Warna-Warni Rangkaian Hajad Dalem Sekaten Tahun Dal 1959
- 01-09-2025

Selama seminggu menjelang peringatan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW, seluruh elemen Keraton Yogyakarta bahu membahu menyukseskan upacara Hajad Dalem Sekaten. Prosesi digelar secara gigantik dan melibatkan banyak Abdi Dalem, mulai dari yang bertugas di dapur atau pawon, keputren, kantor tepas kawedanan, para ulama, prajurit, dokumentasi, hingga Putri Dalem dan Mantu Dalem. Rangkaian upacara ini menjadi istimewa karena bertepatan pada tahun Dal yang diperingati setiap delapan tahun sekali.
Perayaannya diawali sejak Jumat (29/08) atau 5 Mulud Dal 1959 hingga Jumat (05/09) atau 12 Mulud Dal 1959 (12 Rabiulawal 1447 H). Masyarakat umum biasanya menganggap Sekaten identik dengan pasar malam meriah. Perlahan, Keraton Yogyakarta berupaya mengembalikan marwah Sekaten, sebagai siar agama Islam melalui ritus kebudayaan.
Berbagai upacara tradisional diselenggarakan mulai dari Sugengan Sekul Gurih sampai puncaknya pada upacara Garebeg Mulud. Berikut warna-warni rangkaian Hajad Dalem Sekaten pada Tahun Jawa Dal 1959/2025 Masehi/1447 Hijriah.
Sugengan Nasi Gurih
Pada Jumat pagi (29/08), sekelompok Abdi Dalem Keparak tengah menyiapkan Sekul Gurih atau nasi gurih lengkap dengan lauk pauk; irisan telur dadar, ayam suwir, sambal kacang (pecel kering), dan mentiun, yang disajikan dalam tempelang (wadah daun pisang).
Sugengan Sego Gurih dimaksud sebagai sarana untuk memohon kelancaran dan keselamatan selama prosesi Sekaten dan rangkaian Hajad Dalem Garebeg Mulud Dal 1959. Nasi gurih tersebut kemudian dibagikan kepada semua Abdi Dalem yang ngayahi/marak sowan (bertugas saat itu) di semua tepas atau kawedanan. Menurut kepercayaan, nasi ini merupakan kersanan atau kegemaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Miyos Gangsa
Pada Jumat sore (29/08), Abdi Dalem Kanca Abang memboyong dua perangkat Gamelan Sekati, dari ruang penyimpanan di Bangsal Trajumas menuju Bangsal Ponconiti. Usai kedua perangkat Gangsa Sekati, yakni Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga, diletakkan di Bangsal Pancaniti, gamelan lalu ditabuh oleh Abdi Dalem Kawedanan Kridhamardawa pada pukul 19.00 hingga pukul 23.00 WIB.
Sebelum dipindahkan ke Masjid Gedhe, sekitar pukul 20.00 WIB, Utusan Dalem yakni kelima Putri Dalem GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, GKR Bendara serta Mantu Dalem KPH Purbodiningrat dan KPH Notonegoro menyebar udhik-udhik berupa beras, biji-bijian, bunga, dan uang logam yang dimaksudkan sebagai simbol sedekah, doa keselamatan, dan kesejahteraan dari raja kepada rakyatnya di Bangsal Pancaniti, Kamandungan Lor (Keben).
Pada pukul 23.00 WIB, diiringi prajurit dan Abdi Dalem Sipat Bupati, kedua perangkat Gangsa Sekati kemudian diangkut ke Masjid Gedhe Perangkat gamelan Kiai Gunturmadu menempati Pagongan Kidul (sisi selatan Masjid Gedhe), sementara Kiai Nagawilaga menempati Pagongan Lor (sisi utara Masjid Gedhe). Rentetan peristiwa inilah yang disebut Miyos Gangsa. Gamelan Sekaten kemudian ditabuh dari tanggal 6 – 11 Mulud atau 30 Agustus – 4 September 2025, selama rentang waktu tersebut itulah yang disebut Sekaten. Selama Sekaten, Masjid Gedhe juga menggelar Kajian Sekaten yang dapat diikuti oleh masyarakat luas.
Geladi Bersih Prajurit
Pada Minggu pagi (31/08), sepuluh bregada (prajurit) Keraton Yogyakarta mengikuti gladhi resik atau geladi bersih agar saat prosesi arak-arakan Gunungan Garabeg Mulud pada Jumat 5 September 2025 dapat berjalan dengan lancar.
Adapun 10 kesatuan yang berpartisipasi yakni Bregada Wirabraja, Bregada Dhaeng, Bregada Patangpuluh, Bregada Jagakarya, Bregada Prawiratama, Bregada Nyutra, Bregada Ketanggung, Bregada Mantrijero, Bregada Bugis, dan Bregada Surakarsa. Bertugas sebagai Manggalayudha atau pemimpin tertinggi yaitu Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro. KPH Notonegoro berada di depan barisan memimpin 10 bregada mulai dari pengecekan atribut dan kesiapan prajurit.
Pada geladi bersih prajurit kali ini, Keraton Yogyakarta sekaligus menghadirkan kesatuan prajurit yang sudah lama tidak muncul. Kesatuan tersebut antara lain prajurit Langenkusuma, Sumoatmaja, Jager, dan Suranata. Semuanya bersama-sama mengiringi keluarnya Pareden Gunungan.
Numplak Wajik
Irama lesung bertalu-talu menandai mulainya upacara Numplak Wajik. Irama yang dimainkan mengandung unsur penolak bala, agar pembuatan badan Gunungan Wadon (putri) yang diisi dengan wajik dapat berjalan lancar. Upacara Numplak Wajik dilaksanakan pada Selasa sore (02/09), tiga hari menjelang pelaksanaan Garebeg di Panti Pareden, yang berada di area halaman kompleks Kemagangan.
Mbusanani Pusaka
Prosesi ini dilaksanakan di kompleks Kedhaton pada hari Kamis (04/09), pukul 08.00 WIB. Upacara dilaksanakan oleh para Putri Dalem, Mantu Dalem, Sentana Dalem, dan dibantu oleh Abdi Dalem Sri Wandawa serta Abdi Dalem yang bertugas. Dalam prosesi Mbusanani Pusaka ini, beberapa pusaka agung milik Keraton Yogyakarta dikeluarkan dari ruang penyimpanan untuk dirawat. Selain itu, busana atau kain pelindung pusaka diganti dengan yang baru sebagai persiapan menjelang upacara Pisowanan Garebeg Mulud. Upacara ini hanya berlangsung setiap 8 tahun sekali, pada tahun Jawa Dal.
Bethak
Prosesi Bethak dilaksanakan di Bangsal Sekar Kedhaton, kompleks Keputren, pada Kamis petang (04/09). Keramaian prosesi ini hanya berlangsung delapan tahun sekali dan dipimpin oleh GKR Hemas sebagai Permaisuri Dalem. Selepas magrib, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 menyerahkan pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kiai Blawong kepada GKR Hemas. Dengan pusaka yang berbentuk periuk tersebut, GKR Hemas bersama dengan Putra dan Sentana Dalem Putri (putri dan kerabat wanita Sultan) akan menanak nasi sebanyak tujuh kali. Nasi yang dimasak dalam upacara Bethak tersebut akan diserahkan kepada Sri Sultan pada saat pisowanan (upacara menghadap Sultan) keesokan harinya.
Pembacaan Riwayat, Jejak Banon, dan Kondur Gangsa
Pada malam menuju tanggal 12 Mulud, Kamis (04/09) diselenggarakan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW di Kagungan Dalem Masjid Gedhe. Sebelumnya, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 Miyos di pelataran Kagungan Dalem Masjid Gedhe untuk menyebarkan udhik-udhik (beras, biji-bijian, uang logam, dan bunga) di Pagongan Kidul dan dilanjutkan ke Pagongan Lor. Sesaat setelah itu, Sultan dan segenap pengiring menuju ke dalam Masjid Gedhe untuk kembali menyebar udhik-udhik di Masjid Gedhe.
Agenda berikutnya adalah pembacaan riwayat Kelahiran Nabi Muhammad SAW oleh Abdi Dalem Urusan Pengulon. Sri Sultan duduk tepat di tengah Saka Guru serambi Masjid Gedhe, sementara para pengiring yakni Putri Dalem, Mantu Dalem dan segenap undangan beserta para Abdi Dalem duduk rapi di sekeliling.
Ketika pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW sampai pada bagian asrokal (peristiwa kelahiran Nabi), Ngarsa Dalem beserta para pengiringnya menerima persembahan Sumping Melati. Hal ini bermakna bahwa Sultan sebagai raja senantiasa mendengar aspirasi/pendapat rakyatnya dan akan melaksanakan harapan rakyatnya tersebut.
Setelah mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW, Sri Sultan Jengkar kembali ke keraton. Khusus pada Tahun Dal ini, Ngarsa Dalem akan Jengkar atau meninggalkan Masjid Gedhe dengan prosesi jejak banon atau jejak benteng (menjejak tumpukan bata yang melekat pada benteng) di sisi selatan Masjid Gedhe. Hal ini untuk melambangkan dan mengenang usaha Pangeran Mangkubumi saat menyelamatkan diri dari musuh selepas salat Jumat di Masjid Gede.
