MRy Parang Pertomo, Juru Kunci Pasiraman Parangwedang: Menjaga Pesanggrahan, Sastra, dan Seni

Pasiraman Parangwedang terletak di Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul, tepatnya di sebelah barat Pesanggrahan Parangtritis, di kaki Bukit Sentana. Pemandian milik Keraton Yogyakarta ini memiliki sumber air panas alami yang dapat dimanfaatkan warga untuk tujuan wisata maupun kesehatan.
Mas Riya Parang Pertomo telah mengabdikan diri sebagai juru kunci di pesanggrahan tersebut lebih dari empat dasawarsa. Ia merupakan warga setempat yang lahir dan tumbuh di sana. Oleh orang tuanya ia diberi nama Suraji karena lahir pada malam Sura tanggal siji (satu), pada tahun 1959.
Semasa hidup, ayah Suraji bertugas sebagai Abdi Dalem juru kunci di pesanggrahan yang sama. Suraji kecil sering mengekor ayahnya ke mana-mana sehingga ia mendapat banyak ilmu dari orang tuanya itu. Ia ingat ayahnya kerap melayani Sri Sultan Hamengku Buwono IX apabila Raja Yogyakarta tersebut menghendaki tirakat di Parangwedang. “Beliau mendiang (Sri Sultan HB IX) suka berendam di situ. Ada ruang satu khusus yang sekarang tidak boleh dibuka, khusus (untuk) beliau. Terakhir kali (ruang itu) dipakai, seingat saya, setelah beliau sakit, sekitar tahun 1980-an,” tuturnya.
Keinginan Suraji untuk mengabdikan diri ke keraton tumbuh makin kuat. “Saya sering melihat dan tertarik, oh, Bapak saya jadi Abdi Dalem seperti itu. Sangat sopan santun.” Beberapa saat kemudian ia meminta agar diajak magang menjadi Abdi Dalem. Pada 1979, ia mulai magang di Pecaosan Parangwedang dengan pangkat terendah, yaitu jajar. Setiap enam tahun, ia mendapat kenaikan pangkat berkala hingga kini telah mencapai pangkat riya.
Selain kagum pada kehalusan tata krama Abdi Dalem, Suraji juga terpesona pada banyaknya kosakata sastra Jawa yang dalam pandangannya luar biasa. “Saya merasa tertarik untuk bisa menyerap piwulang-piwulang dari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,” akuinya.
Asal-Usul Parangwedang
Mas Riya Parang Pertomo menuturkan, berdasarkan cerita tutur tinular, Pemandian Parangwedang dulunya merupakan area persawahan. “Pada saat itu para petani tidak berhasil bercocok tanam karena di sawah-sawah ini muncul sumber (mata air).” Seseorang kemudian menyarankan untuk menggali satu titik yang dalam untuk mengumpulkan air. Seiring waktu dibangunlah satu kolam besar untuk menampung panas air tersebut. Setelah hal ini dilakukan, sawah di sekitarnya bisa digarap kembali karena tak lagi tergenang. Tempat tersebut lalu dinamakan Parangwedang. Parang dalam bahasa Jawa berarti batu karang dan wedang berarti air panas.
Hermanu dalam bukunya yang berjudul Pasanggrahan Parangrtitis 1933-2011 menuliskan, semasa Sultan Hamengku Buwono VI (1855 – 1877), kolam tersebut mulai diperhatikan. Tepiannya diperkuat dengan batu bata dan dipoles dengan lumpur. Dilengkapi pula dengan atap dan dinding tembok. Tahun 1900, Sultan Hamengku Buwono VII memerintahkan pembangunan yang terhitung besar-besaran pada masa itu. Dibuatlah kamar mandi-kamar mandi di sekitar kolam serta sebuah pendopo. Kini, masyarakat dapat mengunjungi pemandian ini 24 jam sehari, tujuh hari seminggu.
Menjaga Pesanggrahan Raja
Dalam struktur pemerintahan Keraton Yogyakarta, Abdi Dalem Pesanggrahan berada di bawah Reh Kawedanan Sasana Pura. Saat ini, terdapat sembilan orang Abdi Dalem yang bergiliran menjaga Pasiraman Parangwedang dan melayani pengunjung. Setiap orang mendapat tugas jaga satu minggu sekali selama dua puluh empat jam. Sebulan sekali mereka sowan ke keraton untuk mengurus administrasi.
