MB Suraksa Trirejo, Juru Kunci Parangkusuma: Penjaga Marwah Keraton di Pantai Selatan
- 01-07-2025

Kehidupan Mas Bekel Suraksa Trirejo tak terpisahkan dari Parangkusuma dan Parangtritis. Ia lahir dan tumbuh di kawasan pantai selatan Jawa yang berada di Kabupaten Bantul tersebut. Mengikuti jejak ayah dan simbah kakungnya, ia mengabdikan diri sebagai Abdi Dalem juru kunci di Petilasan Pemancingan Parangkusuma.
Sebagai cucu dan anak Abdi Dalem, sejak kecil Tri Waldiyana, demikian nama lahirnya, banyak mendengar cerita, bahkan menyaksikan sendiri suka duka menjadi Abdi Dalem. Ia berkesimpulan para Abdi Dalem memiliki akhlak dan adab yang berbeda. “Sesuai dengan yang tertulis dalam Partisara (surat keputusan) yang saya terima (di kemudian hari). Di situ kan (tertulis) Abdi Dalem keraton itu kan sebagai abdi kebudayaan,” tuturnya.
Ngenger di Yogyakarta
Sewaktu SMA, Tri Waldiyana mengikuti ayahnya ngenger (tinggal bersama sembari bekerja) di rumah salah satu kerabat keraton di kampung Langenastran. “Empat tahun (saya) digembleng di sana.” Ia mendapatkan fasilitas, termasuk bersekolah tanpa membayar, selayaknya keluarga. Sebagai timbal baliknya, ia harus membantu mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Lambat laun, ia bisa mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai kehidupan Abdi Dalem. “Saya bisa merasakan ada ketenangan dan tentu yang saya harapkan adalah keberkahan. Keberkahan itu saya kira dapat saya nikmati, mungkin di luar logika nalar saya, tapi dengan saya menjadi Abdi Dalem, ada ketenangan batin, ada keheningan dalam batin sehingga kita merasa tenteram.”
Namun, Tri Waldiyana tak serta merta bersedia menjadi Abdi Dalem. Bukan karena tidak ingin, melainkan karena merasa masih muda dan belum memiliki kemampuan cukup. “Karena seorang juru kunci, juru resik itu kan harus ada batin yang betul-betul menyatu.” Menurutnya, banyak godaan yang dihadapi juru kunci, “Bukan godaan secara batiniah, tapi secara lahiriah.”
Ia baru bersedia melamar menjadi Abdi Dalem setelah diperintah oleh orang tuanya. Keluarga memberi dukungan penuh, termasuk mertuanya yang kebetulan juga Abdi Dalem sehingga paham betul seluk-beluk pengabdian budaya tersebut. Namun, Tri tetap mempertimbangkan banyak hal. “Karena saya juga tipis dalam bidang agama, saya sowan ke kiai.” Ia berkonsultasi dengan kiai yang dianggapnya memiliki pengetahuan agama mendalam. Kiai tersebut menggarisbawahi bahwa yang penting adalah ia tidak meminta kepada selain Allah.
Tri pun mantap melamar hingga kemudian dipanggil dan menjalani magang sekitar dua tahun. Pada tahun 2006, ia resmi diwisuda menjadi Abdi Dalem, mendapat Nama Paring Dalem dan pangkat jajar. Tahun 2017 karena pengirid (ketua) Abdi Dalem di Parangkusuma sudah sepuh, turunlah kebijakan dari Urusan Pengulon untuk mengangkat wakil pengirid. Karena tidak ada yang bersedia, pemilihan demokratis pun digelar. “Ternyata kanca-kanca mempercayakan kepada saya sehingga saya ya, suka tidak suka karena itu kepercayaan dari kanca-kanca dan juga dhawuh dari keraton, sehingga saya siyaga lumaksana (siap menjalankan tugas) sampai sekarang.”
Mulai saat itu, ia resmi berbagi tugas dengan Rama Pengirid, terutama terkait administrasi dan tugas-tugas fisik. “Kalau terkait dengan dhawuh keraton yang ada kaitannya dengan doa-doa dan sebagainya tentu selama Rama Pengirid kersa (sanggup) dan tidak paring disposisi ke saya, ya tetap masih beliau.”
