Pedoman Transliterasi Aksara Jawa Latin

Babak baru aksara Jawa dimulai ketika aksara tersebut mendapat tempat di Konsorsium Unicode (Unicode Consortium), korporasi nirlaba yang membuat serta menjaga standar internasional khusus teks pada produk-produk peranti lunak. Setelah diajukan melalui proposal pada 2005, aksara Jawa akhirnya resmi mendapat slot di tabel unicode pada 1 Oktober 2009. Sejak itu, aksara Jawa secara resmi masuk ke dunia digital.

Perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft dan Google pun kemudian menerbitkan jenis huruf (font) aksara Jawa, tetapi ini hanya salah satu implikasi. Hal paling mendasar adalah unicode aksara Jawa membuka ruang tata cara penulisan yang lebih adaptif terhadap teknologi. Contoh paling mencolok yaitu dimungkinkannya menulis aksara tumpuk tiga, sesuatu yang sulit difasilitasi teknologi era cetak maupun mesin tik.

Sejarah Pembakuan Penulisan Aksara Jawa

Pedoman penulisan aksara Jawa pertama kali dibahas pada kongres di Surakarta 1922. Kongres merancang rumusan pedoman penulisan, tetapi standardisasinya baru muncul 1924. Pada Juni 1925, melalui majalah Pusaka Jawi, Mas Sastrawirya (pengelola majalah Pusaka Jawi) mempublikasikan pedoman standardisasi hasil kongres tersebut dengan tajuk Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran Marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922". Bersama dengan terbitnya panduan penulisan Bahasa Jawa dalam aksara Jawa ini diterbitkan juga panduan “Patokan Bab Penoelise Basa Djawa nganggo Sastra Latin".

Pedoman ini kemudian dimuat juga dalam buku tata Bahasa Jawa dengan judul "Karti Basa", yang diterbitkan oleh Kementrian Pengajaran, Pendidikan dan Keboedajaan (1946). Pedoman penulisan Bahasa Jawa dengan huruf Latin ini dimuat pada halaman 259 sampai 270. 

Tahun 1955, panduan penulisan ini diterbitkan terpisah dengan judul “Tatanan Njerat Basa Djawi” oleh Tjabang Bagian Bahasa DJawatan Kebudajaan Kementrian PP dan K Jogjakarta. Kala itu penulisannya disesuaikan dengan ejaan Suwandi. Selanjutnya, pada 1974, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 070/U/1974, terbitlah “Pedoman Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan”. Namun pedoman ini dinilai kurang lengkap sehingga dilakukan penyempurnaan dan hasilnya diterbitkan sebagai lampiran dalam buku “Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa”.

Pada 1991, edisi perbaikan itu terbit terpisah dengan judul “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan”. Pedoman penulisan ini disosialisasikan pada Kongres Bahasa Jawa I di Semarang. Ternyata pedoman tersebut masih belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan beberapa masalah, di antaranya, masih terjadi kesalahan penulisan dalam media cetak. Ada pula beberapa kaidah yang belum dirumuskan, termasuk yang muncul seiring perkembangan Bahasa Jawa yang mengikuti perubahan sosio-kultural masyarakat. Dengan pertimbangan ini, Balai Bahasa Yogyakarta merevisi ulang pedoman tersebut dan menerbitkan hasil revisinya dalam “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin” (2006). 

Hingga 2020, tidak ada lagi bahasan yang sifatnya mendasar terkait kaidah penulisan Bahasa Jawa dalam huruf Latin. Padahal, pedoman tersebut masih menyisakan permasalahan yang efeknya cukup esensial. Ambiguitas penggunaan ‘a’ untuk kata ‘tapé’ dan kata ‘rajabrana’ misalnya, memunculkan kebingungan. Sebagian besar generasi sekarang keliru menuliskan huruf ‘o’ alih-alih ‘a’ pada kata yang pengucapannya memang lebih dekat ke bunyi ‘o’ daripada bunyi ‘a’ seperti dalam kata ‘rajabrana’ tadi. 

Dalam penelitian di Semarang (2015) yang melibatkan 175 korespoden dengan sebaran terbesar usia 31-40 tahun dan pendidikan SLTA sampai S3, ditemukan bahwa 93,2% responden menjawab salah untuk penulisan kata "apa", dan 100% responden salah menuliskan kata "thukul". Kondisi ini tentu memprihatinkan.

Temuan lain juga muncul dalam kajian media. Banyak baliho dan poster cetak maupun digital salah menuliskan kosakata Jawa dalam huruf Latin. Bahkan, media besar seperti “Kompas” pun memuat ejaan yang salah, seperti ‘wong Jawa’ yang dituliskan ‘wong Jowo’. Masalah-masalah ini muncul salah satunya karena pedoman penulisan Bahasa Jawa dalam huruf Latin masih amat terbatas. Yang terjadi adalah kosakata Bahasa Jawa ditulis dengan pola logika huruf Latin, padahal Bahasa Jawa memiliki sistem bunyi dan penulisan berbeda untuk tiap aksaranya, sebagaimana halnya Bahasa Sanskerta. Namun, ini bisa dipahami mengingat keterbatasan pada masa lalu saat mesin cetak maupun mesin tik belum secanggih sekarang. 

Buku Jgst

Lahirnya JGST (Javanese General System of Transliteration)

Salah satu bahasa atau aksara yang sudah memiliki standar pelatinan baku yang diakui dunia adalah Sanskerta. Maka tidak berlebihan kiranya aksara dan Bahasa Jawa perlu memiliki sistem transliterasinya sendiri. Atas pertimbangan inilah, topik tersebut diangkat dalam Kongres Aksara Jawa I yang diadakan di Yogyakarta. Kongres yang diadakan 22 Maret 2020 - 26 Maret 2020 tersebut diprakarsai oleh Keraton Yogyakarta, dengan KPH Notonegoro sebagai motor penggeraknya, dan diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Yogyakarta. Kongres ini terdiri dari empat komisi. Komisi I membahas standardisasi transliterasi, Komisi II membahas pedoman penulisan aksara Jawa, Komisi III menetapkan standardisasi tata letak papan tombol aksara Jawa, sedangkan Komisi IV merumuskan kebijakan-kebijakan di bidang birokrasi, publik dan akademik.

Dari Komisi I lahirlah gagasan sekaligus keputusan mengenai sistem transliterasi aksara Jawa-Latin yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul "Sistem Transliterasi Aksara Jawa Latin - Javanese General System of Transliteration (JGST)". Sistem ini yang diharapkan menjadi standar pelatinan bahasa dan aksara Jawa. Dalam kajiannya, Komisi I melihat secara detail pelatinan aksara Jawa dan memberikan transliterasi yang sesuai dengan karakter aksara Jawa. Penyusunan standardisasi tersebut didasarkan pada metode pelatinan IAST (International Alphabet of Sanskrit Transliteration), OJED (Old Javanese Dictionary), tabel unicode aksara Jawa, dan diberi tambahan beberapa karakter sebagai penyempurna.

Dengan sistem JGST ini, tiap huruf dalam aksara Jawa memiliki wakilnya sendiri dalam huruf Latin. Aksara Jawa termasuk dalam karakter aksara Abugida, seperti halnya aksara Dewanagari. Ada perbedaan antara aksara yang letup tak bersuara, letup bersuara, dan aksara berbunyi sengau. Aksara yang termasuk kategori letup tak bersuara terdiri dari aksara dengan bunyi tak berembus dan berembus. Demikian juga untuk aksara yang berbunyi letup bersuara.

 
 
 

Daftar Pustaka

Asmara, Rangga. 2017. Analisis Kontrastif Kesalahan Penulisan Bahasa Jawa dalam Ortografi Latin sebagai Wahana Konservasi Bahasa Jawa. Prosiding Conference of Language and Language Teaching Universitas Tidar, Magelang. Hal 395-400.

Balai Bahasa Yogyakarta. 2006. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan. Yogyakarta: Kanisius.

Darusuprapta, dkk. 1995. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 

Dinas Kebudayaan DIY. 2020. Sistem Transliterasi Aksara Jawa Latin Javanese General System of Transliteration (JGST). Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.

Padmosoekotjo, S. 1987. Gegaran Sinau Basa Jawa, Memetri Basa Jawi. Surabaya: Citra Jaya Murti.

Purwanto, Sugeng. 2015. Ejaan Latin Bahasa Jawa Memprihatinkan, Mana Jati Diri Orang Jawa?. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu dan Call For Papers UNISBANK, Semarang.

Subroto, D. Edi., dkk. 1991. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wardono, dkk. 1975. Nyerat Jawi. Surabaya: YP Jaya Baya.

Widayat, Afendy. 2003. Nyerat Aksara Jawi. Makalah, Penataran Pelatihan Bahasa Jawa bagi Guru SD di Dinas Pendidikan Kecamatan Tepus, Gunungkidul, DIY.