KRT Widyawinata, Penjaga Kekayaan Pengetahuan Keraton

KRT Widyawinata melatih tari di Bangsal Kasatriyan

Kapustakan atau perpustakan merupakan salah satu kelengkapan utama keraton dalam menjaga kekayaan pengetahuan dan budaya. KRT Widyawinata merupakan salah satu penjaga kelestarian itu. Ditugaskan sebagai Abdi Dalem Kapustakaan Kridamardhawa, ia menerimanya sebagai suratan takdir yang telah digariskan. Selain memiliki ayah dan kakek Abdi Dalem, beberapa pertanda yang ia alami meneguhkan keyakinan tersebut.
 
 
Lahir 27 Juli 1952, ia diberi nama Sutarno. Setelah ia periksa dalam kamus bahasa Kawi, ia ketahui namanya berarti “anak yang punya kelebihan.” Ia dipermandikan dengan nama Antonius. Nama tersebut ia pandang sebagai pertanda karena Antonius digambarkan sebagai santo yang memegang buku dan memancarkan sinar.
 
 
“Semakin tua, saya semakin memahami nilai-nilai religius, bahwa kita tak boleh iri, harus bersyukur, nrima karena ternyata nama itu juga sebuah doa. Benar saja, di antara anak dan cucu dalam keluarga besar, sayalah yang pertama menjadi sarjana.” Tak tanggung-tanggung, ia bahkan pernah belajar sampai Spanyol.
 
 
Pertanda lain datang dari sang kakek yang sewaktu ia kecil sering menyuapinya di dekat patung Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sekarang berada di Plataran Kasatriyan. Saat itu, ia dipanggil dengan sebutan Ndara Nggung. Ternyata kini ia memang bergelar KRT, Kanjeng Raden Tumenggung.
 
 
“Setelah menikah pada tahun 1977 saya menginginkan keris karena itu merupakan simbol laki-laki yang memiliki kewibawaan dan keilmuwan,” lanjutnya. Tak disangka-sangka, ia diberi keris oleh Raden Lurah Sastra Pustaka, yang menjaga Kapustakaan Kridhamardawa pada waktu itu. Sekitar 20 tahun sesudahnya, ia pun diangkat sebagai Abdi Dalem Kapustakan Kridhamardawa.
 
“Kesimpulannya, dari penciptaNya manusia sudah digariskan arahnya. Meski saya bercita-cita jadi ABRI, ternyata jadi guru. Anak-anak saya juga jadi semua, padahal berapa gaji guru waktu itu?” ujarnya.

Guru dan Penari

Asma Paring Dalem yang disematkan padanya adalah Dwija Sutarno, yang berarti guru dengan kemampuan lebih. Ini sangat sesuai karena di luar keraton ia adalah guru tari di berbagai sekolah. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Widyawinata saat ia naik jabatan sebagai bupati riya.
 
 
Jauh sebelum resmi menjadi Abdi Dalem, Sutarno sudah sering menari di Keraton. Menjadi penari sangat jauh dari cita-citanya menjadi tentara. Sewaktu SMP, ia bergabung dengan berbagai perkumpulan tari yang berdiri saat itu. Lulus dari SMP, ia masuk konservatori tari dan mulai menjadi penari keraton. Setelahnya, ia sempat bekerja selama empat tahun sebelum kemudian melanjutkan kuliah di ISI jurusan sastra tari. Pada saat itulah ia menjalani banyak peran. Ia melakoni pekerjaan di dua tempat. Di luar itu, ia mengurus keluarganya, kuliah, sekaligus menjadi Abdi Dalem.
 
 
Tugas sebagai guru dan Abdi Dalem ia lakukan secara berselang-seling. Malam harinya ia berpentas sebagai penari, termasuk di Hotel Ambarukma, satu-satunya hotel berbintang di Yogyakarta pada waktu itu. Hotel ini didirikan oleh Hamengkubowo IX untuk memajukan pariwisata. “Itu uangnya banyak sekali. Waktu SMA saya sudah bisa membeli motor berkat menari,” kenangnya.

Berkah Keraton

Seperti Abdi Dalem lain pada umumnya, Widyawinata tak pernah memikirkan materi saat memutuskan mengabdi. Ia hanya mengharapkan kesejahteraan batin. Pemahamannya akan simbol dan makna filosofis dalam tata krama, tata ruang, hingga kesenian yang berada di lingkup keraton, dan dalam lingkungan yang lebih luas, memperkaya wawasannya.
 
 
“Penari bedhaya itu ada sembilan, seperti lubang-lubang dalam tubuh kita,” tuturnya. Ia lalu menerangkan bahwa itu merupakan perlambang bahwa kita harus mengendalikan dan menjaga apa yang masuk dan keluar dari diri kita. Apapun yang kita ucapkan dan perbuat dengan itikad baik, akan memberikan kebaikan pula, begitu juga sebaliknya. Ia pun fasih menjabarkan makna-makna vegetasi, motif batik, bangunan, bahkan nama-nama jalan di seputar keraton.
 
Sosok ini juga sangat pluralis dan toleran. Gamelan ia umpamakan sebagai kerukunan umat beragama, yang walaupun berbeda bentuk dan cara membunyikannya, tujuannya sama. Mungkin pemahaman akan berbagai filosofi kehidupan ini yang membawanya kepada berbagai keberhasilan hidup, yang ia percaya sebagai berkah keraton.
 
K Widya Potrait
KRT Widyawinata di Bangsal Kasatriyan