Nyi Mas Riya Retnadanayuti, Tangan Dingin Kahartakan Purwo Aji Laksana

Ketika mendapat tawaran untuk bekerja di kediaman Sri Sultan, Turbasari Dwi Rahayu menolak. Ia membayangkan risiko besar yang harus ia hadapi apabila salah dalam menjalankan tugas. Namun, dorongan Gusti Condrokirono –putri kedua Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10– membuatnya maju. Awalnya hanya berniat mencoba, ia bertahan hingga kini, belasan tahun kemudian. Namun, siapa sangka, saat menjalankan tugasnya, ia pernah harus berhadapan dengan kambing?

Berawal dari Mencoba

Sebelumnya, Arrie –demikian ia biasa dipanggil—bekerja untuk GKR Condrokirono di sebuah kantor event organizer. Saat mengundurkan diri untuk mengasuh anaknya yang masih kecil, ia justru ditawari untuk menjadi kahartakan (bendahara) di rumah tangga kediaman Sri Sultan, menggantikan staf yang sudah sepuh. “Terus (saya) pikir, pikir, pikir, sempat nolak juga, karena saya takut, takut salah. Kan ini kediaman raja, kediaman gubernur, sementara saya diminta membantu untuk di bagian rumah tangga yang scope-nya cukup luas.” 

Arrie masih ingat pertama kali ia menginjakkan kakinya di Keraton Yogyakarta, 20 Oktober 2008. “Saya juga baru tahu di sini ada sekretariatnya, ada kantornya. Karena dalam pemikiran saya, di Ndalem Kilen ini hanya kediaman pribadi saja, nggak ada sekretariat dan stafnya,” kenangnya. 

Atas izin GKR Hemas, GKR Condrokirono membolehkan Arrie mencoba terlebih dahulu. Pada awal masa percobaan itu, ia mendapati suasana dan sistem kerja yang begitu berbeda dari perkantoran pada umumnya. “Semuanya masih manual. Jadi saya orang luar yang masuk di sini, bisa dibilang norak, heran, karena kita yang biasa di luar sudah serba komputer.”  

Namun, kepala kantor dan staf lain terus memberinya dukungan. Ia pun mulai mengerjakan banyak hal, mulai dari menangani keperluan logistik hingga menentukan suguhan untuk tamu. “Akhirnya saya coba, saya coba, saya coba, dan akhirnya sampai sekarang.” 

Web 1 01 Small

Mengelola Operasional Rumah Tangga Raja

Ketika Arrie bergabung dengan keraton, belum ada badan khusus yang mengurus keperluan rumah tangga Sri Sultan. Baru pada 2 September 2014 dibentuk tepas (sekarang kawedanan) Purwo Aji Laksana yang secara resmi bertanggung jawab atas operasional rumah tangga Sri Sultan. Setelah itu, Arrie diangkat sebagai Abdi Dalem untuk kawedanan tersebut. Nama Paring dalem yang dianugerahkan padanya adalah Nyi Retnadanayuti.

“Saya berawal dari  jajar, terus bekel anom. Nah, pas masuk bekel sepuh saya langsung mirunggan (kenaikan pangkat khusus) ke wedana karena pada saat itu (ada aturan) Abdi Dalem untuk posisi carik dan kahartakan, minimal wedana.”  

Dengan demikian Nyi Retnadanayuti yang kini berpangkat riya bupati anom termasuk dalam bagian penting regenerasi serta modernisasi perkantoran Purwo Aji Laksono. Ia dibantu staf-staf lain yang masing-masing mengurusi konsumsi, taman, kebersihan, dan lain sebagainya. “Lingkup besarnya satu atap. Induknya di saya,” jelasnya. Ia memberi contoh, bila AC bermasalah atau air mati, staf terkait akan melapor padanya. 

Sebagai kahartakan, tugas utamanya adalah menyusun, mengelola, dan melaporkan anggaran. Posisi itu dipandang berat sampai-sampai ia berseloroh, “Nggak ada yang mau gantiin, kursi panas, capek, pusing.” 