Tugas utama mereka adalah membersihkan serta merawat fasilitas dan melayani pengunjung. Setiap juru kunci bisa memimpin doa dan siap melakukannya apabila ada pengunjung yang butuh pendampingan. Selain itu, ada pula kewajiban untuk menyiapkan sesaji setiap Selasa Kliwon. Setiap hari Selasa, berdasarkan kesepakatan, mereka bergotong-royong bersih-bersih serta memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Bila ada kerusakan yang berat, Mas Riya Parang Pertomo sebagai Abdi Dalem yang dituakan akan melaporkannya ke Kawedanan Sasana Pura dan memohon tindak lanjut.
Terkait tantangan dalam melaksanakan tugas, Mas Riya Parang Pertomo menyebutkan terkadang ada pengunjung yang sulit diberi pemahaman untuk menjaga diri. Karena air di Parangwedang panas dan mengandung belerang, sementara ventilasi kurang memadai, dikhawatirkan pengunjung yang sedang tidak fit akan pingsan ketika menghirup gas belerang. Para juru kunci berusaha menjelaskan, tetapi segelintir pengunjung yang tidak memahami hal ini kadang merasa dipersulit. “Sebetulnya (kami) khawatir saja. Kalau pas ada pengunjung yang mandi atau berendam vitalitasnya atau kesehatannya itu kurang pasti pingsan, walaupun kami sudah terbiasa untuk mengatasi dengan pertolongan pertamanya.”
Pecinta Seni
Sehari-hari Mas Riya Parang Pertomo bertani di lahan yang ia miliki. Bapak enam anak ini juga sangat mencintai seni. “Terkait dengan dunia seni; seni lukis, seni tari, pakeliran, ketoprak, sampai musik, olah vokal semuanya saya senang, saya suka, dan saya bisa.” Namun, ia paling mencintai dunia pakeliran atau wayang kulit. Ia mendapati cerita-cerita wayang sarat ilmu dan hikmah. “Maka dari itu, saya memperdalam pedalangan. Saya ndherek sekolah pawiyatan di Habirandha, Keraton Yogyakarta,” ujarnya. Mas Riya Parang Pertomo masuk sekolah pedalangan tersebut pada 1978, tetapi karena pada waktu itu ia belum punya sepeda motor, ia mesti pulang pergi Kota Yogyakarta – Parangtritis (sekitar 30 km) hanya dengan sepeda ontel. Kerepotan ini membuatnya berhenti setelah satu setengah tahun belajar di sana tanpa sempat lulus.
Dengan rendah hati ia mengatakan kegiatannya tersebut (dalang) sebagai klangenan (hobi) saja. Baru-baru ini ia juga terlibat sebagai aktor dalam film dokumenter independen mengenai sejarah Kerajaan Mataram yang digarap oleh warga Jerman.
Mas Riya Parang Pertomo, seperti kebanyakan penduduk desa pada zaman itu, tidak mendapatkan pendidikan formal yang memadai. Namun ia berupaya belajar sebanyak-banyaknya di luar sekolah agar tetap bisa mengimbangi zaman.
Pawiyatan yang Berkesan
Meski nyaris seluruh pengabdiannya berpusat di Parangwedang, pengalaman paling berkesan bagi Mas Riya Parang Pertomo adalah pawiyatan yang ia dapatkan di dalam istana. Pawiyatan tersebut merupakan pelatihan yang wajib diikuti semua Abdi Dalem. Dalam pawiyatan itu ia mendapatkan pengetahuan mengenai kosakata bahasa sastra Jawa yang belum ia ketahui makna serta penggunaannya. “Yang tadinya belum tahu, sekarang tahu. Dan (yang) kemarin dulu saya ingin masuk keraton sulit sekali, sekarang bolak-balik masuk. Pengetahuan-pengetahuan yang saya serap dari dalam keraton ini sangat melengkapi dan mendewasakan saya jadi Abdi Dalem.”
MRy Parang Pertomo menyatakan menjadi Abdi Dalem membuatnya menjadi manusia yang lebih baik, di antaranya dalam hal tata krama. “(Secara) lahiriah, tata krama sudah berbeda, lebih mengarah. Secara batiniah (saya) sangat sangat meyakini ndherek Ngarsa Dalem itu lebih tentrem.”
Dua orang anak laki-lakinya kini mengikuti jejaknya menjadi Abdi Dalem reh-rehan Parangwedang-Parangtritis.
“Saya sebagai warga Yogyakarta mengajak khususnya para generasi penerus, mari kita tanamkan, kita pupuk, dan kita lestarikan (budaya Jawa). Ia menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki budaya adi luhung. Sudah seharusnya semangat memelihara budaya tertanam dalam hati generasi penerus.
POPULAR EVENTS
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas