Trilogi Lakon Wayang Wong Era Sultan Kedelapan, Resmi Membuka Pameran Pangastho Aji
- 09-10-2025

Sebagai agenda tahunan, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali menggelar pameran temporer dengan tajuk Pangastho Aji: Laku Sultan Kedelapan. Pameran yang berlangsung selama ± lima bulan tersebut dibuka secara meriah dan megah dengan penampilan wayang orang atau Wayang Wong yang dipentaskan tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 26 – 28 September 2025. Pergelaran ini ditampilkan secara langsung di Bangsal Pagelaran serta disiarkan secara daring melalui kanal YouTube Kraton Jogja.
Sejalan dengan tema pameran yang digelar, pertunjukan wayang orang kali ini menampilkan lakon trilogi. Ketiga lakon tersebut terdiri dari Parta Krama, Srikandhi Maguru Manah atau juga disebut sebagai Srikandhi Jemparing, serta lakon Sembadra Larung/Sembadra Pralaya. Dahulu, ketiga lakon tersebut pernah dipentaskan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, tepatnya pada tanggal 13 – 15 Februari, tahun 1928.
Pada Jumat malam (26/09), lakon pertama dengan judul Parta Krama mengisahkan tentang perjuangan Raden Janaka untuk memenuhi bebana (mahar) yang diajukan Dewi Sembadra. Bebana yang diajukan tersebut berupa benda-benda surgawi, seperti Pohon Dewandaru, Gamelan Lokananta, serta kebo pancal panggung–kerbau dengan kaki berwarna putih. Namun di sisi lain, kesatria Cindhekembang, Raden Burisrawa dan raja Endracana, Prabu Suryawasesa, juga berniat untuk meminang Dewi Sembadra. Atas restu dewata, pada akhirnya Raden Janaka-lah yang berhasil memperistri Dewi Sembadra karena dapat mewujudkan bebana yang disyaratkan.
Pada hari kedua (27/09), lakon Srikandhi Maguru Manah menampilkan ketangguhan seorang putri Pancala, yakni Dewi Srikandhi. Walaupun seorang putri, ia tekun berguru kepada Raden Janaka dalam hal olah ketangkasan panahan. Namun, ketekunannya tersebut menemui sebuah masalah. Sembadra, sebagai istri Janaka merasa cemburu melihat hal tersebut. Srikandhi pun terkena amarah kakaknya, yakni Drupadi. Srikandhi pun pergi dengan hati yang penuh kepiluan, namun di tengah jalan, ia bertemu raja raksasa Prabu Kandhihawa yang ingin memperistrinya. Pertarungan pun terjadi, atas ketangkasan Srikandhi, Prabu Kandhihawa dapat dikalahkan. Kemudian Srikandhi merasuk ke dalam jasad Prabu Kandhihawa, menyamar untuk pergi ke Amarta bertemu kembali dengan pujaan hatinya, Raden Janaka.
Malam terakhir (28/09), lakon terakhir dalam trilogi ini yakni Sembadra Larung. Alkisah, Raden Burisrawa yang cinta mati kepada Sembadra melakukan segala cara untuk dapat bersanding dengannya. Setiap kepergiannya, ia selalu terbawa gandrung (dimabuk asmara), hanya mencari keberadaan Sembadra. Di sisi lain, Prabu Jathayaksa telah berhasil menculik Sembadra. Namun nahas bagi Prabu Jathayaksa, karena harus berhadapan dengan Burisrawa. Prabu Jathayaksa pun akhirnya tewas di tangan Burisrawa.
Raden Burisrawa kemudian menjadi pahlawan, karena bisa membunuh menyelamatkan Sembadra. Namun, Burisrawa yang tengah dirundung asmara pun mengejar merayu Dewi Sembadra. Sang dewi yang merasa terdesak kemudian lebih memilih mempertahankan kehormataannya, ia menghunjamkan pusaka ke tubuhnya, memilih mati daripada ia harus melayani Burisrawa. Sembadra yang tak sadarkan ditolong oleh 2 kemenakannya, yaitu Raden Gathutkaca dan Raden Antareja. Raden Burisrawa akhirnya dibawa ke Amarta untuk menerima pengadilan.
“Pemilihan lakon yang dibakan kali ini disesuaikan dengan tema pameran yang digelar. Kisah yang dipilih merupakan lakon trilogi yang populer pada masa Hamengku Buwono VIII. Selain itu, lakon yang digelar kali ini membawa banyak teladan yang ditampilkan para perempuan tangguh yang merupakan istri dari Raden Janaka,” ungkap Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro selaku Penghageng Kawedanan Kridhamardawa.
Ketiga lakon tersebut mengajak masyarakat luas untuk menyelami kisah wayang yang sarat akan makna dan pesan moral. Melalui trilogi tersebut, masyarakat dapat meneladani wujud ketangguhan para wanita sebagai seseorang yang merdeka atas dirinya. Srikandhi yang berani menentukan jalannya, melampaui batas sebagai seorang kesatria putri, Drupadi yang menujukkan kesetian akan nilai kesusilaan, serta Sembadra yang menjunjung tinggi martabatnya sebagai seorang perempuan. Kehadiran ketiga tokoh tersebut menjadi suatu refleksi tentang kekuatan batin dan kecerdasan nurani dalam menghadapi kehidupan.