Nyi RL Kusumarastri, Panji Parentah Langenkusuma: Menghidupkan Kembali Semangat Prajurit Perempuan
- 28-10-2025
Garebeg Mulud Dal 1959/2025 merupakan Hajad Dalem yang istimewa. Selain bertepatan dengan tahun Dal yang datang setiap delapan tahun dan diperingati secara khusus, garebeg yang diadakan pada 5 September tersebut menghadirkan kesatuan prajurit putri yang pernah ada beberapa ratus tahun yang lalu, yaitu Bregada Langenkusuma.
Tak banyak catatan sejarah mengenai Bregada Langenkusuma. Korps tersebut sudah ada sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) sebagai bagian dari kesatuan pengawal. Para prajurit putri ini memiliki kecakapan dalam mengendarai kuda, menembak, menari, dan bermain musik. Mereka juga turut berperan dalam renovasi bangunan keraton serta mengurusi suplai logistik. Kesatuan prajurit ini berangsur menghilang pascaperistiwa Geger Sepehi (1812). Salah satu penyebabnya adalah pengurangan kekuatan militer yang dipaksakan oleh Pemerintah Kolonial Inggris terhadap Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814), dan kehadiran prajurit perempuan tidak bisa diterima oleh pemerintah kolonial pada masa itu.
Dua abad kemudian, Keraton Yogyakarta menghidupkan kembali eksistensi kesatuan prajurit perempuan ini dengan tujuan mengembalikan ingatan sejarah dan pelestarian budaya. Anggotanya dipilih dari Abdi Dalem Mataya–penari putri keraton. RA Keshari Adiarastri P atau Diara adalah salah satunya.

Terpesona pada Tari Klasik
Diara lahir di Pekanbaru dan tumbuh besar di Jakarta, kemudian mengikuti orang tuanya pindah ke Yogyakarta saat ia masuk SMA pada 2015. Di kota ini, Diara jatuh cinta pada tari klasik gaya Yogyakarta setelah melihat ibunya berlatih di sanggar. Tak lama kemudian, ia pun ikut belajar. Awalnya, ia belajar menari di Sanggar Tari Pujokusuman lalu memperdalam proses latihannya di Sanggar Wiraga Apuletan dan Sanggar Suryo Kencana.
Pada akhir 2016, ia mendapat panggilan untuk menari Bedhaya Tirtahayuningrat di Keraton Yogyakarta. Tugas itu tentu menantang sekaligus berkesan bagi Diara yang belum genap setahun belajar tari klasik dan belum mengenal lingkungan keraton. “Pemucal, Ibu Dyah, mengajari saya. Sampai mati lampu pun tetap dilakukan karena beliau bertanggung jawab penuh. Terlebih karena saya baru pertama kan. Bagaimana caranya agar terlihat imbang dalam gerakan, biar bisa sama (dengan penari lain),” kenangnya.
Momen itu menjadi pemacu Diara untuk makin rajin berlatih. Ia kemudian mengikuti gladen beksan –berlatih menari—di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta setiap hari Minggu.
Tahun 2020, Diara memenuhi panggilan jiwanya menjadi Abdi Dalem penari di bawah Kawedanan Kridhamardhawa dan mendapat Nama Paring Dalem Kusumarastri Mataya. “Raden lurah adalah pangkat, kemudian Kusuma berarti bunga, Rastri diambil dari nama belakang saya, mataya identitas kawedanan saya berasal,” jelasnya. Keputusan untuk menjadi Abdi Dalem Mataya dilandasi kegemarannya menari serta ketertarikan pada adat-istiadat. “Saya merasa ini sudah waktunya saya mengambil kesempatan mengapresiasi budaya sendiri.”

Kirab Perdana Bregada Langenkusuma
Nyaris semua anggota Bregada Langenkusuma adalah para mataya yang pernah menarikan Bedhaya Semang. Ada seleksi khusus untuk penari bedhaya tersebut karena menurut Nyi Raden Lurah Kusumarastri, Bedhaya Semang bukan sekadar tarian induk, namun termasuk tarian pusaka, “Ada nilai-nilai yang ditanamkan dari Bedhaya Semang tersebut,” jelasnya.
Para penari Bedhaya Semang mendapat kesempatan untuk bergabung dengan Bregada Langenkusuma. Nyi RL Kusumarastri memilih bergabung. Ia ingin mengalami secara langsung menjadi prajurit serta mendalami sejarah leluhurnya. Ia juga berharap mendapat lebih banyak hal-hal baik yang bisa ia terapkan dalam kehidupan.
Kesatuan prajurit baru ini hanya punya waktu berlatih satu setengah bulan sebelum tampil perdana dalam Hajad Dalem Garebeg Mulud Dal tahun 2025. Pada pertemuan pertama, mereka belajar segala hal mengenai prajurit Langenkusuma, termasuk cara berbaris yang berbeda dari baris-berbaris pada umumnya.
Sama seperti bregada yang lain, Bregada Langenkusuma juga memiliki struktur komando. Yang paling tinggi adalah kapten, diikuti panji parentah, panji kedua, sersan 1, sersan 2, hingga jajar. Namun, berbeda dari prajurit kakung, pada penugasan pertama ini, prajurit putri hanya bertugas di lingkungan istana. Mengikuti bregada lainnya, prajurit Langenkusuma berbaris dari Kamandungan Kidul, bergerak ke utara menuju Magangan, kemudian masuk ke dalam Kedhaton lalu berakhir di Siti Hinggil Lor, sementara prajurit putra meneruskan langkah hingga Masjid Gedhe.

Panji Parentah
Nyi RL Kusumarastri ditunjuk sebagai panji parentah atau komandan pasukan. “Pasti deg-degan, nervous,” kata Nyi RL Kusumarastri mengenai penugasan itu. Terbatasnya dokumentasi terkait Prajurit Langenkusuma menjadikan anggota pasukan tidak memiliki referensi yang memadai. “Tapi satu sisi kami semua merasa bangga karena hal ini bisa kami gerakkan langsung dan kita tampilkan pada Garebeg Dal.”
Tantangan terberat Nyi RL Kusumarastri adalah kekurangfasihannya dalam bahasa Jawa, padahal semua aba-aba dilontarkan dalam bahasa tersebut, seperti siyaga yitna (siap), jangkah (maju jalan), dan minger (belok). “Bahasa Jawa itu saya masih belum begitu lancar, tapi kalau tidak coba, saya tidak akan bisa. Banyak istilah baru,” ujarnya. Ia mengaku logat dan pelafalannnya kurang luwes.
Yang paling sulit baginya adalah aba-aba minger (belok) dan nekuk nikung. “Karena saya sendiri harus berkonsentrasi, kemudian pasukan yang bagian depan juga harus lebih konsentrasi, karena ada nekuk nikung nganan ngiri.” Nyi RL Kusumarastri menjelaskan sebelum belajar nekuk nikung, mereka harus belajar nekuk nganan, nekuk ngiri, nikung nganan, dan nikung ngiri. “Ketika semua itu digabung, kami pernah bubar karena bingung, tapi kami bawa santai. Ya udah,” sambungnya sambil tersenyum.
Selain itu, ia juga harus menyerukan aba-aba dengan lantang. Ini sangat menantang bagi yang terbiasa dengan tatakrama di keraton yang serbalembut dan lirih. “Prajurit tidak hanya lima orang, tapi enam puluh orang yang barisannya memiliki jarak lumayan. Intinya aba-aba harus terdengar.”
Beberapa kejadian lucu dialami Nyi RL Kusumarastri saat berlatih karena semuanya masih baru. Salah satunya adalah saat ia lupa aba-aba yang harus ia serukan. “Aba-aba pertama memang lancar, tapi entah yang kelima atau keenam, ada aba-aba yang susah, kayak terlupa. Prajurit Langenkusuma lagi jalan. Cara memberhentikan prajurit itu saya lupa. Jadi mereka bingung, (dan berseru) Mbak, berhenti Mbak.” Ia pun ikut kebingungan. “Jadi semua udah bingung, tapi ada yang otomatis (berhenti) karena sepertinya sudah mau nabrak tembok, nabrak pohon,” tuturnya sembari tertawa.
Kejadian lain yang cukup menggelikan adalah salah rute. Ketika geladi bersih, pasukan Langenkusuma yang seharusnya masuk Kedhaton malah berjalan keluar karena Nyi RL Kusumarastri salah memberi aba-aba dan justru mengikuti Bregada Bugis yang berjalan di depan mereka. “Lumayan bikin syok, padahal saya sendiri yang melakukannya,” kisahnya. “Ada yang ngawe-awe (melambaikan tangan). Mungkin kalau nggak ada, kami akan jalan terus.”
Untunglah, pada hari H, bregada baru ini dapat tampil dengan lancar tanpa hambatan.
