Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati, Wakil Hartaka II Panitrapura: Bakti Diri Demi Pengabdian Panjang

Pada akhir tahun 90-an, Grace yang waktu itu berusia tiga puluh, meninggalkan pekerjaannya di Singapura. Dengan penuh kesadaran, ia pulang ke kampung kelahirannya untuk membaktikan diri di Keraton Yogyakarta. Tiga dekade kemudian, ia masih mengambil peran aktif untuk kemajuan keraton. Bahkan pada 2014, ia memutuskan untuk menjadi Abdi Dalem. 

Grace Eko Putranto tumbuh dan besar di Yogyakarta. Setelah menamatkan pendidikan di SMA Negeri 1 Yogyakarta, ia meneruskan studi di Fakultas Ekonomi UPN Veteran. Setelah mendapat gelar sarjana, ia mengadu nasib di Ibu Kota dan bekerja di Hotel Mandarin sebagai staf pemasaran. Satu setengah tahun kemudian, ia memutuskan untuk berkarier di perusahaan trading di Singapura. 

Di negara singa itulah ia bertemu langsung dengan Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10, raja Yogyakarta yang baru saja naik takhta. Kala itu Sri Sultan sedang mengantar kedua putri tertuanya untuk bersekolah di sana. 

Berawal dari Membantu Putri-Putri Ngarsa Dalem

Kakak Grace kebetulan merupakan salah satu relasi Ngarsa Dalem. Lewat hubungan itu, Grace diminta untuk membantu Putri-Putri Dalem untuk beradaptasi tinggal di negara baru. 

“Jadi pas (Ngarsa Dalem) tindak ke sana, saya dikenalin. Terus karena putri-putri mau sekolah di sana, jadi diminta untuk bantu cari sekolahan, untuk ini-itu, cari rumah, dan sebagainya. Saya banyak terlibat di situ. Jadi kalau beliau ke sana, saya pasti ditimbali, diajak.”

Setelah itu Grace bertugas menjadi sekretaris pribadi Ngarsa Dalem. Grace menyambut tawaran tersebut dengan senang hati. Pada saat yang sama Grace berencana menikah dan tinggal di Yogyakarta.

Sebagai sekretaris pribadi, ia menangani semua urusan persuratan, mengatur jadwal Ngarsa Dalem, serta melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan, termasuk mengurus pendaftaran sekolah semua Putri Dalem di luar negeri.  Ia pernah, antara lain, mengantar GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, dan GKR Maduretno untuk kuliah di Australia. Ia juga mendampingi GKR Hayu mengurus studi di New Jersey, AS dan GKR Bendara di Switzerland. “Beliau-beliau kan sudah pintar-pintar semua. Saya hanya mengurus yang kecil-kecil,” terangnya. 

Pada 2014, Grace mengaku memutuskan melamar posisi Abdi Dalem. “Saya ingin belajar budaya Jawa dengan terjun di situ. Selain itu saya juga ingin membantu dengan ilmu yang saya punya, yang kira-kira bisa dipakai di situ. (Itu) akan bisa saya lakukan bilamana saya menjadi Abdi Dalem. Saya tidak mungkin membantu dari luar. Harus menjadi Abdi Dalem.”

Setelah diterima sebagai Abdi Dalem, Grace mendapat Nama Paring Dalem Retno Kusumo Indriyati. Dengan latar belakang pengabdian serta kapasitasnya, ia langsung mendapat pangkat Wedana. Saat ini ia berpangkat Bupati Anom dan ditugaskan sebagai Wakil Hartaka II Kawedanan Hageng Panitrapura. 

Figur Agustus Web 2 02 Small

Dari Keparak ke Panitrapura

Pada awal menjadi Abdi Dalem, Retno Kusumo Indriyati ditempatkan sebagai Kanca Keparak di bawah Kawedanan Sri Wandawa. Kanca Keparak merupakan Abdi Dalem perempuan yang mengurusi rumah tangga keraton. “Berapa bulan saya di Keparak itu, membantu meronce (bunga) karena saya baru toh, karena awal. Saat itu sih saya tujuannya untuk mencatat, mendata, mendokumentasikan bunga-bunga apa yang digunakan di sini.” 

Belum tuntas mencapai maksudnya, Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati mendapat perintah untuk liyer (berpindah bagian) guna membantu GKR Condrokirono di Kawedanan Hageng Panitrapura. “Mungkin Panitrapura lebih membutuhkan tenaga saya, untuk mengelola keuangan.”

