Beksan Trunajaya: Warisan Nilai Luhur Kesetiaan dan Keberanian Prajurit Keraton Yogyakarta
- 24-10-2025
Rabu sore (22/10), Keraton Yogyakarta kembali mempersembahkan karya agung warisan leluhur melalui pementasan Beksan Trunajaya, sebuah rangkaian tarian pusaka yang merepresentasikan perjalanan spiritual dan fisik prajurit Mataram dalam mengolah rasa, cipta, dan karsa. Pergelaran megah ini menampilkan tiga tarian klasik: Beksan Lawung Alit, Beksan Lawung Ageng, dan Beksan Sekar Medura.
Ketiga beksan dalam rangkaian Trunajaya bukan hanya menampilan keindahan gerakan, namun juga mengandung nilai-nilai semangat keprajuritan, seperti kesetiaan, ketangkasan, keberanian, pengendalian diri, dan nilai-nilai ksatria Jawa.

“Menurut saya pribadi, Beksan Trunajaya ini masuk ke dalam tari heroik yang dapat diambil spiritnya,” ujar RB Kumudhomatoyo, selaku pimpinan produksi Beksan Trunajaya 2025.
Beksan Trunajaya terpilih menjadi pertunjukan yang dibawakan dalam rangka Tingalan Dalem Taun atau ulang tahun ke-82 Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 dalam tahun Jawa. “Diakhir repertoar memang ada semacam Unjuk Donga, jadi nantinya akan ada doa yang diamini bersama-sama dengan ungkapan los. Unjuk Donga itu ada tersurat dalam naskah Beksan Trunajaya,” jelas RB Kumudhomatoyo. Beksan Trunajaya merupakan rangkaian tiga tarian pusaka yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755–1792). Terinspirasi dari watangan, latihan ketangkasan berkuda dan bermain tombak di kalangan prajurit. Nama “Trunajaya” diambil dari pahlawan asal Madura yang dengan gagah berani menentang kolonialisme Belanda pada masa Amangkurat I.

RB Kumudhomatoyo menambahkan jika penari Beksan Trunajaya sebelumnya telah melewati proses yang panjang, dengan mengikuti pelatihan di kompleks TNI AU selama 5 hari. Mereka fokus berlatih fisik dan kekompakan. “Jadi teman-teman semua itu memang dibentuk jiwa korpsnya. Kita ikut rangkaian metode latihan di sana, ada fisik, mental terus kerja sama tim dan penyeragaman gerak,” ungkap RB Kumudhomatoyo. Selain melewati pelatihan tersebut, para penari tersebut memiliki jadwal rutin setiap selapanan sekali (35 hari sekali) atau bertepatan dengan malam Rabu Pon. Total pendukung keseluruhan dalam rangkaian Beksan Trunajaya berjumlah 255 orang.
Pada 2025 ini merupakan pementasan kedua dari Beksan Trunajaya yang menampilkan seluruh repertoar secara utuh, setelah sebelumnya juga ditampilkan pada tahun 2024. RB Kumudhomatoyo menjelaskan jika pementasan Beksan Trunajaya tahun ini sedikit berbeda dengan tahun lalu, “Kalau yang dulu parogo beksa (para penari) tidak disimping atau didudukan di atas panggung dan harus bergantian naik ke panggung. Kalau sekarang kan dijejer kayak wayang itu.”

Beksan Lawung Alit: Kelembutan yang Menyembunyikan Kekuatan
Dikenal juga dengan sebutan Lawung Alus, Beksan Lawung Alit menampilkan versi halus dari latihan perang prajurit. Tarian dibawakan oleh 8 penari sebagai jajar dan 4 orang sebagai lurah. Selain penari utama, terdapat pengampil yang bertugas membawakan tombak berjumlah 8 penari. Tarian ini mengedepankan ketenangan dalam menghadapi pertarungan. Iringan Gendhing Harjuna Mangsah dan Harjuna Asmara menghadirkan suasana sakral yang mempertemukan estetika dan etika prajurit keraton.
Beksan Lawung Ageng: Ketangkasan Prajurit di Medan Perang
Beksan Lawung Ageng menggambarkan suasana latihan perang prajurit bertombak dalam suasana heroik dan patriotik. Secara khusus, rangkaian tarian ini diiringi gamelan Kiai Guntur Sari dengan Gendhing Gangsaran, Roning Tawang, dan Bimakurda. Gerakannya yang gagah, ritmis, dan tegas mencerminkan filosofi bahwa keberanian tidak terletak pada amarah, melainkan pada kendali diri dan kedisiplinan.
Beksan ini dibawakan oleh 16 penari yang berperan sebagai jajar dan lurah gagah yang berjumlah 8 penari. Sama dengan Beksan Lawung Alit yang memerankan pengampil, Beksan Lawung Ageng juga memiliki pengampil yang berjumlah 16 penari.
Beksan Lawung Ageng kali ini semakin meriah dengan kehadiran penonton yang ikut bersorak-sorak, ketika penari sedang bertarung. Mereka bersama-sama mengibaskan sapu tangan atau kipas berwarna merah dan biru yang memiliki arti dukungan untuk salah satu pihak dalam cerita tarian.

