Garebeg Mulud Dal 1959, Keraton Yogyakarta Dorong Semangat Revitalisasi Budaya

Keraton Yogyakarta (05/09) menggelar Hajad Dalem Garebeg Mulud Dal 1959/2025 sebagai puncak rangkaian dari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Gelaran Garebeg Mulud tahun ini menjadi momen istimewa sebab digelar dalam siklus delapan tahunan. Di sisi lain, peristiwa Garebeg Mulud Dal juga menghadirkan Pareden Gunungan Brama atau Gunungan Kutug. Gunungan tersebut secara khusus dibagikan bagi kerabat Sultan hingga Abdi Dalem secara terbatas. Momentum Garebeg Mulud Dal begitu menyita perhatian. Antusias masyarakat begitu meriah, riyuh rendah warga Yogyakarta dan sekitarnya memenuhi kawasan Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran hingga kompleks Masjid Gedhe. Mereka hadir sejak pagi untuk menyaksikan rangkaian upacara adat Garebeg hingga terlibat dalam merayakan tradisi sedekah Sultan yang terus dilestarikan hingga saat ini.

G7 07 Small

Revitalisasi Budaya Dalam Garebeg Mulud

Hajad Dalem Grebeg Mulud merupakan salah satu dari 3 upacara adat Garebeg yang digelar oleh Keraton Yogyakarta. Berbeda dengan Garebeg Sawal dan Garebeg Besar, Garebeg Mulud merupakan upacara adat yang dipercaya sejak masa pemerintahan Kasultanan Demak sebagai momentum perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Di Keraton Yogyakarta, perayaan Garebeg Mulud Dal berlangsung begitu meriah. Pasalnya sejak pukul 06:30 WIB, rombongan kesatuan prajurit telah berkumpul di kompleks Kamandungan Kidul menunggu apel pagi dari Manggalayudha. 

Pada pukul 07:00 WIB, rangkaian upacara Garebeg Mulud Dal dimulai dengan barisan prajurit yang melangkah menuju kompleks Kedhaton satu per satu. Masing-masing kesatuan prajurit berjalan begitu gagah dengan ragam busana yang tampak berbeda. Beberapa atribut prajurit diperbaharui seperti sayak, kain cindhe berbahan sutra, hingga sepatu yang dikenakan. Revitalisasi atribut ini dilakukan berdasarkan sumber arsip dan litografi sekitar tahun 1900an awal, semasa akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. 

G8 08 Small

Di sisi lain, Keraton Yogyakarta merevitalisasi kesatuan prajurit yang tidak ditemui lagi pascapendudukan Jepang 1942 di Yogyakarta. Beberapa kesatuan prajurit tersebut di antaranya prajurit Miji Sumaatmaja, Jager, Suranata, Priyantaka, dan Langenkusuma. Prajurit Miji Sumaatmaja bahkan sudah terlihat sejak upacara Kondur Gangsa di kompleks Masjid Gedhe, sebab sejarahnya prajurit tersebut merupakan pengawal pribadi dari Sultan.

G12 12 Small

Pukul 08:00 WIB, satu per satu dari kesatuan prajurit telah memasuki kompleks Kedhaton. Sesaat sebelum menuju kawasan Keben (Kamandungan Lor) dan Siti Hinggil, KPH Notonegoro sebagai Manggalayudha memeriksa kelengkapan masing-masing prajurit di depan Bangsal Trajumas. Peristiwa ini merupakan lampah-lampah enggal yang direvitalisasi dalam rangkaian upacara Garebeg sebagai bentuk kedisiplinan yang diterapkan pada prajurit keraton sebagai prajurit penjaga budaya. 

G16 16 Small

Rampung memastikan seluruh kesatuan prajurit siap, pada pukul 10:00 WIB, Manggalayudha memimpin pareden gunungan untuk diboyong menuju Masjid Gedhe. Rangkaian upacara adat Garebeg Mulud Dal berjalan seperti halnya upacara Garebeg lainnya. Perbedaannya, pada Garebeg Mulud Dal terdapat pareden Gunungan Brama yang turut dibawa menuju Masjid Gedhe untuk didoakan dan dibawa kembali ke kompleks Cepuri Kedhaton. Gunungan Brama menjadi bentuk kedermawanan Sultan pada seluruh Sentana Dalem, perlambang berkah yang menyeluruh, serta bentuk welas asih yang tidak terputus.

G17 17 Small

Gunungan Brama, Pareden Bagi Sentana Dalem

Gunungan Brama menjadi pareden yang ditunggu setiap delapan tahun sekali. Berbentuk silinder tegak menyerupai Gunungan Estri, tubuh Gunungan Brama dibalut pelepah pisang, dengan puncak yang menyemburkan asap yang bersumber dari pembakaran kemenyan di dalamnya. Maka dari itu, Gunungan Brama kerap pula disebut Gunungan Kutug. 

G35 35 Small

Pada pukul 10:00 WIB, bersama dengan pareden gunungan lainnya, Gunungan Brama diboyong ke Masjid Gedhe untuk didoakan. Barulah setelah didoakan, gunungan dibawa kembali ke Cepuri Kedhaton untuk dihaturkan kepada Sultan, keluarga, kerabat, dan Abdi Dalem secara terbatas. Diiringi oleh Abdi Dalem Mantri Gladhag, pukul 11:20 WIB, Gunungan Brama tiba di pelataran Gedhong Jene. Seluruh kesatuan prajurit tampak berkumpul di dalam pelataran Cepuri Kedhaton. Alunan Gendhing Soran dari Gamelan Kiai Guntur Laut, Kiai Kancil Belik, dan Kiai Surak menggema memenuhi sudut-sudut pelataran.

G45 45 Small

Setelah tiba di pelataran Gedhong Jene, KPH Notonegoro memberi pelaporan bahwa pareden Gunungan Brama bisa dibagikan. GKR Mangkubumi mengawali dengan mengambil dua tangkai ubarampe pareden gunungan untuk diberikan kepada Sri Sultan. Sementara itu, Abdi Dalem Kanca Pusaka, dibantu Kanca Narakarya melepas satu per satu ubarampe pareden gunungan untuk dibagikan kepada seluruh keluarga, kerabat, dan Abdi Dalem yang telah menunggu. 

G48 48 Small

Gunungan Brama menjadi salah satu pareden gunungan yang ditunggu kehadirannya setiap delapan tahun sekali. Semasa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, gunungan ini menjadi simbol dari kemakmuran yang melimpah. Semantara saat ini, Gunungan Brama menjadi simbol keberkahan yang terus dilestarikan, dibagikan, serta patut untuk dirayakan oleh seluruh masyarakat di dalam lingkup Keraton Yogyakarta.

G54 54 Small