Pameran Temporer Pangastho Aji: Menyusuri Warisan Intelektual Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
- 09-10-2025

Sejak 2019, Keraton Yogyakarta konsisten mengadakan pameran temporer dua kali dalam setahun. Satu pameran mengulas elemen atau objek khas yang ada di lingkup keraton dan yang lainnya berpusat pada figur penting dalam sejarah. Pada penghujung tahun 2025, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII diangkat sebagai sosok sentral dalam pameran yang bertajuk Pangastho Aji.
Pangastho Aji berakar dari kata pengastha-astha yang berarti penguasa kedelapan, sementara aji bermakna ratu atau tunggal. Ketika menyambut awak media, Penghageng Kawedanan Hageng Nitya Budaya, GKR Bendara, menyampaikan bahwa sosok Sri Sultan HB VIII dipilih karena beliau berkuasa dalam rentang waktu yang cukup panjang dan membuahkan banyak karya. “Begitu banyaknya karya beliau, ruang pamer tidak cukup untuk menampung semuanya.” Gusti Bendara menyatakan bahwa di dalam ruang pamer, penyelenggara lebih meng-highlight karya sang raja di bidang tarian dan karya sastra.
Setelah dibuka oleh Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 pada Jumat malam (26/09), pameran ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum mulai 27 September 2025 – 24 Januari 2026 pada hari dan jam buka wisata Keraton Yogyakarta.
Sejarah dalam Balutan Teknologi Modern
Peran Sri Sultan HB VIII dalam mengembangkan seni yang demokratis dan memajukan aspek sosial-ekonomi Jawa pada awal abad ke-20 terangkum padat dalam pameran yang digelar di kompleks Kedhaton. Lewat pajangan artikel, lukisan, video, lencana penghargaan, serta artefak-artefak autentik, pengunjung diajak penyelami pemikiran beliau yang tergolong progresif pada zamannya. Beragam media interaktif modern menyediakan pengalaman baru dan lebih intens.
Di ruang pertama, pengunjung disambut video imersif yang memantulkan citra-citra arsip dari era Sri Sultan HB VIII, di antaranya artikel dalam bahasa Belanda, gambar-gambar upacara penobatan, serta pertunjukan wayang orang. Animasi paralaks yang menampilkan gambar gajah lengkap dengan suaranya memperkuat atmosfer historis di ruangan ini. Terdapat pula lubang intip yang mengajak pengunjung meneropong foto-foto dari masa lalu. Menurut kurator pameran MB Pradanareja Guritna, gajah dan naga banyak ditampilkan karena keduanya merupakan simbol angka delapan dalam sengkalan.
Ruang kedua berisi lini masa perjalanan hidup Sultan HB VIII, mulai dari kelahiran, keberangkatan beliau ke Belanda untuk belajar, kenaikan takhta, hingga akhir hayatnya. Beberapa artefak kebangsawanan beliau dihadirkan, seperti singgasana dan perangkat minum teh berlogo resmi.
Ruang berikutnya menyajikan bukti-bukti kecintaan Sultan HB VIII akan seni, baik seni lukis, tari, busana, maupun arsitektur. Salah satu artefak yang dipajang adalah potret diri beliau yang dilukis oleh seniman terkenal Jayeng Asmara (pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia) dengan skala 1:1. Semasa hidupnya, Sultan Kedelapan memang gemar menjalin kerja sama dengan pelukis-pelukis termahsyur serta menghadiahkan lukisan kepada tokoh yang ia hormati. Representrasi karya arsitektural beliau juga ditampilkan di area ini, seperti gambar Regol Brajanala, Regol Danapratapa, Gedhong Jene, dan Bangsal Manis. Di Regol Danaprata terdapat sengkalan yang berbunyi esthi sara esthi aji (dua gajah yang saling bertemu dan membawa anak panah) yang menyimbolkan angka tahun Jawa 1858, era pemerintahan Sultan HB VIII.
Perhatian Sri Sultan HB VIII terhadap fashion tergambar jelas di segmen selanjutnya, yang berisi foto-foto beliau dalam busana yang terbilang stylish. Dari arsip yang ditemukan, diketahui beliau membawa banyak kebaruan dalam mode busana keraton, termasuk terkait aturan seragam keprajuritan. Dalam berbagai kesempatan, beliau mengakulturasikan gaya busana barat dan Jawa, misalnya memadukan jas dan dasi ala Eropa dengan iket (hiasan kepala), dengan sumping (hiasan telinga), karset, dan bros tradisional khas Jawa.
Dalam seni tari, kreativitas Sultan HB VIII mengemuka. MB Pradanareja Guritna menjelaskan, sang raja menyingkat waktu pertunjukan tari formal karena melihat potensinya sebagai pertunjukan hiburan. Sultan juga mereformasi busana dan aksesori tari. Salah satu gebrakan barunya adalah penciptaan topeng dan kostum para penari sesuai dengan karakter yang ditampilkan. Penari yang membawakan tokoh hewan (harimau, kera, dan lain sebagainya) mengenakan kostum yang menyerupai hewan tersebut. Langkah cerdas ini mempermudah penonton memahami jalan cerita. Topeng-topeng yang merepresentasikan kreativitas beliau dihadirkan dalam rak khusus. Video asli dari abad ke-20 yang menunjukkan penciptaan kostum juga dipertontonkan.
Bukti-bukti perhatian besar Sri Sultan HB VIII terhadap seni dapat ditemukan pada dokumentasi terkait pendirian sekolah tari keraton yang paling tua, yaitu Krida Beksa Wirama yang diinisiasi oleh sang raja sendiri dan Pangeran Tejakusuma serta pendirian Habirandha–sekolah pedalangan/karawitan keraton. Cerita tentang kedua sekolah seni tersebut beserta daftar alumni-alumni awalnya dapat disimak dalam format audio dua bahasa lewat pelantang berbentuk pesawat telepon.
Di ruangan terakhir, selain melihat foto-foto terkait peresmian Museum Sonobudoyo dan Sanatorium Pakem, pengunjung dapat menemukan fun-facts terkait Kota Yogyakarta dengan memindai kode batang yang tersedia pada gambar.
Sepasang suami istri asal Malang, Muji dan Ainun, yang datang dengan putri balita mereka menyatakan kepuasannya setelah mengunjungi Pameran Pangastho Aji, “Dibalut dengan modern, nyaman karena dingin. Ditata urutannya dari awal. Sejarahnya dari awal juga dijelaskan dengan lengkap,” kata Muji.
Kakak beradik Rosita dan Heni, wisatawan keraton, melontarkan komentar senada. “Dekorasinya bagus. Penempatannya nggak keramean.”
Kebermanfaatan pameran ini diharapkan sejalan dengan pesan Sri Sultan HB VIII yang tercetak di salah satu sudut ruang pamer, “Seorang pemimpin belum bisa dikatakan memimpin sampai dia meletakkan pelayanan dalam kepemimpinannya.”