Jatuh Cinta pada Yogyakarta

Nyi Mas Riya Retnadanayuti tak pernah membayangkan bekerja di istana, walau ia bercita-cita berkarier di Yogyakarta. “Dari dulu sebenarnya saya suka (dengan keraton), entah bagaimana kok ya bisa masuk sini.” 

Lahir dan besar di Jakarta, setiap liburan ia dan keluarganya mudik ke Yogyakarta. Di sanalah keluarga besarnya berasal dan tinggal. Selama liburan, hari-harinya dipenuhi pengalaman menyenangkan, salah satunya melihat pedati yang berlalu lalang di Pasar Legi Patangpuluhan, tempat neneknya berjualan hingga ke Pabrik Gula Madukismo dan mengambil tebu. Bunyi “klontong-klontong” lonceng sapi penarik pedati terdengar menentramkan baginya.  

“Sejak SD saya pengin banget tinggal di Jogja. Pokoknya setelah saya selesai sekolah, saya ingin di Jogja, tapi ya beneran, kelakon.” Selepas SMA, ia melanjutkan studi di kuliah di LPK Desanta, mengambil Jurusan Akuntansi Perbankan. 

Tantangan terbesarnya di awal tugas adalah mereformasi sistem yang masih serba serbamanual menjadi berbasis IT. Tantangan lainnya adalah menyesuaikan diri dengan ritme kerja yang lebih lambat daripada ritme perusahaan bisnis komersial. “Di sini kita bertemu dengan teman-teman dari berbagai tingkatan usia, latar belakang pendidikan, latar belakang keluarga, dan kebiasaan yang berbeda. Jadi memang butuh penyesuaian yang lama, setahun saja kurang,” ujarnya.  

Ia berusaha memperbaiki hal-hal yang bisa ditingkatkan kualitasnya, contohnya konsumsi untuk keperluan perayaan dan menjamu tamu. Ia menyeleksi toko-toko roti yang bisa dijadikan mitra. “Jadi kalau kita order, bisa segera dikirim. Kita bisa pilih mana makanan yang layak sebagai suguhan di Ndalem Kilen. Kan tamunya juga bukan tamu ecek-ecek.” Langkah ini terbukti menghemat waktu dan tenaga. 

Terkait penganan ini, ia mempunyai cerita lucu. Karena tidak besar di Jogja, ia belum paham betul nama-nama kue tradisional serta rasanya. Suatu saat ia harus memesan penganan di toko. “Saya pakai bahasa Indonesia dong. ‘Mbak, saya pesan… apa itu, sama semar klenger, ya.’” Sambil tersenyum, penjaga toko mengoreksi bahwa nama yang benar adalah semar mendem dan tak perlu dialihbahasakan. Tak pelak, Nyi Mas Riya Retnadanayuti menertawakan kekonyolannya sendiri. 

Pengalaman lucu lain terkait dengan hewan peliharaan di istana. Sri Sultan memang gemar memelihara tanaman dan hewan. Suatu saat, Kanjeng Ratu Hemas sedang menuju ke Gedhong Jene untuk menghadiri acara. Entah bagaimana, dua ekor kambing lepas dari kandangnya. Kanjeng Ratu Hemas spontan memintanya untuk memasukkan kambing-kambing itu ke kandang. Ia tentu saja kebingungan. Ia tak pernah bersentuhan dengan kambing sebelumnya. “(Saya) cuma bisa jawab, baik Ibu Ratu, tapi saya mikir aduh gimana masukkan kambing. Kan takut diseruduk ya.”  Tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong pada saat itu. Tak habis akal, ia mencari kayu dan berusaha menggiring hewan-hewan itu kembali ke kandang. “Hush, hush masuk, embeeek… Saya sampai geli sendiri. Begitu bisa masuk, aduh ya ampun senangnya hati saya.”

Web 2 02 Small

Ibu Rumah Tangga

Jam kerja Nyi Mas Riya Retnadanayuti mirip dengan karyawan pada umumnya, yaitu Senin-Sabtu pukul 09.00 hingga kira-kira pukul 17.00 WIB. Dari rumahnya di Jalan Godean, ia pergi-pulang ke keraton diantar jemput suaminya dengan sepeda motor. Dukungan suami ia rasakan sejak awal ia mengabdi. Sang suami membesarkan hatinya saat ia ragu untuk menerima tawaran bekerja di keraton. 

Selepas jam kerja, waktunya ia dedikasikan untuk keluarga, “Jadi ibu rumah tangga, nyuci, siram tanaman, bersih-bersih.”  Untuk menyegarkan pikiran, ibu satu anak ini memilih bermain dengan anjingnya atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. 

Setiap akhir tahun ia mengajukan cuti untuk mudik ke Provinsi Jambi, tempat kelahiran suaminya. Selain untuk mengunjungi keluarga, sang suami memiliki tanggung jawab mengurus usaha keluarga di daerah itu. 

Nyi Mas Riya Retnadanayuti mengaku mengalir saja dalam menjalani hidup. “Saya bikin enjoy saja. Ya memang tidak bisa dimungkiri juga (kadang) merasa tertekan, itu pasti, tapi saya nggak pernah berpikir kayak gitu. Jadi saya jalani saja, mengalir saja.” Ia menambahkan kuncinya adalah menyusun prioritas, mana tugas yang harus didahulukan.  

Tak tumbuh dalam budaya Jawa sewaktu kecil, Nyi Mas Riya Retnadanayuti mengaku heran dan takjub saat pertama kali masuk keraton. “Betapa herannya saya ketika melihat ibu-ibu Keparak, juga Abdi Dalem kalau bertemu Keluarga Dalem, entah itu Ibu Ratu, atau putra-putra apalagi Ngarsa Dalem mereka begitu hormatnya, membungkuk, dan menghaturkan sikap hormat dengan sembahan.”

Ia tak bisa menyembunyikan rasa haru saat menggambarkan kepedulian Ngarsa Dalem terhadap para Abdi Dalem. Ia mencontohkan bila ada karyawan sakit, Ngarsa Dalem pasti dhawuh untuk mengecek, “(Ada) aksi bantuan sekolah, subsidi kalau ada yang sakit, seperti itu. Kebetulan saya juga termasuk mengurusi untuk yang seperti itu, bersama teman-teman yang lain. Kepeduliannya Ngarsa Dalem tinggi sekali.”

Kerendahhatian keluarga Ngarsa Dalem pun juga membuatnya terkesan, “Saya bicara begini karena saya tidak lahir dan besar di sini.” Ia salut pada gaya hidup mereka yang tetap sederhana. “Banyak orang yang punya takhta, punya kekayaan terus jadi sombong. Tapi di sini nggak seperti itu. (Keluarga Sultan) baik, tetap sederhana, tetap merakyat, itu yang saya salut dengan keluarga ini.”

Salah satu perubahan yang tak ia sangka setelah bekerja di keraton adalah ketertarikan spontannya pada batik. Sebelumnya ia tak suka pada batik. Ia menganggap batik adalah pakaian orang tua. “Tapi setelah saya masuk sini, dengan sendirinya saya jadi suka batik.” 

Ia mengiyakan perkataan orang-orang mengenai ketenteraman yang dirasakan apabila bekerja di keraton. “Namanya orang hidup masalah itu selalu ada, tapi tinggal bagaimana kita menyikapinya.”

Menurutnya, akan sangat baik bila anak-anak muda belajar tentang budaya lokal. “Apalagi yang mau kenal dengan keraton, nggak ada salahnya mereka mencari tahu seluk beluk keraton, bagaimana adat istiadatnya. Nggak ada ruginya belajar sejarah dan budaya keraton.” Meskipun ia sendiri juga masih belajar mengenai hal tersebut.

Nyi Mas Riya Retnadanayuti berkeinginan agar keraton semakin berbenah diri dan semakin maju tanpa meninggalkan sejarahnya. “Agar bisa bermanfaat dan sebagai tempat belajar tentang kehidupan yang sesungguhnya (adab, etika, rasa) bagi banyak orang.” Sementara, tujuan pribadinya adalah menjadi berkat bagi sesama hingga akhir. “Ingin jadi ibu yang baik untuk anak saya, istri yang baik untuk suami saya, juga untuk keluarga besar saya.”