Terbang Tinggi bersama Keraton Yogyakarta
Menjadi bagian Bregada Langenkusuma akhirnya menjadi pengalaman berkesan bagi Nyi RL Kusumarastri di antara banyak pengalaman istimewa lainnya yang ia dapatkan setelah bergabung dengan keraton.
Momen tak terlupakan lainnya adalah penampilan bedhaya pertamanya, yaitu Bedhaya Tirtahayuningrat, dan misi kebudayaan ke Amerika Serikat. Saat membawakan Bedhaya Tirtahayuningrat, ia mengenakan busana kampuhan dan rias paes ageng). Bahkan gambar para penari dijadikan sebagai sampul buku peringatan ulang tahun ke-70 Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10. “Waktu itu saya masih SMA dan penari bedhaya paling muda (saat itu).”
Baginya, menari di hadapan Ingkang Sinuwun saat Tingalan Jumenengan (peringatan kenaikan takhta) serta ikut serta dalam misi kebudayaan ke Amerika Serikat bersama tim Kridhamardhawa telah memberinya pengalaman luar biasa yang tak akan ia lupakan.
Selain itu, ia juga mendapatkan pengalaman menarik saat nyekar (ziarah) bersama teman-teman penari Bedhaya Semang. Para penari memang biasa berziarah ke malam-makam Leluhur Dalem (Raja-raja Mataram) sebelum pentas. “Biasanya kami nyekar, yang pertama ke Makam Kotagede, kemudian ke Makam Imogiri, sampai ke Parangkusuma. Itu hal menarik bagi saya. Hal yang menurut saya di situ bisa belajar apa pun, bisa tenang, bisa masuk semua.”
Pecinta Hewan yang Suka Berkesenian
Sejak kecil, Diara menyukai hewan. Hingga kini ia gemar memelihara berbagai jenis hewan, antara lain marmut, kelinci, kucing, ayam, bebek, burung, dan domba Jawa. Sesuai minatnya, anak kedua dari dua bersaudara ini memilih berkuliah di Jurusan Ilmu dan Industri Peternakan, UGM. Banyak orang tidak menyangka, gadis yang mempelajari bidang peternakan ini piawai menari. Kegemaran lainnya adalah olahraga. Saat ini ia suka bermain badminton dan padel.
Nyi RL Kusumarastri rupanya juga memiliki bakat berbisnis. Ia membuka kafe dan ruang komunal di Yogyakarta dan Jakarta. Lewat usahanya itu, ia menyediakan ruang bagi siapa saja untuk menari dan mengenal budaya Jawa. “Kebetulan saat ini saya sedang tidak bekerja di suatu perusahaan, jadi waktu (saya), saya manfaatkan untuk kedua hal tersebut.” Kedua hal yang dimaksud adalah berkarya di keraton dan bekerja sebagai pengusaha muda.
Rupanya, Nyi RL Kusumarastri memang tak suka berpangku tangan. Di antara kesibukannya, perempuan muda keturunan HB VII ini juga aktif sebagai kreator konten di media sosial.
Keluarganya tidak membatasi apa pun yang ia kerjakan selama positif. “Aku di dalam keraton masih bisa aktif, di luar keraton aku juga tetap aktif. Sebenarnya pesan keluarga itu saja; bisa aktif tidak hanya di satu tempat, tapi juga di tempat lain.”
Nyi RL Kusumarastri menyatakan ia mendapat banyak sekali pelajaran dari Keraton Yogyakarta, termasuk cara berkomunikasi yang lebih tertata dan sesuai dengan unggah-ungguh (tata krama), “Ketika aku terapkan di luar, aku pikir ketinggalan zaman, ternyata nggak.”
Ia juga lebih semeleh (mengalir dan tertata) dan lebih tenang karena terbiasa dengan pola komunikasi di keraton. “Nah itu otomatis kita resapi. Secara tidak sadar meresap ke diri kita dan otomatis saat mengobrol ke teman kita di luar pun akan terbawa.”
Nyi RL Kusumarastri merasa senang bisa turut melestarikan budaya Yogyakarta dan membagikannya kepada orang-orang di sekelilingnya. Ia mengajak anak-anak muda untuk tidak takut terlambat dalam mempelajari budaya masing-masing. “Selagi masih ada kesempatan dan memiliki waktu, mengapa tidak? Karena mengenal budaya sendiri itu tidak akan ada ruginya. Dan itu bersifat panjang untuk ke depan.”