Petilasan Pemancingan Parangkusuma
Di Pesisir Parangkusuma, terdapat tiga petilasan yang merupakan aset Keraton Yogyakarta, yaitu Cepuri Parangkusuma, Makam Syekh Belabelu dan Syekh Damiaking, dan Makam Syekh Maulana Magribi. Kakak beradik Syekh Belabelu dan Syekh Damiaking diyakini sebagai keturunan Brawijaya V di Kerajaan Majapahit yang lari dari istana saat situasi kerajaan sedang goyah. Mereka kemudian bersemadi di perbukitan Parangkusuma. Di sinilah mereka bertemu dengan Syekh Maulana Magribi, seorang musafir dari Kota Magribi, Maroko yang melakukan siar Islam. Makam ketiga tokoh tersebut terletak di perbukitan, kira-kira 250 meter di atas permukaan air laut.
Hingga kini, ketiga situs tersebut menjadi tujuan wisata religi yang kerap didatangi peziarah dari berbagai daerah. Tiga puluh empat Abdi Dalem ditugaskan untuk merawat ketiga tempat bersejarah tersebut. Mereka terbagi dalam tiga regu dan bergiliran bertugas selama dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu.
Para pengunjung datang dengan tujuan yang berbeda-beda. Meski mayoritas datang untuk berziarah dan berdoa, namun selalu ada segelintir yang ingin meraih materi duniawi dan berpotensi menyimpang dari tuntunan. “Contoh mau minta pesugihan, ada juga bank gaib, ada juga yang harta karun. Dan ini memang kami (Abdi Dalem) diuji di situ. Bagaimana kami betul-betul (harus) bisa menjelaskan, memberikan pemahaman bagi pengunjung, bahwa toh walaupun itu ada, tetapi sesuai syariat kan tidak dibenarkan.”
Ia menegaskan bahwa ia tidak melayani permintaan-permintaan seperti itu. Kebijaksanaan Abdi Dalem sangat diperlukan karena bisa jadi pengunjung datang dari jauh atau sedang sedang menghadapi kesulitan. Tak sedikit pula yang menawarkan imbalan bagi Abdi Dalem. Inilah yang dimaksud sebagai godaan materi oleh MB Suraksa Trirejo. “Itukan ujian. Maka kami harus tegas memberikan pemahaman,” jelasnya. Di saat lain, ia pernah mendapati pengunjung yang menjadi korban penipuan oleh orang yang mengaku paranormal. “Kami juga harus meluruskan hal itu,” tambahnya.
Kepada pengunjung ia berusaha memberi pengertian, bahwa hendaknya mereka tidak meminta kepada Kanjeng Ratu Kidul, Syekh Maulana Magribi, Syekh Belabelu, atau zat-zat gaib lain. “Tapi dengan kita berdoa di situ, (kita) memohon kepada Tuhan,” tegasnya.
Merawat Lahir dan Batin
Tugas utama Abdi Dalem juru kunci atau juru resik adalah membersihkan serta merawat fasilitas fisik di area dalam dan luar makam, termasuk jalan, musala, kamar mandi dan bangunan-bangunan lain. “Kalau hujan kan banyak longsor-longsor, itu juga kita benahi,” ujar MB Suraksa Trirejo. Selain itu, mereka juga melaksanakan Hajad Dalem Labuhan serta dhawuh-dhawuh lain yang bersifat insidental, “Misalnya dari Kridhamardawa. Biasanya kalau mau menyelenggarakan gladhen beksan atau bedhaya (latihan tari maupun menarikan bedhaya), itu kan biasanya caos bekti leluhur. Itu biasanya mereka juga bersurat.”
Setiap kelompok juru kunci membuat jadwal kerja masing-masing. Sekali selapan atau 35 hari, mereka semua berkumpul untuk menyampaikan laporan kelompok serta membahas permasalahan yang ada. “Di samping pelaporan, kita kan ada (pemasukan dari) shodaqoh. Nah, kita kan kumpulkan di situ. Kita bedakan, mana yang shodaqoh hasil pengunjung ziarah, mana yang hasil jemaah infaq di musala.” Infaq dan shodaqoh tersebut akan dikembalikan pada pengunjung, berupa biaya perawatan harian dan perbaikan fasilitas.
Sadar Wisata
Di lingkungannya, MB Suraksa Trirejo merupakan Ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dan Ketua Bamuskal (Badan Musyarah Kelurahan) Bidang Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ia telah menggeluti kegiatan di dua organisasi ini selama bertahun-tahun.
