Kumandang Kidung Pertiwi: Representasi Harapan dan Doa Ibu Pertiwi Menggema di Ibukota
- 13-05-2025

Yogyakarta Royal Orchestra kembali menunjukkan geliat eksistensi sebagai kelompok orkestra Kagungan Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (milik sultan) yang acap kali menghadirkan konser-konser istimewa dan dapat dinikmati hadirin di seluruh penjuru negeri. Kali ini Yogyakarta Royal Orchestra, Yogyakarta Royal Choir, Tim Cokekan Keraton Yogyakarta melawat ke Jakarta dan disambut antusias oleh pemirsa setia, khususnya yang tinggal di Ibukota. Laki-laki, perempuan, tua, muda berpakaian rapi dan rupawan memancarkan aura berseri-seri ketika tiba di lantai 14 gedung media yang menjulang tinggi di pusat kota Jakarta.
Akhir pekan lalu (25-26/04), gelaran konser Kidung Pertiwi yang dilaksanakan di Jakarta Concert Hall, iNews Tower, Jakarta telah sukses diselenggarakan. Kidung Pertiwi digarap dengan menghadirkan sepuluh repertoar lagu-lagu hasil akulturasi budaya Jawa dan musik barat. Selain musik, konser ini dilengkapi dengan pameran bertajuk Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta dan Lokakarya Kebudayaan Jawa yaitu Workshop Bersanggul Gaya Yogyakarta, serta Berbusana ala Orkestra Jawa.
Yogyakarta Royal Orchestra: Kidung Pertiwi hadir sebagai acara kolaboratif yang mempersembahkan harmoni antara kebudayaan Jawa dan orkestra. Hadirin diajak untuk dapat menikmati pengalaman baru dalam mengapresiasi dan memaknai kebudayaan Jawa. Selain menyuguhkan kidung-kidung Jawa, aspek visual lainnya dihadirkan untuk mendukung visualisasi pertemuan dua tradisi kebudayaan yang kuat ini. Termasuk di dalamnya, Pameran Parama Iswari yang sudah digelar di Keraton Yogyakarta pada akhir tahun 2024 lalu, kembali diboyong ke Jakarta selama 2 hari saat konser berlangsung dengan fokus menghadirkan narasi sosok permaisuri pada era pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877) dan Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921).
Kali ini, Yogyakarta Royal Orchestra dikondakteri oleh MJ Manggalawaditra (Elgar Putrandhra). Athitya Diah Natalia Monica sebagai kondakter dan arranger akapela dan Lukas Gunawan Arga Rakasiwi sebagai kondakter akapela. Sementara itu terdapat beberapa arranger dari repertoar-repertoar yang disuguhkan seperti MP Widyoyitnowaditro (Joko Suprayitno S.Sn., M.Sn), Rafael Juniar Krismanda, Steven Immanuel Angelo, Steven Petra Anugrah, dan Christo Carlo Manuel Gultom. Adapun concert master dari Konser Kidung Pertiwi adalah RJ Hanungwaditro (Raden Bagus Retoridka). Kemudian beberapa solois violin yang tampil pada konser ini adalah MJ Cokrowaditro (Bonfilio Shyallom Rezandy Bangun), Nyi MJ Ratnawaditro (Athaya Hanan), dan Riana Heath.
Gendhing Kurmat Manggala oleh Yogyakarta Royal Orchestra yang diiringi dengan senandung Yogyakarta Royal Choir menggema gagah memenuhi penjuru auditorium Jakarta Concert Hall. Putra Dalem Putri Gusti Kanjeng Ratu Bendara dan Mantu Dalem KPH Notonegoro memasuki ruangan dengan sederet tamu undangan di kedua malam itu. Sederet tamu yang memenuhi undangan gelaran Kidung Pertiwi beberapa diantaranya yaitu Menteri Pariwisata Republik Indonesia Widiyanti Putri Wardhana, Wakil Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Giring Ganesha Djumaryo, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Veronica Tan, Ketua DPD Republik Indonesia Sultan Bachtiar Najamuddin, Asisten Logistik Kapolri Irjen Pol. Suwondo Nainggolan, perwakilan institusi dan lembaga mitra, serta kolega Keraton Yogyakarta.
Usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, konser Kidung Pertiwi dibuka dengan dua nomor lagu yaitu “Ibu Pertiwi” dan “Fantasia on Turi Turi Putih”. Sebagai repertoar pembuka, “Ibu Pertiwi” yang digubah ke dalam format solois violin, choir, dan orkestra dibawakan dengan penuh hayat. Memiliki tempo 80 bpm dengan tonika G Mayor, kerumitan dari aransemen ini terdapat pada kehadiran motif-motif semiquaver yang dimainkan oleh solois violin, Nyi MJ Ratnawaditro. Repertoar ini disusul oleh “Fantasia on Turi Turi Putih” yang dibawakan dalam bentuk fantasi dan imajinasi musikal yang berkembang pada abad ke-19. Aransemen MP Widyoyitnowaditro yang penuh eksplorasi dan dinamis, membuat lagu karya Sunan Bonang yang menceritakan nasihat kehidupan ini makin menambah keagungan dari repertoar “Fantasia on Turi-Turi Putih”.
“Ibu Pertiwi” dan “Fantasia on Turi Turi Putih” selayaknya menjadi dua nomor pembuka mengagumkan yang mengawali konser Kidung Pertiwi. Decak kagum penonton sudah terdengar meski hanya baru menyaksikan dua nomor pembuka. Sajian dilanjutkan dengan “Concerto Kidung Pamuji” yang dibawakan dengan format solo violin dan orkestra. Karya ini menggunakan dua materi lagu yaitu “Kidung Rumeksa Ing Wengi” dan “Kidung Lingsir Wengi” yang secara kompositoris digarap dengan gaya Romantik dengan eksplorasi teknik permainan yang tinggi. “Concerto Kidung Pamuji” yang disusun oleh MP. Widyoyitnowaditro ini terdiri dari tiga bagian; Movement I, Movement II, dan Movement III. Pada pergelaran ini, “Concerto Kidung Pamuji” pertama kali dipertunjukkan sebagai karya khusus yang ditampilkan oleh Yogyakarta Royal Orchestra dengan menghadirkan MJ Cokrowaditro sebagai solo violin. Tidak cukup sampai di situ, permainan violin dilanjutkan dengan penampilan kolaborasi antara MJ Cokrowaditro dengan Nyi MJ Ratnawaditro yang membawakan “Lir Ilir Invention”. Disebut “Lir Ilir Invention”, sebab aransemen karya oleh MP Widyoyitnowaditro ini terinspirasi dari karya The Inventions oleh J.S Bach.
Persembahan lain yang membuat konser ini berbeda dari konser sebelumnya adalah adanya performa akapela dari Yogyakarta Royal Choir yang membawakan enam repertoar yaitu “Kidang Talun”, “Pocung”, “Lindri”, “Baris Rampak”, “Witing Klapa”, dan “Lela Ledhung”. Pada hari pertama, penonton dibuat takjub dengan atmosfer hutan dan kemisteriusan alam yang diperdengarkan melalui bunyi-bunyian burung dan angin dari paduan suara (choir). Penonton lagi-lagi terhanyut dalam bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh akapela tersebut. Tak usai disitu, bunyi-bunyian ini juga berlanjut pada repertoar berikutnya yaitu “Pocung” atau puisi Jawa yang diaransemen oleh Steven Immanuel untuk dipadukan dengan paduan suara campuran secara akapela. Pada bagian awal, lagu ini dibuka dengan efek bunyi dan body percussion untuk memunculkan suasana alam terbuka, burung terbang dan berkicau, serta sedikit bunyi langkah kaki. Sementara itu tembang dolanan yang berjudul “Lindri” dibawakan secara ceria. “Lindri” mengandung makna bahwa orang Jawa harus senantiasa mensyukuri rezeki dan segala hal yang didapatkan dalam hidup.
Pada hari kedua, disajikan “Baris Rampak”, “Witing Klapa”, dan “Lela Ledhung”. “Baris Rampak” merupakan lagu yang digunakan untuk mengiringi anak-anak bermain dan berbaris layaknya prajurit yang berjalan sambil menghentakkan kaki dan melambaikan tangan. Repertoar ini ditulis dengan variasi ritmis dan perkusi tubuh dengan hentakan kaki untuk menggambarkan prajurit yang tegap. Selanjutnya, salah satu lagu terkenal pada masa penjajahan Belanda sampai awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu “Witing Klapa” dipilih menjadi sajian akapela malam itu. Lagu tersebut merupakan saloka (peribahasa) yang menceritakan tentang terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta melalui Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Adapun tembang “Lela Ledhung” pada konser Kidung Pertiwi dibawakan dengan cokekan oleh Nyi MB Larasati dan akapela oleh Yogyakarta Royal Choir. Karya aransemen dari “Lela Ledhung” versi akapela ini makin menarik sebab ada pengembangan melodi yang dilakukan dengan mengadaptasi dari balungan gamelan dengan proses penentuan pergerakan harmoni. Selain choir, dihadirkan pula instrumen gender dan sinden. Adanya instrumen gender dan lantunan tembang dari sinden dalam karya ini membuat identitas musikal “Lela Ledhung” makin kuat dan bermakna mendalam.
