di dalam sanubari harus seirama.” Greget ia uraikan sebagai semangat dalam menjani kehidupan, sengguh adalah keutamaan percaya diri, sementara ora mingkuh adalah sikap bertanggung jawab saat ini maupun di kemudian hari. “Jadi harus hati-hati dalam menjalani kewajiban yang pada akhirnya (bermuara ke) sangkan paraning dumadi; bahwa kita itu dari mana, akan menjalani kehidupan ini di mana, dan kita akan ke mana.”
Ada juga satu pesan dari swargi Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berkesan untuknya dan ingin ia teruskan pada generasi penerus, “Siapa pun kita orang Jawa, sejauh apa pun kaki kita melangkah, hendaknya kita harus tetap ingat kita itu adalah sebenar-benarnya orang Jawa.” Ia meyakini rasa tanggung jawab sebagai orang Jawa akan mendorong kita untuk merawat nilai-nilai budaya Jawa dan terus belajar serta menggali potensi. “Sebaik-baiknya orang adalah orang yang mengenali diri dan budayanya,” sambungnya.
Ia berharap Keraton Yogyakarta tetap lestari hingga akhir zaman. “Sehingga generasi muda, khususnya yang belum hadir di dunia ini, akan bisa mengikuti langkah gerak dinamika yang dihidupkan oleh Keraton Yogyakarta sehingga mereka tahu sejarah mereka ada di dunia ini,” pungkasnya.