Keraton Yogyakarta Hadirkan Bedhaya Sapta pada Puncak Peringatan Sewindu UU Keistimewaan

Keraton Yogyakarta baru saja menampilkan Beksan Bedhaya Sapta pada agenda puncak peringatan Sewindu Undang-Undang Keistimewaan DIY di Amphiteater, Perpustakaan Grhatama Pustaka, Sabtu (05/09) malam. Momentum ini digelar bertepatan dengan peringatan Amanat 5 September, pada tanggal tersebut 75 tahun lalu, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Agenda ini dihadiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X didampingi GKR Hemas dan Putri Dalem, Sri Paduka Paku Alam X dan GKBRAy Adipati Paku Alam, serta tamu undangan lainnya. 

Tak seperti tari bedhaya yang lazim dibawakan sembilan orang, Bedhaya Sapta ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ini ditarikan oleh tujuh orang dengan jalan cerita yang sarat perjuangan. Tarian ini mengisahkan ketika Sultan Agung mengutus dua punggawa, Ki Tumenggung Nampabaya dan Lirbaya, untuk membuat kikis (tapal batas) antara Mataram dengan Pasundhan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengutus KRT Purbadiningrat untuk menggarap tarinya dan kemudian diajarkan ke para Abdi Dalem Bedhaya. Bedhaya Sapta hanya sekali dipentaskan pada tahun 1953 ketika menjamu tamu negara di Kepatihan.

Bedhaya Sapta 2020 09 09 02

Saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah memangku jabatan penting pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta, Bedhaya Sapta tidak lagi dipentaskan. Namun demikian, pada 20 April 1985, tarian ini kembali dipentaskan dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem atau Ulang Tahun Penobatan Sultan meskipun terdapat perubahan pada pementasannya guna menyelaraskan tembang. Sampai saat ini, eksistensi Bedhaya Sapta masih dipertahankan dan tetap diajarkan kepada para Abdi Dalem Matoyo (penari) di Keraton Yogyakarta. 

Di samping itu, terdapat pula sajian tari dari Kadipaten Pakualaman yakni Beksan Bandabaya. Beksan ini merupakan ciptaan Sri Paduka Paku Alam II sekitar tahun 1825-1850 yang menggambarkan kegagahan dan keterampilan prajurit Kadipaten Pakualaman saat berlatih perang dengan menunggang kuda.

Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan apresiasi atas terselenggaranya agenda tersebut. Sultan mengatakan bahwa gelar seni yang menampilkan Bedhaya Sapta dan Beksan Bandabaya, dapat menggambarkan soliditas kepemimpinan DIY. “Restrukturisasi budaya menjadi dasar kebangkitan perspektif baru. Budaya Yogyakarta dapat berkembang dengan menanggalkan dan meninggalkan yang semestinya dibuang agar makin baik. Selain itu, mengusung norma baru menuju normal baru untuk Indonesia baru. Sebab, penyelenggaraan budaya menjadi keniscayaan sejarah menghadapi masa depan yang kompleks,” ujar Ngarsa Dalem

Seusai membacakan sambutan, Sri Sultan turut memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dinilai telah memberikan sumbangsih baik tenaga maupun pikiran terkait dengan Keistimewaan DIY. Tiga tokoh yang mewakili penerimaan penghargaan tersebut adalah Prof. Djoko Suryo, Widihasto Wasono Putro, dan Budi Pramono. 

Selain menggelar dua pementasan tari, agenda tersebut juga diisi dengan sarasehan Keistimewaan DIY sebagai bagian dari program dialog “Yogya Semesta”. Hadir sebagai narasumber yakni Djagal Wiseso Marseno (Wakil Rektor UGM Bidang PPK), Beny Suharsono (Kepala Bappeda DIY), dan Haryadi Baskoro (Pakar Keistimewaan DIY) dengan dipandu oleh Heri Dendi selaku pengasuh komunitas budaya Yogya Semesta. 

Bedhaya Sapta 2020 09 09 03