Dari Sekretaris ke Bendahara

Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati langsung ditunjuk sebagai hartaka (bendahara) yang bertugas untuk mengelola anggaran, mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengevaluasi, dan melaporkan.

Tentu tidak mudah mengelola keuangan instansi besar seperti Keraton Yogyakarta. Namun, Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati tidak menemukan kendala berarti. “Kalau kesulitan mungkin ada, namun saya melihat kesulitan itu sebagai tantangan. Saya bisa nggak ya menyelesaikan ini.” Dengan pendekatan yang baik, ia bisa menyelesaikan tugasnya lebih mudah. “Karena teman-teman juga sangat mau bekerja sama. Rama-rama sepuh (Abdi Dalem senior) itu juga manut-manut (menurut) dengan saya. Jadi semuanya berjalan lancar.”

Tantangan terbesar justru datang dari segi bahasa. “Karena banyak yang sepuh-sepuh itu kalau saya berbahasa Indonesia (mereka) agak bingung, sementara saya tidak bisa berbahasa Jawa.” Kedua orang tua Nyi KMT Retno Kusumo berasal dari Bali sehingga walaupun lahir dan besar di Yogya, ia tidak menggunakan bahasa Jawa secara aktif. Ia makin jarang bersentuhan dengan bahasa Jawa sejak bekerja di Jakarta dan Singapura. Setelah menjadi sekretaris Ngarsa Dalem, barulah ia kembali mempelajari bahasa daerah ini.

Selain itu, ia terkadang kesulitan mendapatkan laporan tepat waktu, terutama dari Abdi Dalem senior, sementara ia harus menyerahkan laporan kepada dinas pemerintahan terkait dengan tenggat yang ketat. Usia yang tak lagi muda serta ritme kerja yang cenderung pelan membuat mereka kadang tak bisa memenuhi tuntutan jadwal. “Tantangannya itu, menyadarkan, menemani mereka untuk melaksanakan tugas itu,” tutur Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati. 

Ritme kerja yang tak secepat korporasi komersial tak urung itu membuatnya gegar pada awalnya. “Saya dulu bekerja di sektor swasta di mana saya apa-apa harus tek tek tek, kudu begini-begini, tetapi di keraton ini saya belajar untuk bersabar.” Ia pun berusaha memahami bahwa sebagian besar Abdi Dalem memang bekerja untuk mengabdi dan setiap orang memiliki karakter yang berbeda. “Meski saya tidak menerima bulat-bulat, saya tetap minta untuk tetap ada peningkatan.” 

Semua tantangan itu tak membuatnya mundur karena sejak semula ia memang ingin membantu memajukan keraton, terutama dalam bidang keuangan. Menurutnya, keuangan adalah bidang yang sensitif dan riskan. Kesalahan pengelolaan bisa berimbas pada kinerja Sri Sultan sebagai kepala daerah maupun raja. “Jadi kita harus bantu menjaga,” lanjutnya.  

Mobilitas Tinggi

Di usianya tak lagi muda, Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati tak surut dalam beraktivitas. Pekerjaannya di keraton tergolong fleksibel sehingga ia bisa mengatur waktu dan mengunjungi anak-menantu serta cucunya yang tinggal di Jakarta. Dalam sebulan, biasanya ia tinggal selama seminggu hingga sepuluh hari di sana. Baginya, mengasuh cucu adalah kegiatan mulia yang ia tunggu-tunggu. Dulu, ia bahkan bisa berada di Yogyakarta dua minggu dan di Jakarta dua minggu. “Tapi kalau Yogya memang membutuhkan, saya kadang dua bulan, tiga bulan di Yogya,” jelasnya. Putranya yang lain saat ini tinggal dan bekerja di Singapura. 

Keletihan fisik dan pikiran biasa ia pulihkan dengan bermain gim dan memasak. Ia mengaku hanya bisa memasak hidangan simpel. Terkadang, ia dan suami berwisata kuliner, salah satunya hingga ke Kota Solo. 

