Sega Golong, Wujud Derma dan Berkah Dalam Pisowanan Garebeg Mulud Dal 1959
- 07-09-2025

Keraton Yogyakarta pada Kamis (04/09), sejak petang hari 12 Mulud Dal 1959, telah sibuk menggelar rangkaian upacara Garebeg Mulud. Prameswari Dalem Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan kelima Putri Dalem, Sentana Dalem, serta Abdi Dalem Keparak telah melaksanakan prosesi Bethak di Bangsal Sekar Kedhaton. Upacara adat Bethak dimulai dengan kehadiran Sri Sultan untuk menyerahkan pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kiai Blawong yang diambil dari Gedhong Prabayeksa kepada Prameswari Dalem.
Prameswari Dalem dibantu oleh Abdi Dalem Keparak, kemudian menanak nasi menggunakan periuk Kanjeng Nyai Mrica yang diletakkan di atas tungku tanah liat berbahan bakar kayu. Selain Kanjeng Nyai Mrica, terdapat beberapa kendhil lain yang digunakan untuk menanak nasi. Masing-masing dijaga oleh saudara perempuan Sultan. Nasi yang telah matang kemudian diletakkan pada piring-piring blawong, lantas dikepal dengan tangan menjadi bola nasi. Proses ini dilakukan oleh Wayah Dalem dan Sentana Dalem yang hadir. Bola nasi yang disebut sebagai sega golong tersebut dibentuk kira-kira sebesar bola ping pong.
Pada malam hari tersebut, Kanjeng Nyai Mrica digunakan untuk enam kali menanak. Pada Jumat dini hari (05/09), Bethak kembali dilakukan untuk yang ketujuh kalinya. Kali ini dilakukan oleh Putri Dalem Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi. Nasi yang ditanak hingga matang tersebut nantinya diserahkan kepada Sri Sultan saat Pisowanan Garebeg Mulud Dal siang harinya.
Sega Golong dan Pisowanan Garebeg Mulud
Sejak pukul 07:00 WIB pagi, tiga gamelan silih berganti dimainkan di pelataran Cepuri Kedhaton. Ketiganya adalah Kanjeng Kiai Guntur Laut di Bangsal Mandhalasana, Kanjeng Kiai Kancil Belik di Gedhong Gangsa Lor dan Kanjeng Kiai Surak di Gedhong Gangsa Kidul. Pukul 07:30 WIB, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam X, GKBRAA Paku Alam, Wali Kota Yogyakarta, Bupati di DIY, serta para Abdi Dalem Sipat Bupati datang dan duduk bersila menunggu di Bangsal Sri Manganti. Barulah pukul 09:00 WIB, rombongan Wali Kota Yogyakarta, Bupati di DIY, serta Para Abdi Dalem Sipat Bupati memasuki kompleks Cepuri Kedhaton dan duduk di dua Bangsal Kotak.
Iringan Gendhing Manguyu-Uyu dari gamelan Kanjeng Kiai Kancil Belik dan Kanjeng Kiai Surak sayup-sayup mengisi keheningan. Menjelang siang, pukul 09:45 WIB, Sri Sultan miyos dari Gedhong Prabayeksa menuju Bangsal Kencana. Iringan Gendhing Soran Monggang dari ketiga gamelan mengiringi kehadiri Sultan di Bangsal Kencana. Para Abdi Dalem yang telah menunggu di Bangsal Kotak kemudian diperkenankan maju dan duduk di kursi yang disediakan di Tratag Bangsal Kencana. Para Sentana Dalem dan tamu kehormatan lain duduk di sebelah kanan dan kiri Sultan, dengan posisi menghadap beliau.
Pukul 10:30 WIB, Gusti Kanjeng Ratu Condrokirono, Gusti Kanjeng Ratu Bendara, dan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro beserta Kanca Keparak membawa pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kiai Blawong. Kedua pusaka kemudian dipegang dan diposisikan di hadapan Sultan. Sultan lalu mulai ngeduk (mengambil) nasi di dalam Kanjeng Nyai Mrica dan menaruhnya di Kanjeng Kiai Blawong. Sultan kemudian mulai mengepal nasi yang ada di Kanjeng Kiai Blawong. Kegiatan ini diteruskan oleh Putra dan Mantu Dalem.
Tidak lama berselang, Abdi Dalem Keparak dan Abdi Dalem Kanca Sewidak datang membawa minuman teh dan nasi yang sudah dikepal pada malam sebelumnya. Setelah sajian ini selesai, Sultan memerintahkan para Abdi Dalem untuk kembali. Ketiga gamelan dimainkan bersamaan hingga akhir gendhing sebagai penanda selesainya Pisowanan Garebeg Mulud Dal 1959. Pada proses bersamaan, seluruh relik atau Pusaka Dalem kembali menuju Gedhong Prabayeksa. Kondur Pusaka atau kembalinya pusaka kehormatan diawasi secara langsung oleh Prameswari Dalem Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
Pukul 11:00 WIB, tepat rombongan Abdi Dalem Sipat Bupati meninggalkan pelataran Cepuri Kedhaton. Mereka membawa sega golong sebagai bentuk sedekah Sultan dalam merayakan kemakmuran negara. Sega golong menjadi simbol dari tumpah ruah dari kelimpahan berkah agraris dari Keraton Yogyakarta. Di sisi lain, bentuknya yang bulat dan penuh memiliki makna golong gilig yakni semangat persatuan antara Sultan dan masyarakat.