Jamasan Pusaka Alip 1955 Masih Digelar Tertutup

Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat baru saja menggelar Hajad Dalem Jamasan Pusaka. Jamasan Pusaka, disebut juga Siraman Pusaka, merupakan ritual tahunan yang dilaksanakan oleh keraton setiap Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di bulan Sura. Kata “siraman” atau “jamasan” berasal dari bahasa Jawa, yang berarti memandikan atau membersihkan. Tujuan dari prosesi ini adalah membersihkan dan merawat benda-benda pusaka milik keraton.

Rangkaian upacara Jamasan Pusaka diawali terlebih dahulu di dalam kawasan Kedhaton pukul 13.00 WIB. Prosesi ini ditutup untuk umum. Jamasan pusaka juga digelar di luar keraton. Pusaka yang dibersihkan pada jamasan di luar keraton adalah Kagungan Dalem Rata (kereta pusaka).

Jamasan 002

Biasanya Jamasan Rata terbuka untuk umum, namun karena masih situasi pandemi dan adanya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), Jamasan Pusaka Rata tahun ini masih digelar tertutup dan terbatas. Jumlah Abdi Dalem yang bertugas juga turut dikurangi, hanya sekitar 20 orang. Abdi Dalem yang ngayahi diwajibkan untuk tes swab terlebih dahulu, menggunakan masker, serta menggunakan penyanitasi tangan.

Prosesi Jamasan Pusaka Rata dilaksanakan pada Selasa (17/08) atau 8 Sura 1955 tahun Jawa dan bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepat pukul 13.30 WIB, Mas Riyo Rotodiwiryo memimpin jalannya prosesi Jamasan Pusaka Rata.

Terdapat dua kereta pusaka yang mengikuti proses Jamasan. Kereta utama yang selalu dijamas setiap tahun adalah Kanjeng Nyai Jimat. Kereta tertua ini pernah dipakai saat penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga Sri Sultan Hamengku Buwono III. Kanjeng Nyai Jimat dijamas di halaman selatan Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Kereta dibersihkan dengan cara diguyur air bunga dan irisan jeruk nipis, kemudian dikeringkan dengan potongan kain mori. Komponen yang terbuat dari kaca digosok dengan spiritus, sementara yang terbuat dari kulit diseka dengan minyak kelapa.

Selain kereta utama, terdapat satu kereta pendamping (kereta pendherek) yang turut dijamas di halaman depan museum. Kereta pendamping yang dicuci adalah Kanjeng Kiai Jaladara. Kereta ini pernah dikendarai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III saat melintasi bagian atas tembok benteng Baluwarti untuk melihat kehidupan masyarakat sekitar pada saat itu. Kanjeng Kiai Jaladara digunakan hingga era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV.

Jamasan 003

Penghageng KHP Wahana Sarta Kriya, KRT Kusumonegoro, mengungkapkan kereta pendamping yang dijamas bergantian setiap tahunnya. “Tidak ada spesifik khusus tentang pemilihan kereta pendherek, namun dipilih kereta yang memiliki kedudukan satu tingkat di bawah kereta utama. Setiap tahun kereta pendherek selalu digilir untuk menjadi pengiring Kanjeng Nyai Jimat,” urai Kanjeng Kusumo.

 Upacara Jamasan juga dilaksanakan pada pohon beringin di sekitar Alun-Alun Utara. Di awali dari beringin Kiai Wijayadaru (disebut juga Kiai Janadaru), kemudian Kiai Dewadaru. Pohon beringin tersebut dijamas dengan cara memangkas dahan-dahan sehingga rapi dan tajuknya tampak seperti payung. Setelah kedua pohon beringin selesai dipotong, jamasan dilanjutkan pada pohon beringin lain keesokan harinya. 

Jamasan Pusaka hingga saat ini terus dilestarikan dan dilaksanakan setiap tahun oleh Keraton Yogyakarta. Dengan dibersihkan secara teratur, apabila ditemukan tanda kerusakan dapat segera ditangani. Upacara Jamasan memiliki setidaknya dua aspek, teknis dan spiritual. Secara teknis bertujuan untuk merawat benda-benda warisan sejarah dan budaya, sementara secara spiritual merupakan sikap orang Jawa dalam menyambut datangnya tahun baru Jawa.