Malem Selikuran Be 1952 J di Keraton Yogyakarta

Setiap tanggal 20 bulan Pasa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar Hajad Dalem Malem Selikuran guna menyambut datangnya Lailatul Qadar. Pada tahun 2019 ini, Malem Selikuran diperingati pada Sabtu (25/5) mulai pukul 16.30 bertempat di Bangsal Sri Manganti. Prosesi dipimpin oleh GKR Mangkubumi yang didampingi oleh GKR Bendara dan GKR Condrokirono. Turut hadir pula para penghageng, wakil penghageng, carik, kahartakan, serta perwakilan dari tepas-tepas dan kawedanan yang ada di keraton. 

Malem Selikur, diyakini telah diperingati sejak awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Ada yang mengartikan bahwa Malem Selikur berarti sing linuwih ing tafakur atau ajakan untuk lebih giat mendekatkan diri pada Allah. Dalam bahasa Jawa, Malem Selikur berarti malam kedua puluh satu. Dua puluh satu yang dimaksud mengacu pada tanggal 21 Ramadhan. Tanggal 21 menjadi hari pertama dari sepertiga akhir bulan Pasa, atau awal penantian bagi malam Lailatul Qadar yang akan tiba pada salah satu malam pada tanggal ganjil periode tersebut. 

Seusai pembukaan yang dipimpin oleh GKR Mangkubumi, prosesi dilanjutkan dengan kegiatan tausiyah oleh Mas Ngabdul Suyatno, perwakilan Abdi Dalem Kanca Kaji. Seusai tausiyah, prosesi dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh Mas Ngabdul Ghoni. 

Sebelum pembacaan doa penutup oleh KRT Kamaludiningrat selaku Penghageng Kawedanan Pengulon, terlebih dahulu GKR Mangkubumi menyampaikan harapannya, “Selamat menjalankan ibadah puasa hingga 10 hari ke depan. Semoga Gusti Allah selalu melimpahkan berkah dan nikmatnya kepada Ngarsa Dalem, GKR Hemas, para Abdi Dalem, serta kerabat Dalem”.

Prosesi dilanjutkan dengan melaksanakan sholat isya, sholat tarawih, dan ibadah lainnya hingga sahur bersama. Selain itu, juga dilaksanakan macapatan pada malam hari yang bertempat di emper Bangsal Kencana.

Pada tanggal 21 Pasa dan tanggal-tanggal ganjil setelahnya, Abdi Dalem Keparak akan menyalakan lilin di beberapa titik dalam lingkungan keraton saat matahari mulai terbenam. Tradisi ini diyakini telah ada sejak masa para Wali dan masih lestari sampai sekarang di pelosok-pelosok Yogyakarta. Hal ini dipercaya sebagai simbol penerang jiwa bagi arwah-arwah leluhur, karena pada malam Lailatul Qadar pintu surga akan terbuka dan arwah-arwah para leluhur akan datang berkunjung.