Meneladani Keluarga Raja

Bagaimana rasanya bekerja sangat dekat dengan keluarga raja? Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati mengatakan pada awalnya tidak merasakan sesuatu yang berlebihan. “Kalau waktu itu, terus terang ya, saya kan belum di Yogya, jadi saya tidak tahu bagaimana posisi beliau-beliau ini. Saya hanya tahu beliau-beliau ini Putri Dalem. Saya mendampingi ya wajar-wajar saja, dan kebetulan beliau-beliau ini kan humble semua.” Baru setelah bekerja di keraton, ia merasa takut karena menyadari tingginya kedudukan putri-putri Sri Sultan. 

Sebagai seseorang yang membantu para putri keraton bertumbuh, Nyi KMT Retno Kusumo tak punya kata lain untuk menggambarkan perasaannya selain bangga. “Mereka tumbuh mendekati sempurna. Anak raja, tapi sekolahnya tinggi dan pegang semua tugas. Maaf, saya di sini kan menyaksikan sendiri. Mereka bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing dan benar-benar memajukan keraton.”

Selama bekerja untuk Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10, Nyi KMT Retno Kusumo Indriyati mendapati raja Yogyakarta itu sebagai pribadi yang lemah lembut. “Beliau itu baik sekali, nggak pernah marah. Misalnya saya melakukan kesalahan, beliau hanya mengatakan, besok jangan diulang. Sesabar itu dan memanusiakan, (menghargai).”

Sri Sultan juga tidak pernah bersikap diskriminatif. “(Beliau) tidak membedakan kasta, tidak membedakan ras, tidak membedakan agama. Saya Katolik, saya chinese, saya perempuan. Tidak dibedakan sama sekali. Itu yang membuat saya akan mengabdi sepanjang saya masih diperlukan. Apa pun tantangan saya hadapi.”

Dari pengabdian panjangnya, ia mendapatkan banyak pelajaran, di antaranya pentingnya kerendahatian. “Di atas langit masih ada langit. Nggak boleh sombong, nggak boleh arogan. Beliau (Sri Sultan) saja nggak arogan, beliau saja nggak sombong, kok.” 

Salah satu pesan Sri Sultan HB Ka 10 yang paling terpatri dalam benaknya adalah untuk menerima keadaan apa adanya. “Waktu anak saya mau menikah, saya kan nangis. Anak saya mau menikah, nanti susah bertemu,” tuturnya. Sri Sultan kemudian berujar, “Ya itulah yang namanya hidup.” 

Menyalakan Semangat Hidup

Meski pekerjaan Nyi KMT Retno Kusumo membuatnya banyak meninggalkan keluarga, suami dan anak-anaknya selalu memberinya dukungan. “Mana yang membuat Mama senang, jalani saja, Ma,” katanya mengutip perkataan mereka. Ini membuatnya selalu bersyukur pada Tuhan. “Saya selalu mengatakan begini. Saya pernah juga matur pada GKR Hemas, saya terima kasih. Dengan saya mengabdi saya mendapatkan anak-anak yang baik. Saya matur begitu.”

Februari 2025 lalu, ia harus menjalani operasi lutut yang membuatnya nyaris depresi karena selama pemulihan ia tak boleh banyak bergerak. “Sampai ada di satu titik kami kumpul berempat. Anak yang tinggal di Singapura pulang. (Ia berkata) obatnya Mama hanya satu: ke Keraton. Kerja.” 

Begitulah, bekerja membuatnya lebih sehat. Sebulan setelah operasi, ia kembali bekerja dan sebulan kemudian ia sudah menyetir mobil kembali. “Saya masuk (kembali) tuh sudah rapat-rapat, tak kunjung selesai.  Sehari dua tiga rapat, itu membuat saya hidup. Capek iya, tapi hidup. Semangat.”

Ia menyakini pengabdian di keraton mendatangkan rezeki, entah dari pintu mana. “Kalau pun tidak rezeki (materi), kita akan diberi kemudahan mengurus anak. Anak diberi sifat yang baik. Gitu. Jadi saya percaya sekali.” 

Dari karakter pekerja korporasi yang selalu dituntut serba cepat, Nyi KMT Retno Kusumo perlahan berubah menjadi pribadi yang lebih memahami dan menghargai orang lain. Batinnya pun lebih tenang. Keinginan-keinginan duniawi sudah jauh berkurang, “Saya semeleh, ya saya ikuti alur saja. Dengan sendirinya itu. Saya juga nggak mengerti mengapa bisa ada perubahan seperti itu.” Namun yang jelas, ia ingin melanjutkan semua perencanaan program-program Keraton Yogyakarta yang sudah disusun dengan sebaik-baiknya.