Mas Ngabehi Surakso Budoyo, Penjaga Situs Dlepih

Mas Ngabehi Surakso Budoyo

Labuhan merupakan upacara adat yang secara rutin dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Upacara ini dilakukan di tempat-tempat tertentu yang dikenal sebagai Patilasan. Tempat-tempat yang memiliki arti khusus bagi keraton hingga perlu dirawat.

Tempat-tempat tersebut adalah Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih. Labuhan dilaksanakan setiap tahun untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem, peringatan kenaikan takhta Sultan berdasar kalender Jawa. Khusus di Dlepih, tepatnya di Kahyangan, Labuhan hanya diselenggarakan saat Labuhan Ageng (besar) yang jatuh tiap sewindu atau delapan tahun sekali yang bertepatan pada tahun Dal.

Lokasi-lokasi labuhan dijaga dan dipelihara oleh juru kunci yang diangkat sebagai Abdi Dalem oleh keraton. Di Kahyangan, Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri, salah satu Abdi Dalem yang ditugaskan untuk menjaganya adalah Mas Ngabehi Surakso Budoyo.

Pria bernama asli Wakino ini ditunjuk sebagai Abdi Dalem menggantikan ayahnya. Berbeda dari juru kunci di tempat-tempat lain, di Dlepih penugasan juru kunci diwariskan dari generasi ke generasi.

Awalnya Wakino membantu pekerjaan ayahnya, lalu pada tahun 1965, saat berusia 25, ia diangkat menjadi Abdi Dalem. Kini seorang anak dan dua cucunya juga sudah diangkat sebagai Abdi Dalem juru kunci. Keempat orang inilah yang sekarang merawat petilasan tersebut.

Labuhan di Situs Pertapaan

Konon, Kahyangan merupakan tempat pertapaan Danang Sutawijaya yang kelak dikenal sebagai Panembahan Senopati ketika ia hendak membuka hutan Mentaok. Hutan Mentaok adalah hadiah yang dijanjikan Sultan Hadiwijaya, penguasa Kerajaan Pajang, kepada siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang. Hutan Mentaok yang dibuka inilah yang kemudian berkembang menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam, cikal bakal Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Selama bertapa di hutan Kahyangan Dlepih, Danang Sutawijaya dibantu kebutuhan sehari-harinya oleh Nyai Puju, warga yang tinggal di daerah itu. Konon, Nyai Puju dan keturunannya inilah yang kemudian diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bekas pertapaannya, setelah Danang Sutawijaya menjadi Raja Mataram

Lingkungan sekitar pertapaan tersebut terletak di lembah sungai dengan batu-batu dan pohon besar. Sebuah air terjun menghiasi tebing. Terdapat dua pertapaan yang keduanya berada di bawah sebuah batu yang sangat besar, Selo Bethek dan Selo Payung. Di Selo Payung inilah upacara Labuhan dilaksanakan.

Sebagai ritual, Labuhan memiliki aturan dan urutan khusus. Prosesi diawali di keraton. Ubarampe disiapkan lalu diantarkan ke tempat yang ditentukan. Ubarampe tersebut berupa songsong (payung kerajaan), baju, kain, makanan dan sebagainya. Di Dlepih, ubarampe yang dibawa oleh utusan dari Keraton Yogyakarta langsung diserahkan ke Camat dan Abdi Dalem Juru Kunci di Selo Payung. Setelah itu Abdi Dalem Juru Kunci akan memimpin doa. Khusus untuk Labuhan di Dlepih, ubarampe yang telah didoakan tersebut tidak dibagikan kepada masyarakat. Ubarampe disimpan sampai rusak di sebuah bangunan khusus yang disebut Panti Labuhan.

Sebagai situs yang memiliki nilai sejarah kerajaan masa lalu, tak ayal Kahyangan dianggap sebagai tempat keramat sehingga banyak orang mendatangi tempat ini untuk ngalap berkah, melakukan doa permohonan agar tujuannya tercapai. Sehingga selain bertugas menyelenggarakan upacara Labuhan, membersihkan, dan merawat situs, Abdi Dalem Juru Kunci di Kahyangan juga bertugas mendampingi para peziarah.

“Tugas pokok kami adalah berada di sini setiap hari. Ada (pengunjung) yang minta agar lancar pekerjaannya. Apapun tujuannya saya akan mendoakan,” ungkap pria yang tak lulus SD ini. Ia mengaku keluarga dan warga sekitar tidak menyikapi posisinya secara istimewa, “Tapi ada penghormatan khusus,” ujarnya. “Kalau ada pekerjaan besar, seperti (perbaikan lahan) waktu tempat ini longsor, saya bisa minta tolong pada (kepala) Dukuh.”