Selanjutnya, Gamelan Sekati masih ditabuh secara bergantian hingga tengah malam dan kemudian dikembalikan ke dalam keraton di tempat semula yakni di Bangsal Trajumas. Prosesi kembalinya gamelan ke dalam keraton inilah yang disebut dengan Kondur Gangsa.
Pisowanan Garebeg Dal 1959
Jumat pagi (05/09), Prosesi Pisowanan Garebeg Mulud Dal 1959 dilaksanakan di Kagungan Dalem Bangsal Kencana pukul 09.00 WIB. Dalam prosesi, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 mengambil nasi dari periuk Kanjeng Nyai Mrica, mengepal-ngepalnya menjadi bulatan kecil, lalu meletakannya pada piring Kanjeng Kiai Blawong. Nasi yang sudah dikepal oleh Sri Sultan dan kepalan nasi yang sudah dibuat sebelumnya kemudian dibagikan kepada GKR Hemas, diteruskan kepada para kerabat dan Abdi Dalem yang hadir dalam Pisowanan Garebeg Dal.
Garebeg Mulud
Pagi hari usai pelaksanaan Kondur Gangsa, Jumat (05/09), digelar Hajad Dalem Garebeg Mulud. Dalam Garebeg Mulud Dal 1959, terdapat enam jenis gunungan yang dikeluarkan. Keenam jenisnya adalah Gunungan Kakung, Gunungan Estri/Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Brama.
Keraton Yogyakarta turut mengimbau agar masyarakat dapat mengambil gunungan setelah mendengar aba-aba serta seusai gunungan tersebut selesai didoakan. Pada Garebeg Mulud Dal 1959, pembagian pareden di Ndalem Mangkubumen ditiadakan. Selain itu, pareden Gunungan ada yang dibawa menuju Pura Pakualaman dan Kompleks Kepatihan. Adapun khusus Gunungan Brama tidak untuk dibagikan, namun kembali ke dalam kompleks Cepuri Kedhaton.
Sebagai gunungan istimewa, yakni Gunungan Brama yang hanya dikeluarkan bertepatan dengan Tahun Dal. Gunungan Brama tersebut secara khusus diperuntukan untuk Sri Sultan, keluarga, dan Sentana Dalem. Wujud Gunungan Brama mirip Gunungan Estri. Bentuknya seperti silinder tegak dengan bagian tengah sedikit mengecil. Rangkanya terbuat dari bambu dan badannya ditutup dengan pelepah pisang. Bagian puncak Gunungan Brama memiliki lubang untuk menempatkan anglo, tungku kecil dari tanah liat. Anglo yang diisi arang membara digunakan untuk membakar kemenyan, sehingga terus-menerus mengepulkan asap tebal. Selanjutnya gunungan tersebut dibagikan kepada para kerabat Keraton Yogyakarta.
Bedhol Songsong
Malam hari setelah pelaksanaan Garebeg Mulud, digelar prosesi Bedhol Songsong. Bedhol Songsong sejatinya merupakan prosesi mencabut (bedhol) payung (songsong) yang dimiliki para pejabat administratif Sultan dari luar keraton, sebagai penanda berakhirnya rangkaian Hajad Dalem Garebeg Mulud.
Peristiwa Bedhol Songsong atau mencabut payung sebagai penanda kepulangan para pejabat dari luar keraton ini sekaligus menjadi penanda berakhirnya rangkaian Hajad Dalem Garebeg dan Pisowanan Garebeg. Meski praktik berkemah tak lagi dilaksanakan oleh para pejabat keraton, namun esensi prosesi Bedhol Songsong kembali direkonstruksi dengan mencabut Songsong Ageng yang digunakan pada pagi hari saat Hajad Dalem Garebeg Mulud berlangsung.
Tak lupa pertunjukan wayang kulit sepanjang malam menjadi penanda penutupan upacara Garebeg. Pada Garebeg Mulud Dal 1959, Bedhol Songsong digelar di Kagungan Dalem Tratag Gedhong Prabayeksa dengan dalang MB Cermo Sugondo. Meski tak bisa dihadiri langsung oleh masyarakat umum, pementasan wayang kulit ini disiarkan langsung melalui kanal YouTube Kraton Jogja mulai pukul 19.00 WIB.
Dengan selesainya Bedhol Songsong, berakhirlah warna-warni rangkaian upacara Hajad Dalem Sekaten Dal 1959.