Dalam keseharian, ia bercocok tanam dan beternak. Di antaranya, ia menanam pisang dan memelihara sapi. Karena tinggal di daerah wisata, ia juga mencari penghasilan dengan berjualan pakaian dan membuka persewaan kamar mandi. Semuanya itu dirasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selain kekucah (imbalan) yang ia peroleh dari keraton melalui anggaran dana keistimewaan. “Mungkin secara logika penalaran, saya seorang tidak ada pendapatan yang pasti, tetapi selalu ada rezeki yang cukup. Makanya yang saya wanti-wanti pada saat saya menerima danais itu, Ca, tolong ini untuk keluarga, untuk mencerdaskan anak, seperti perkataan Kanjeng (atasan). Ya, itu saya patuh. Bukan berarti saya menyombongkan diri. Saya hanya menyampaikan syukur. Ternyata di luar logika matematika, saya bisa meluluskan sarjana.”
Anak pertama MB Suraksa Trirejo mendapatkan beasiswa sewaktu kuliah dan kini telah diangkat sebagai ASN. Sementara anak kedua dan ketiganya masing-masing masih bersekolah di jenjang SMA dan SMP. Semua itu ia pandang sebagai berkah luar biasa.
Hiburan favoritnya pada waktu luang adalah berwisata bersama keluarga meski dengan anggaran yang tidak besar. “Lebih baik nggak usah jauh-jauh, dekat, tapi kami makan bersama. Bagi saya sudah senang. Murah meriah.”
Sambil berwisata ia melakukan pengamatan. “Ya kayak semacam studi tiru, studi banding. Kalau di Parangtritis, kalau kita bikin seperti ini, seperti apa. Jadi bukan sekadar kumpul makan, tapi sedikit banyak ya kita manfaatkan yang bisa kita tiru.”
Sungkem Ngarsa Dalem
Lebih dari dua dekade mengabdi sebagai juru kunci, MB Suraksa Trirejo telah menjumpai ribuan orang dengan berbagai latar belakang, mulai dari rakyat jelata hingga ulama dan pejabat. “Bahkan ada yang dari Singapura, Malaysia.” Bertugas di kawasan yang sering dianggap mistis, ia juga mendapatkan beragam pengalaman, termasuk menghadapi korban kesurupan dan korban penipuan.
Namun, pengalaman yang ia anggap istimewa adalah sungkem dengan Ngarsa Dalem. “Sungkem dengan Ngarsa Dalem kan tidak semudah itu, makanya sangat berkesan kalau bisa sungkem ngabekten dengan Ngarsa Dalem. Makanya selalu saya berupaya. Kalau dari Pengulon (ada tawaran) mangga Ca, Kanca Kidul yang mau ngabekten, itu pasti saya utamakan.”
Lulusan SMTI (Sekolah Menengah Teknologi Industri) ini mengambil banyak nilai positif dari pengabdiannya, salah satunya adalah hidup sederhana sesuai kebutuhan. “Kalau memang kebutuhan kita sudah terlaksana, itulah yang dianggap cukup. Jadi, sederhana kalau saya. Yang penting hidup sederhana, syukuri, dan tentu jalani, nikmati.”
Setelah menerima Partisara, MB Suraksa Trirejo menyadari ia harus lebih berhati-hati dalam berperilaku. Abdi Dalem pada umumnya menjadi tolok ukur adab di masyarakat. “Kami juga mendapatkan sorotan. Dalam artian, kami selalu diperhatikan. Salah satu contoh, saya di kelurahan kan juga menjadi wakil kelurahan budaya, pengurus kelurahan budaya, jadi soal pakaian misalnya, kalau kami tidak sesuai atau nggak trep, mungkin (ada anggapan), itu yang Abdi Dalem saja tidak benar. Nah, kan berarti kami harus selalu (cermat).”
Sementara, dari sisi batiniah MB Suraksa Trirejo merasakan lebih legawa, lebih ikhlas dalam menerima keadaan. “Apa pun yang terjadi itu sudah menjadi kehendak yang Mahakuasa.”
Untuk generasi penerus ia berpesan agar tidak melupakan sejarah serta menyatu dengan alam. “Ada kasepuhan yang ngendika hamemayu hayuning bawana. Itu adalah menyatukan semua akal pikiran manusia dengan alam sehingga bisa hidup bersinergi.”
Ia tak memiliki ambisi tinggi, “Kalau cita-cita saya sederhana: menjadi Abdi Dalem yang terbaik. Yang bisa sesuai apa yang menjadi harapan Ngarsa Dalem. Kemudian selaku kita umat Tuhan, diharapkan kita selalu takwa. Dari sisi sosialnya semoga kita bermanfaat kepada orang lain dan kita tidak merepotkan orang lain.”