Beksan Sekar Medura: Euforia dan Persaudaraan Usai Perang
Sebagai penutup, Beksan Sekar Medura yang juga dikenal sebagai Beksan Gendul menggambarkan suasana bersuka cita bersulang setelah kemenangan perang. Delapan penari membawakan dua repertoar dengan dua gaya tari yakni 4 penari gagah dan 4 penari alus. Tarian ini melambangkan rasa syukur, kebersamaan, dan perayaan semangat hidup. Pada penampilannya 2025 ini, Beksan Sekar Medura secara langsung melibatkan Ingkang Sinuwun dan seluruh tamu yang hadir untuk bersama-sama bersulang dan memanjatkan doa.
Menjaga Api Tradisi di Tengah Zaman Modern
Beksan Trunajaya yang diselenggarakan di Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran ini merupakan momentum berharga bagi masyarakat umum untuk secara langsung menyaksikan keagungan warisan budaya Mataram. Kurang lebih 1.000 masyarakat telah hadir menyaksikan secara langsung perpaduan harmoni gamelan, busana agung, serta gerak tari yang telah lestari lebih dari dua abad lamanya. Sebelumnya, Keraton Yogyakarta telah membuka reservasi tiket dengan jumlah 1.000 kuota penonton.
PIC Rangkaian Kirab Trunajaya MB Renggowaditra menjelaskan jika KPH Notonegoro menghendaki agar penonton yang hadir di Bangsal Pagelaran dilibatkan agar suasana tarian menjadi lebih meriah. “Untuk mendukung hal tersebut kita sudah siapkan beberapa item seperti kipas dan wedang secang agar temen-temen yang menyaksikan bisa ikut serta,” jelas MB Renggowaditra.
Salah satu penonton yang berasal dari Jogja, Mamat (25 tahun) menyampaikan rasa senangnya atas pementasan Beksan Trunajaya. Hal ini karena mendorong anak-anak muda untuk lebih menyukai seni dan tradisi. “Perasaan saya dengan adanya pementasan ini senang, karena saat ini kan jarang anak-anak muda yang suka seni dan tradisi,” tuturnya.
Selain penonton domestik, Beksan Trunajaya juga diminati oleh wisatawan mancanegara. Makiho (26 tahun, Jepang) sangat menikmati penampilan pertunjukan ini secara langung. Sebelumnya ia hanya bisa menonton melalui YouTube dan pada kesempatan ini bisa hadir menyaksikan langsung. “Sebenarnya saya dulu pernah lihat pentas Wayang Wong dan Uyon-Uyon lewat live streaming YouTube, tapi ini baru pertama kali menyaksikan Trunajaya. Jadi saya bisa menikmati rasa suasana Yogyakarta. Favorit saya selama pementasan adalah bagian alusan karena dia tenaganya kuat tapi gerakannya halus,” ungkap Makiho.

Pergelaran Beksan Trunajaya 2025 menjadi bentuk nyata upaya Keraton Yogyakarta melestarikan warisan seni klasik sekaligus menanamkan nilai luhur kepada generasi muda. Tidak hanya ajang apresiasi seni tari klasik, Beksan Trunajaya menyajikan sarana edukasi bagi generasi muda untuk memahami nilai-nilai luhur dari keprajuritan dan keindahan dalam estetika tari Jawa, serta semangat kebangsaan yang telah ditanamkan sejak lama oleh para leluhur.