Ribuan Masyarakat Yogyakarta Antusias Ikuti Mubeng Beteng Sambut Tahun Baru Jawa Dal 1959
- 30-06-2025

Suasana malam Kota Yogyakarta terasa lebih khidmat daripada biasanya pada Kamis Wage malam Jumat Kliwon (26/06), ketika ribuan orang memadati kawasan pusat kota untuk mengikuti Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng. Prosesi ini merupakan sebuah tradisi untuk menyambut datangnya Tahun Baru Jawa, pada 1 Sura Dal 1959 / 1 Muharam 1447 Hijriah.
"Kegiatan ini rutin (Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng) kami selenggarakan setiap tahun dalam rangka untuk memperingati pergantian tahun dalam kalender Jawa yakni malam 1 Sura, kegiatan ini juga didukung oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY," terang KRT Kusumonegoro.
Sebelumnya, KRT Kusumonegoro mewakili panitia dari Paguyuban Abdi Dalem Keraton Yogyakarta juga menghaturkan terima kasih atas segala dukungan penyelenggaraan kegiatan, “Kami selaku panitia dari Paguyuban Abdi Dalem Keraton Yogyakarta memohon izin kepada Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun melalui Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura dalam hal ini Gusti Kanjeng Ratu Condrokirono, untuk memohon izin penggunaan tempat dan fasilitas yang ada untuk kegiatan malam ini. Alhamdulillah, konjuk sembah nuwun terima kasih kepada Keraton Yogyakarta atas izin berkenannya kami menyelenggarakan kegiatan ini."
KRT Kusumonegoro juga menekankan jika Mlambah Budaya Mubeng Beteng bukan merupakan Hajad Dalem (upacara) Keraton Yogyakarta melainkan Hajad Kawula Dalem (upacara yang diinisiasi Abdi Dalem).
Sekitar pukul 20.00 WIB, para Abdi Dalem dari berbagai tepas dan kawedanan berkumpul di Pelataran Kamandungan Lor (Keben), membuka prosesi dengan suasana yang hening dan khidmat. Sembari duduk bersila di bawah cahaya lampu temaram, mereka menyimak tembang-tembang macapat berisi doa-doa dalam bahasa Jawa. Lantuanan tembang macapat menjadi lantunan sakral pembuka gerbang waktu menuju pergantian tahun. Perlahan, masyarakat kemudian mulai memadati area Kamandungan Lor dan turut hadir menyimak tembang-tembang macapat yang dilantunkan oleh para Abdi Dalem yang bertugas.
Salah satu masyarakat yang mengikuti prosesi Mlambah Budaya Mubeng Beteng yakni Wibowo 51 tahun asal Yogyakarta. Ia menyatakan motivasinya, “Saya ingin menguri-uri kebudayaan Jawa serta mengenalkan budaya Jawa ini kepada putra saya,” ungkap pria yang sudah 3 tahun terakhir mengikuti Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng.
Selain Wibowo, tampak banyak masyarakat dari kalangan muda yang larut dalam khidmat di area Kamandungan Lor. Rafi, Mada, dan Zadit menjadi salah satu rombongan anak muda yang tampak hadir. “Kami ingin merasakan rasanya jalan mengelilingi benteng keraton. Kami juga suka dengan budaya dan tradisi Keraton Yogyakarta,” ungkap Rafi 16 tahun asal Bantul yang hadir bersama teman - temannya dan baru pertama kali mengikuti Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng.
Pukul 23.00 WIB, hadir Utusan Dalem yang diwakili oleh Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Purbodiningrat dan KPH Yudanegara. Dalam sambutan, KPH Purbodiningrat menekankan pentingnya momen ini sebagai refleksi dan pesan moral. “Semoga dari kegiatan ini kita semua memperoleh berkah dan kesejahteraan dari Allah SWT, serta diberikan ketenteraman bagi Yogyakarta khususnya, dan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada umumnya. Semoga pula terbuka hati para pemimpin, diterangi dalam tindakan dan langkah-langkahnya, serta selalu dalam lindungan dan kelangsungan takhta Yang Mulia (Sri Sultan) beserta permaisuri, putra-putri, menantu, seluruh keluarga besar, Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, serta seluruh rakyat selalu dikaruniai kesehatan yang cukup tanpa kekurangan satu pun,” papar KPH Purbodiningrat.
Tepat pukul 00.00 WIB, ketika dentang jam Keben berbunyi dua belas kali, KPH Purbodiningrat menyerahkan bendera Merah Putih kepada utusan Abdi Dalem sebagai tanda dimulainya prosesi. KPH Yudanegara dan para Abdi Dalem mulai berjalan kaki tanpa alas mengelilingi Benteng Baluwarti sepanjang ± 5 kilometer, dengan arah berlawanan jarum jam, sambil membawa tujuh bendera (klebet) khas:
- Gula Klapa (Kasultanan Ngayogyakarta),
- Budi Wadu Praja (DI Yogyakarta),
- Bangun Tolak (Kota Yogyakarta),
- Mega Ngampak (Kab. Sleman),
- Podang Ngisep Sari (Kab. Gunungkidul),
- Pandan Binetot (Kab. Bantul),
- Pareanom (Kab. Kulon Progo).
Selain membawa tujuh klebet yang mewakili dari Kesultanan Yogyakarta dan lima kabupaten kota di D.I. Yogyakarta, tahun ini dihadirkan pula 13 Klebet Kanayakan yang juga dibawa oleh Abdi Dalem dalam prosesi Mlampah Budaya Mubeng Beteng.
Sebelum mulai berjalan, seluruh peserta baik Abdi Dalem dan masyarakat umum diimbau untuk tertib. Tertib dalam berjalan, tidak saling mendahului, dan tidak boleh mendahului Cucuk Lampah. Yang bertugas sebagai Cucuk Lampah atau pemimpin rombongan Mubeng Beteng adalah Kanjeng Raden Tumenggung Condro Prawirayuda.
Rute perjalanan meliputi kompleks Keben–Jalan Agus Salim–Ngabean–Jalan Wahid Hasyim–Jalan MT Haryono–Plengkung Gading– Jalan Mayjen Sutoyo– Jalan Brigjen Katamso–Jalan Ibu Ruswo–dan kembali ke Keben.
Menurut KRT Kusumonegoro, Mubeng Beteng ini dilakukan sebagai sarana refleksi. “Mubeng Beteng ini dalam rangka refleksi atas peristiwa yang telah berlalu dan berdoa harapan-harapan yang akan datang. Hal ini juga sebagai penanda bahwa Mubeng Beteng merupakan penanda jika kita wajib membentengi diri dari baik dalam keimanan dan hubungan sebagai makhluk Tuhan,” tambah KRT Kusumonegoro.
Tradisi ini juga dikenal sebagai tirakat lampah ratri dan laku tapa bisu atau tanpa berbicara selama perjalanan, dalam keheningan malam yang diyakini penuh makna. Apalagi Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng kali ini bertepatan dengan malam Jumat Kliwon yang dalam budaya Jawa dipercaya sebagai malam puncak spiritual. Gabungan dari waktu, langkah, dan niat menjadikan prosesi tahunan ini lebih sakral. Selain bertepatan dengan malam Jumat Kliwon, Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng tahun ini juga menjadi penanda istimewa karena memasuki tahun Dal, sebuah tahun pertama dari 8 siklus penanggalan Jawa atau disebut Windu.
Oleh karena itu, masyarakat umum pun tampak tumpah ruah di sepanjang jalan larut dalam suasana, banyak yang ikut berjalan di belakang para Abdi Dalem atau sekadar menonton dengan dari pinggir jalan. Antusiasme masyarakat pada tahun ini sangat besar dengan ribuan masyarakat yang ikut larut dalam prosesi.
“Senang dan mengasah kedewasaan saya dari mengikuti tapa bisu ini. Karena tidak semua orang kuat untuk melaksanakannya, faktanya tidak sedikit yang akhirnya minggir ketika tadi mengikuti Lampah Mubeng Beteng ini,” terang Fikri 22 tahun asal Kota Yogyakarta setelah selesai Mubeng Beteng.
Seluruh rangkaian Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 1 Sura Dal 1959 berakhir sekitar pukul 01.45 WIB. Meski prosesi Mubeng Beteng telah selesai, tak sedikit peserta yang menutup prosesi dengan berdiam diri dan berdoa di halaman Keben, memohon keberkahan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menyambut perjalanan hidup pada tahun baru ini.
“Saya mengikuti Mubeng Beteng ini untuk cari berkah mas,” ucap Karti 57 tahun asal Gunungkidul.