MW Jaga Waluyo, Juru Kunci Makam Imogiri: Setia Merawat Jejak Raja-Raja Mataram

Pajimatan Imogiri merupakan kompleks makam terbesar raja-raja Mataram Islam di Yogyakarta. Terletak di Bukit Merak di Kapanewon (kecamatan) Imogiri, Kabupaten Bantul, makam ini menjadi persemayaman terakhir 24 raja Mataram dari masa sebelum Perjanjian Giyanti, hingga raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, serta kerabat dan pengikutnya.
Secara administratif, makam atau Puralaya ini (khususnya kompleks timur) berada di bawah pengelolaan Kawedanan Sri Wandawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam keseharian, kurang lebih 100 Abdi Dalem bekerja untuk menjaga dan mengelola kegiatan di situs bersejarah ini.
Lebih dari tiga dasawarsa Mas Wedana Jaga Waluyo (nama asli Mujiono) membaktikan diri di makam ini, mengikuti jejak kakek dan ayahnya yang semasa hidup juga menjadi Abdi Dalem Juru Kunci Imogiri.
Berbagi Tugas
Para juru kunci di Makam Imogiri terbagi dalam beberapa golongan berdasarkan tugas mereka, di antaranya tungguk yang bertugas membersihkan cungkup serta nisan dan prabot yang bertugas membersihkan area depan makam. Selain menjaga kebersihan makam, mereka juga memimpin pembacaan doa serta mempersembahkan bunga pada hari-hari tertentu.
Ada pula rois yang menjabat sebagai pimpinan di tiap kedhaton. Kedhaton di sini merupakan ruang pemakaman bagi para raja dan keluarganya. Setiap kedhaton memiliki serangkaian halaman yang dilingkupi dinding cepuri serta serangkaian gerbang. Ada delapan kedhaton di Makam Imogiri, yaitu Kasultanagungan, Pakubuwanan, Bagusan/Kasuwargan Surakarta, Kasuwargan Yogyakarta, Besiyaran Yogyakarta, Girimulya Surakarta, Saptorenggan Yogyakarta, dan Astana Luhur. Kedhaton Kasultanagungan dinamai berdasarkan salah satu raja yang dimakamkan di area tersebut, yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau adalah raja Mataram ketiga dan merupakan raja pertama yang dimakamkan di Pajimatan Imogiri.
Setiap Senin dan Jumat, ada tugas rutin Abdi Dalem juru kunci yang disebut patuh. “Patuh itu ya ngasih bunga dan tahlil sebelum ngasih bunga itu,” jelas MW Jaga Waluyo. “(Kami) mengambil bunga di Bangsal Sinapit Urang, dibawa ke kedhaton masing-masing,” Ada Abdi Dalem lain yang khusus bertugas menyediakan bunga ini.
Bunga yang ditaburkan adalah bunga telasih (Ocimum basilicum), bunga kecil kebiruan yang berasal dari tumbuhan semak yang sengaja ditanam di sebidang lahan di wilayah tersebut. Bunga ini, menurut MW Jaga Waluyo, memiliki makna tilase isih –jejaknya masih tertinggal–.
Setiap pagi, para Abdi Dalem Puralaya Imogiri membersihkan makam sesuai area masing-masing. “Ada yang di bawah sana, ada yang di undak-undakan,” jelas MW Jaga Waluyo. Mereka biasanya mulai bekerja pukul tujuh sebelum para peziarah diperkenankan memasuki kedhaton pada pukul 10.00 WIB. “Kalau ada tamu atau ada orang mau ikut ziarah, ya silakan.” Jika tidak ada tamu, Abdi Dalem tetap berdoa dan menabur bunga.
Selain melaksanakan tugas harian, mereka wajib piket delapan hari sekali di pecaosan yang terletak di bawah Kedhaton Kasultanagungan.
Ada pula kegiatan-kegiatan tahunan, seperti Kuthomoro pada bulan Ruwah (Syaban) dan nguras enceh pada hari Jumat Kliwon di bulan Sura (Muharam). Nguras enceh atau membersihkan tempayan merupakan acara yang diadakan oleh Kapanewon Imogiri. Sehari sebelum upacara, siwur (gayung dari batok kelapa) yang akan digunakan untuk menguras enceh itu dikirabkan dari Kantor Kapanewon Imogiri hingga terminal bus Imogiri yang terletak di kaki bukit. Kirab ini biasanya diiringi dengan arak-arakan dan pertunjukan kesenian setempat.
Pengabdian Melintas Zaman
Melewati sekian dekade dalam pengabdian, MW Jaga Waluyo tak melihat perbedaan besar terkait tugasnya. Beberapa perbedaan yang ia rasakan terutama terkait dengan urusan administratif, seperti kenaikan pangkat yang lebih mudah dan teratur. Anggaran operasional juga lebih besar berkat adanya Dana Keistimewaan. Namun, pelaksanaan upacara serta tata cara perawatan makam tidak mengalami pergeseran.
