Sasana Hinggil Dwi Abad Jadi Saksi Penutupan Kongres Diaspora Jawa Internasional 2025
- 29-06-2025

Sabtu (14/06) malam lalu, Kagungan Dalem Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad kembali bersolek dan ramai oleh orang-orang berbincang bahasa Jawa ngoko. Sekilas tampak seperti orang Jawa pada umumnya, namun rupanya mereka bukan orang Jawa biasa. Mereka ialah para diaspora Jawa, orang-orang keturunan Jawa yang tersebar di seluruh dunia, mulai dari Belanda, Suriname, Malaysia, Singapura, Kaledonia Baru, Thailand, dan sebagainya, berkumpul di Yogyakarta guna menghadiri Penutupan Kongres Ke-6 Diaspora Jawa Internasional tahun 2025.
“Keseluruhan rangkaian Kongres Diaspora Jawa Internasional 2025 ini sebenarnya berlangsung dari Senin 9 Juni 2025 lalu di Kota Surakarta, kemudian bergeser ke Yogyakarta pada Kamis 12 Juni malam, lalu berkunjung ke Gunungkidul di hari Jumat tanggal 13 Juni. Baru di hari Sabtu tanggal 14 Juni ini, pagi tadi berkunjung ke Keraton Yogyakarta, belajar unggah-ungguh dan suba sita. Malam harinya di Sasana Hinggil adalah penutupan kongres sekaligus memberikan kesempatan para diaspora Jawa internasional ini untuk berdialog dengan Ngarsa Dalem,” ungkap KPH Wironegoro, Mantu Dalem yang merupakan Penghageng Kawedanan Parentah Hageng Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Pembina Komunitas Diaspora Jawa Internasional.
Tepat pukul 19.00 WIB, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 Miyos (hadir) di Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad. Acara yang dihadiri pula oleh Bupati Gunungkidul Ibu Endah Subekti Kuntariningsih, Bupati Sleman Bapak Harda Kiswaya, dan Wakil Wali Kota Yogyakarta Bapak Wawan Harmawan ini diawali dengan jamuan makan malam. Tampak berada dalam satu meja bersama Ngarsa Dalem, beberapa perwakilan panitia dari Komunitas Diaspora Jawa Internasional, salah satunya Ibu Juliet Moeljoredjo, diaspora Jawa dari Belanda.
KPH Wironegoro selaku pembina menyampaikan sambutan agar para diaspora Jawa paham menempatkan diri dan memantapkan jati diri sebagai manusia Jawa, terlepas apa pun kewarganegaraannya. “Wong Jawa kuwi mesti ngerti apa maksute aku sapa, karo sapa, nang endi aku, kudu kepiye, uga ya isa mengerteni apa maksute ‘sangkan paraning dumadi’ wong Jawa kuwi seka lahir lan mengko mati uwis ana tuntunane seka wewarah leluhur Jawa,” ungkap KPH Wironegoro.
“Aku seneng banget para sedherek diaspora Jawa bisa teka neng Ngayogyakarta. Mugo-mugo acara Kongres Diaspora Jawa Internasional 2025 iki bisa nuwuhke rasa supaya dadi wong Jawa ora ilang Jawane. Bisa tetep eling karo oyote minangkane wong Jawa, arep a kewarganegaraan e seko ngendi-ngendi, seko Belanda, Suriname, Kaledonia Baru, Singapur, Malaysia, ning sejatine kabeh oyote podo yaiku wong Jawa,” tutur Sri Sultan dalam sambutan pembukanya. Ngarsa Dalem begitu terbuka dengan kehadiran para diaspora Jawa dan mengingatkan bahwa sejatinya semuanya bersaudara, satu akar masyarakat Jawa.
Dalam acara inti berupa gelar dialog, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 didampingi KPH Wironegoro duduk bersama dengan para panelis dan pemantik dialog yakni Bapak Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, MUP, M.Sc., Ph. D yang pernah menjabat sebagai Duta Besar, Deputi Perwakilan Tetap RI untuk UNESCO tahun 2018, Arti Sowikromo sebagai salah satu perwakilan diaspora Jawa muda dari Belanda, dan moderator Ibu Silvy yang merupakan dosen dari Leiden University. Dialog dimulai dengan pertanyaan dari Mas Arti sebagai diaspora Jawa muda yang ingin belajar tentang kebudayaan Jawa lebih jauh di era saat ini. Ia menanyakan media untuk belajar pada masa di mana internet dan media digital mudah diakses.
“Sinau seka ngendi wae ki bisa, ning yen butuh informasi sing mesthi seko Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, bisa akses website resmi seka kraton yaiku www.kratonjogja.id. Uga bisa ndelok lewat media sosial kaya Instagram e @kratonjogja lan @kratonjogja.event yen arep ngerti acara-acarane seko Karaton Ngayogyakarta,” ujar Ngarsa Dalem.
Dialog terus berjalan hangat meski ada sedikit keterbatasan bahasa. Para diaspora Jawa dari seluruh dunia ini hanya memahami satu jenis bahasa Jawa yakni bahasa Jawa ngoko saja, dan bahasa Jawa ngoko ini lah satu-satunya yang bisa menjadi jembatan komunikasi sebab para anggota Komunitas Diaspora Jawa pun berasal dari berbagai negara berbeda. Sementara di Yogyakarta, terutama bila berbicang dengan Ngarsa Dalem ataupun orang lain yang usianya dirasa lebih tua, biasanya digunakan bahasa Jawa tingkatan krama atau krama inggil. Meski begitu, Ngarsa Dalem tidak mempermasalahkan dan justru sangat mengapresiasi usaha para diaspora Jawa untuk tetap berbahasa Jawa meski ngoko.
Secara bergantian para diaspora Jawa dari Malaysia, Suriname, dan Singapura berbagi kisah mengenai kehidupannya sebagai orang Jawa di negaranya masing-masing. Salah satu diaspora Jawa dari Singapura bercerita bahwa dirinya adalah pegiat komunitas gamelan di sana dan sering kali kesulitan melaras gamelan. Hal ini langsung disambut hangat Ngarsa Dalem yang berjanji siap mengirimkan tenaga ahli untuk membantu melaras sekaligus mengajarkan cara melaras gamelan.
Para bupati dan wakil wali kota yang hadir pun turut berdialog dengan para diaspora. Bupati Sleman, Harda Kiswaya, menyatakan kesanggupannya menjadi tuan rumah Kongres Diaspora Jawa Internasional dua tahun mendatang, sedangkan Bupati Gunungkidul, Endah Subekti mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kehadiran para peserta kongres di bumi Handayani dan siap untuk terus menjalin komunikasi serta kerja sama dengan para diaspora Jawa ke depannya. Begitupun Wakil Wali Kota Yogyakarta, Wawan Harmawan yang mengungkapkan rasa senangnya bisa menyambut para peserta kongres di wilayah Kota Yogyakarta dan berharap semoga kunjungan di Yogyakarta berkesan di hati para diaspora Jawa. Senada dengan Bupati Gunungkidul, pihaknya mengungkap siap mendukung dan menjalin kerja sama dengan para diaspora Jawa.
“Kebetulan Mas Wawan bilang demikian, saya baru ingat kalau sepertinya Kotamadya Yogyakarta pernah ada kerja sama sister city dengan Commewijne di Suriname. Monggo itu bisa ditindaklanjuti,” jelas Ngarsa Dalem, seakan gayung bersambut.
Dalam akhir dialog, seluruh peserta kongres tampak setuju untuk menjadikan Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 sebagai patron atau bapak bagi orang Jawa di berbagai belahan dunia. Kongres Ke-6 Diaspora Jawa Internasional tahun 2025 pun resmi ditutup dan diakhiri dengan sesi foto bersama seluruh peserta kongres dengan Ngarsa Dalem sebagai kenang-kenangan indah dari tanah leluhur.