Nama Kidung Pertiwi dipilih bukan tanpa alasan, satu repertoar yang disajikan adalah “Ketawang Ibu Pertiwi”. Gendhing yang diciptakan oleh Ki Narto Sabdo ini memiliki Laras Pelog Pathet Nem yang berkarakter agung, tenang, hikmat, dan penuh rasa syukur. Secara garis besar, gendhing ini berisi tentang ajakan untuk mensyukuri nikmat atas segala yang telah diberikan Ibu Pertiwi kepada umat manusia. Ibu Pertiwi merupakan bumi yang diibaratkan sebagai sosok ibu yang melahirkan, merawat, dan memberi segala macam kebutuhan manusia. Repertoar ini dibuka dengan bawa pangkur yang dibawakan oleh sinden kemudian disusul dengan orkestra yang memiliki irama antal (tidak cepat dan tidak lambat).
Selain tembang popular “Lela Ledhung”, disajikan pula tembang “Jenang Gula” yang tidak kalah popularnya. Tembang ini telah diaransemen oleh MP Widyoyitnowaditro ke dalam format orkestra dengan sinden dan celempung. Selain nuansa megah dan elegan, keunikan dari karya aransemen ini justru terletak pada penggabungan dua identitas musikal antara musik Jawa dengan musik klasik Barat ke dalam satu kesatuan karya aransemen musik. Setelah sajian musik yang diiringi choir dan sinden, “Concerto Pertiwi” yang dibawakan oleh Riana Heath menjadi salah satu repertoar epic dari konser ini. Karya komposisi baru ini disusun oleh MP Widyoyitnowaditro ke dalam format solo violin dan orkestra. Lagu dalam konserto ini bersumber dari daerah timur, tengah, dan barat Indonesia. “Concerto Pertiwi” merupakan karya premiere yang khusus ditampilkan yang menjadi penampilan istimewa. Hadirin diajak untuk berpendar ke berbagai bagian Indonesia yang kaya akan budaya.
Setelah mendengarkan liukan bunyi violin Riana, disajikan Tanah Airku sebagai penutup konser. Penonton disuguhkan dengan videografi mengesankan alam Nusantara dengan dilatarbelakangi lagu “Tanah Airku” yang dibawakan oleh Yogyakarta Royal Choir. Rasa haru memadati auditorium saat repertoar terakhir ini dimainkan. Seluruh hadirin seakan-akan diingatkan untuk mencintai bangsa ini tanpa syarat. Pada puncaknya, konser Kidung Pertiwi di kedua malam itu mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya dari para hadirin. Semua yang hadir bertepuk tangan dengan meriah dan menampakkan rupa sumringah. Mereka berdecak kagum sambil melihat para musisi Yogyakarta Royal Orchestra dan Ypgyakarta Royal Choir menunduk mengucapkan terima kasih kepada hadirin yang telah mengapresiasi mereka.
Pergelaran konser Kidung Pertiwi mendapatkan apresiasi tinggi dan kesan yang luar biasa dari para pendengarnya. Berbagai pihak mengungkapkan rasa kagumnya, seperti Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Widi Wardana berpesan “Yogyakarta Royal Orchestra, sebagai orkestra Kagungan Dalem Keraton Yogyakarta, mempersembahkan harmoni yang memadukan musik orkestra dengan kekayaan budaya Jawa, dan menghadirkan pengalaman seni yang mendalam dan sarat makna. Mari kita terus lestarikan seni, budaya, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, sebagai bagian dari identitas kita di panggung dunia.” KPH Notonegoro juga selaku pimpinan Kawedanan Kridhamardawa yang menaungi Yogyakarta Royal Orchestra dan Yogyakarta Royal Choir mengungkapkan bahwa konser ini membawa langkah dan semangat baru untuk Yogyakarta Royal Orchestra. Kanjeng fNoto juga berharap masyarakat dapat menantikan dan menikmati kejutan dari konser Yogyakarta Royal Orchestra kedepannya.