Selain itu, kini jam buka untuk umum ditambah. “Makam Imogiri dibuka dulu cuma Senin dan Jumat, tetapi setelah Sri Sultan HB IX wafat ditambah hari Minggu. Minggu dan Senin dibuka mulai jam 10:00-13:00 WIB. Kalau Jumat jam 13:00-16:00 WIB,” terang MW Jaga Waluyo.
Makam Imogiri adalah makan raja-raja Mataram Islam yang selalu dikunjungi oleh para peziarah yang berasal dari berbagai kalangan suku dan agama. Tradisi dan tata tertib mewajibkan para peziarah mengenakan pakaian adat Jawa. “Tidak membedakan pejabat atau rakyat jelata, semuanya berpakaian sama,” lanjutnya.
Sesuai Keyakinan
Sebelum diangkat menjadi Abdi Dalem, MW Jaga Waluyo menjalani masa magang yang cukup lama, kurang lebih sepuluh tahun. “Saya diangkat sebagai Abdi Dalem tahun 1995. Itu sebagai Abdi Dalem (saya mendapat nama) Jaga Reksa Sutapa.”
Reksa Sutapa merupakan nama yang dulu disandang oleh kakek dan ayahnya. “Waktu saya masih muda, saya sudah sering ikut Simbah. Setelah Bapak meninggal ganti saya (yang menyandang nama) Reksa Sutapa.”
Pada awal mengabdi MW Jaga Waluyo bertugas di tepas (kantor) Kabupaten Puralaya sebagai penjaga keamanan dan petugas kebersihan. Lima tahun kemudian, ia ditugaskan di Kedhaton Kasuwargan Yogyakarta dan dianugerahi nama baru Jaga Waluyo. Sejak 2013, ia bertugas di Kedhaton Kasultanagungan hingga sekarang.
“Di tepas (saya) bertugas seminggu sekali dan berjaga. Juga tidur sana setiap hari Rabu atau Kamis, tergantung (jadwal) tugasnya. Juga bersih-bersih.”
Selain terinspirasi dari ayah dan kakeknya, Jaga Waluyo mantap mengabdi karena ia menganggap tugasnya sejalan dengan agama yang dianutnya. “Di desa saya, ada tahlilan, ada salawatan, mujahadahan. Di Makam Imogiri setiap ada kegiatan, misalnya mau bangun apa, atau nyadran, atau upacara nguras enceh, itu ada tahlilan. Ada kesamaan. Dalam agama saya kan tahlilan itu bagus.”
Sewaktu muda, MW Jaga Waluyo bekerja sebagai tukang bangunan. Kini, pekerjaan itu sudah terlalu berat untuknya. Meski tidak memiliki hobi tertentu, ia tak berdiam diri. Ia menanam padi, kacang hijau, dan kacang panjang di sawah serta mengurus kebun.
Ia juga rutin berziarah ke berbagai tempat bersejarah bersama jemaah yang ia ikuti hingga ke Cirebon dan Madura.
Bertemu Pejabat
Di usia senjanya, MW Jaga Waluyo tak lagi memiliki keinginan khusus, “Tinggal apa saja yang dijalani. Terserah yang di atas.” Dua anaknya, laki-laki dan perempuan, sudah dewasa dan mandiri. Istrinya seorang pembatik dan masih bekerja hingga sekarang. Sebagian desa di Kecamatan Imogiri memang merupakan sentra kerajinan batik.
MW Jaga Waluyo menuturkan salah satu hikmah yang ia dapatkan dari posisinya sebagai Abdi Dalem adalah pelajaran unggah-ungguh atau suba-sita, seperti bersikap sopan dan tenang. “Masa pakai pakaian ini (busana Abdi Dalem) mau teriak-teriak? Kan, ya nggak pantas.”
Ketenangan hati adalah hikmah lain yang ia rasakan. Ia membagi waktu dengan baik antara kewajiban terhadap keraton serta kegiatan pribadi. Dalam istilahnya ia bekerja sak madya, secukupnya dan sewajarnya. Rumahnya berjarak sekitar satu kilometer dari pajimatan. Dulu ia biasa berangkat ke pajimatan dengan jalan kaki. Namun, sekarang ia mengendarai motor.
Tugasnya sebagai juru kunci mendatangkan kebanggaan tersendiri. “Makam Imogiri ini adalah makam raja agung yang diziarahi siapa pun, dari kalangan apa pun, termasuk pejabat. Bagi saya itu suatu kebanggaan. Saya bisa bertemu pejabat. Mau ziarah kan sebelumnya berdoa. Saya duduk berdampingan dengan pejabat, doa bersama-sama, itu kebanggaan bagi saya. Walaupun saya orang bodoh yang tidak berpendidikan. Kalau tidak jadi Abdi Dalem rasanya sulit untuk bertemu pejabat,” tuturnya.
Beberapa pejabat yang pernah ditemui oleh MW Jaga Waluyo adalah Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke 4 Abdurahhman Wahid atau Gus Dur, dan Presiden Prabowo Subianto.
POPULAR EVENTS
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas