KRT Wiroguno, Seniman Besar Keraton Yogyakarta

KRT Wiroguno dalam busana keprajuritan Bupati Patih Dalem Kadipaten

Menciptakan lebih dari seratus gending, merancang kostum Langendriya, menggeluti photo painting (pewarnaan foto hitam putih), dan berbagai kesenian lainnya, KRT Wiroguno rasanya layak disebut sebagai salah satu seniman besar Keraton Yogyakarta. Tak hanya berkarya, ia juga dengan rapi mendokumentasikan berbagai hal terkait pemerintahan dan kesenian keraton pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921) dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Hingga saat ini, hampir satu abad sepeninggal beliau, karya-karyanya masih dimainkan dan namanya masih sering dikutip.

KRT Wiroguno terlahir dengan nama Raden Mas Subardjo. Ia adalah cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877). Ayahnya yang bergelar Pangeran Adipati Mangkubumi merupakan adik Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Raden Mas Deblung menjadi julukan KRT Wiroguna semasa kecil karena ia suka memainkan segala macam alat musik perkusi; kendang, ketipung, bahkan batu. Demikianlah, bakat alaminya dalam bidang karawitan memang sudah tampak sejak belia.

Meski merupakan cucu raja, ia berangkat dari pangkat terendah saat bekerja sebagai Abdi Dalem. Ia tercatat pernah menyandang nama Raden Lurah Suryoprawiro. Kinerjanya dianggap memuaskan, hingga saat Sri Sultan Hamengku Buwono VIII naik takhta, pangkatnya melejit. Ia diberi jabatan sebagi Bupati Pepatih Dalem Kadipaten. Ini jabatan khas yang hanya ada pada periode itu. Setelah ia tiada, jabatan itu juga ditiadakan.

KRT Wiroguno bersama Pangeran Suryadiningrat, Pangeran Tejakusuma, dan KRT Jayadipura membentuk lingkaran terdalam bagi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saking dekatnya KRT Wiroguna dengan Sultan, sewaktu meninggal tahun 1938, Sultan berucap bahwa ia telah kehilangan bahu kirinya.

Notasi Andha

Saat menjabat di sekolah tari Krida Beksa Wirama, KRT Wiroguno dititahkan untuk mendokumentasikan gending-gending gagrak Ngayogyakarta. Untuk keperluan itulah beliau menciptakan sistem notasi khusus, yaitu notasi andha. Notasi ini menyerupai notasi musik barat, namun terlihat seperti andha atau tangga, dibaca dari bawah ke atas, kiri ke kanan. Proyek ini memang belum sepenuhnya tuntas, namun sebagian besar gending Slendro dan Pelog berhasil tercatat dengan baik dalam ribuan lembar kertas yang memenuhi tujuh lemari besar. Sebagian kecil partitur notasi andha ini bahkan tersimpan di luar negeri seperti di jurusan etnomusikologi University of California dan Leiden University.

KRT Wiroguno sendiri menciptakan gending-gending penting yang masih terlantun hingga sekarang, seperti Prabu Mataram dan Raja Manggala untuk mengiringi miyos (kehadiran) Sultan, juga Tedhak Saking dan Sri Kondur untuk mengiringi jengkar (kembalinya) Sultan ke dalam Kedhaton. Selain itu, ia juga diperintah menulis gending dakwah untuk Sekaten sebagai tambahan empat gending yang sudah ada dan ia beri judul Gending SalatunSahadatunSupiyatun, dan Ngayatun.

Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memang diwarnai dengan perkembangan pemikiran progresif termasuk dalam berkesenian. Sebagai direktur karawitan, tugas KRT Wiroguno sangat berat, namun diimbangi dengan gaji sangat besar. Ia memiliki mobil, kereta beserta kudanya, hingga sopir dan sais sendiri. Ia bersama keluarga besarnya menempati area tinggal sangat luas yang kini disebut Dalem Kaneman.

 

Krt Wiroguno Memerankan Adipati Sindhura Dalam Langendriya Tahun 1906
KRT Wiroguno memerankan Adipati Sindhura dalam Langendriya tahun 1906

Perancang Busana Langendriya

Sebagai seniman, KRT Wiroguno memiliki banyak bakat. Rancang busana untuk drama tari Langendriya merupakan salah satu mahakaryanya. Ia membuat keseluruhan kostum termasuk aksesorinya, dari kepala hingga kaki. Motif bordirannya pun ia pilih sendiri. Dari semua proses perancangan ini, semua arsipnya masih tersimpan rapi, termasuk nota-nota pembelian dari Toko Van Arcken & Co., toko kelas satu yang menjual barang-barang bermutu tinggi di zaman itu. Di kemudian hari, rancangan ini digunakan sebagai busana Beksan Golek Menak ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988). Karya rancangan ini juga membawa KRT Wiroguno mendapat penghargaan oleh Menteri Pengajaran pada masa itu.

Kini, dokumentasi peninggalannya menjadi sumber pengetahuan tak ternilai. “Pendokumentasian gending gagrak Ngayogyakarta dibuat sampai detail. Kalau gamelan Jawa itu punya dua puluh instrumen maka arsip itu menyimpan cara memainkan ke dua puluh instrumen itu secara standar. Beliau juga menciptakan teori penciptaan instrumen melalui gambar-gambar dengan ukuran yang spesifik,” tutur RM Pramutama, cucu KRT Wiroguno yang mendirikan Center of Arts Archives and Documents Studies KRT.Wiroguno pada tahun 2006.

KRT Wiroguno telah wafat dan disemayamkan di makam raja-raja Imogiri pada 1937, namun karya beliau masih terus hidup dan akan berkembang hingga masa mendatang.