Sri Sultan Hamengku Buwono IX

1940 - 1988

Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda.  Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School). 

Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil  sebagai Henkie (henk kecil).

Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School (taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan Bandung.

Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang kelak akan menjadi Ratu Belanda. 

Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air, beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.

Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah. Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

  1. GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.
  2. Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda
  3. Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.

Dikisahkan,  setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,  GRM Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr. Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu berdasar bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.

Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak politik dengan Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau tandatangani tanpa dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.

Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar  Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX. 

Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.


Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Pangeran Dalam Republik

Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini, 17 Agustus 1945, dengan dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, beliau mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modernnya, dimana dia bukan lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik. Langkah beliau yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya ini, di kemudian hari dibuktikan dengan pengabdian yang total.

Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial yang datang kembali,  beliau mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik yang baru berdiri tersebut. 

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.

Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini  mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali. 

Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951).  Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri. 

Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai kepanduan ini, beliau menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia.

Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka. Pada saat itu, pohon beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara, mendadak roboh, seakan pertanda duka yang mendalam.

Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia  Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada tanggal 30 Juli 1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. 


Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental Sri Sultan Hamengku Buwono IX . Saluran air yang menghubungkan Sungai Progo dengan Kali Opak  yang membelah Yogyakarta dari barat ke timur ini memberi pengairan yang tak pernah berhenti bagi lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Proyek selokan mataram ini berhasil menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak diikutsertakan dalam program kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian yang tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga membuat manfaat yang terus bisa dinikmati hingga kini. 

Di bidang pendidikan,  Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh berdirinya Universitas Gadjah Mada. Lembaga perguruan tinggi yang telah mencetak banyak  tokoh nasional maupun internasional ini awalnya menggunakan Pagelaran dan bangunan-bangunan lain di dalam dan sekitar keraton untuk dijadikan lokasi belajar mengajar. Sejalan dengan perkembangan universitas, sebidang tanah di Bulak Sumur disediakan oleh Sultan untuk dibangun gedung  utama, Balairung UGM, yang dirancang sendiri oleh Presiden Soekarno kala itu.

Seperti raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni. Terinspirasi dari cerita wayang golek, beliau menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari gaya Yogyakarta. Karya lain yang beliau hasilkan diantaranya adalah tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten).