Pengaruh Eropa dalam Musik Keraton Yogyakarta

Penggunaan Terompet sebagai Contoh Akulturasi Budaya Eropa

Persinggungan dengan budaya Eropa selama berabad-abad telah memberi pengaruh pada Keraton Yogyakarta. Tidak terkecuali pada bidang musik. Pengaruh ini tampak jelas pada musik prajurit, musik pengiring tarian, dan musik protokoler. Tangga nada pentatonik gamelan yang berlaras slendro dan pelog, bertemu dengan tangga nada diatonik yang berasal dari Eropa.

Masuknya Pengaruh Musik Eropa

Jejak musik Eropa telah dapat ditemui sejak berdirinya Keraton Yogyakarta. Sebagai hadiah atas lahirnya Kesultanan Yogyakarta, VOC memberikan sejumlah hadiah. Di antaranya adalah alat musik terompet.

Alat musik diatonik pada masa awal Kesultanan Yogyakarta tidak hanya berasal dari Belanda. Seorang Sultan Turki-Ottoman juga tercatat pernah memberikan hadiah berupa alat musik kepada keraton. Sayang tidak disebutkan alat musik apa yang dimaksud.

Namun dapat diketahui bahwa pada masa itu telah ada setidaknya tiga macam alat musik diatonik, yaitu terompet, suling dan tambur. Keberadaan alat musik tersebut diketahui berdasar catatan yang menyebutkan bahwa terdapat dua buah tambur yang diarak pada perayaan Garebeg pada tahun 1807. Juga berdasar keberadaan Abdi Dalem Tambur Suling Salompret pada tahun 1805.

Semenjak berakhirnya Perang Jawa (1825-1830), kekuatan militer dan kedaulatan politik Kesultanan Yogyakarta ditekan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855) mengimbangi tekanan ini dengan mengembangkan seni budaya. Karena terjadi persinggungan yang sangat erat antara pihak keraton dan Belanda, maka tidak mengherankan apabila perkembangan seni budaya keraton yang amat pesat saat itu menyerap banyak pengaruh dari budaya Belanda.

Hubungan dua budaya tersebut dapat dilihat antara lain dari Tedhak Loji. Acara Tedhak Loji adalah upacara saling berkunjung antara Sri Sultan dengan Residen Belanda. Tiap acara ini diselenggarakan, tentu saja ada protokoler yang dilakukan untuk menghormati tamu. Termasuk adanya pertunjukan tari dan musik. Tedhak Loji masih terus dilakukan sampai tahun 1941.

Akulturasi pada Musik Pengiring Tari

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono V ini pula muncul perpaduan antara gamelan keraton dengan alat musik Eropa. Perpaduan tersebut berupa penggunaan terompet dan genderang untuk mengiringi tarian bagian kapang-kapang pada tari Bedhaya dan SrimpiKapang-kapang adalah gerak berjalan maju yang digunakan ketika penari masuk dan keluar dari panggung.

Perpaduan antara gamelan dan alat musik Eropa tersebut dikerjakan oleh dua orang berkebangsaan Belanda, Van Gouth dan Smith. Keduanya bekerja atas dasar perintah dari Sri Sultan.

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII ( 1921-1939) kembali terjadi perkembangan pesat di bidang seni budaya. Sri Sultan melengkapi iringan kapang-kapang pada tari BedhayaSrimpi, dan Beksan Trunajaya dengan alat musik biola. Iringan tari pada masa ini menjadi lebih kaya dan lebih hidup.

 

Fb Ds C01773 Copy
Penggunaan Terompet oleh Bregada Prajurit

 

Akulturasi pada Musik Prajurit

Prajurit Keraton Yogyakarta memiliki berbagai macam gending (lagu). Tiap bregada (kesatuan) memiliki gendingnya masing-masing. Ditilik dari alat musik yang dipakai tampak bahwa gending-gending tersebut mendapat pengaruh dari Eropa. Alat musik Eropa yang dimainkan oleh prajurit keraton adalah tambur (drum), terompet (bugle), dan suling miring (side-blown flute). Tambur dan suling dimainkan oleh setiap bregada. Bahkan nama-nama gending yang ada juga nampak merupakan serapan dari bahasa Belanda, seperti Pandhenburg, Plangkenan, Mars Stok, dan Stopelen.

Gending-gending prajurit tersebut, walau dimainkan dengan alat musik diatonik namun tetap menyajikan melodi yang mirip dengan laras slendro gamelan Jawa. Nuansa slendro ini dihasilkan dari penggunaan nada pokok pada suling yang dimiliki oleh setiap bregada.

Orkes Musik Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta pernah memiliki orkes yang khusus memainkan lagu-lagu Eropa, termasuk lagu kebangsaan Belanda, Wilhemus. Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855), telah tercatat bahwa sering dilakukan acara dansa yang diiringi oleh musik Eropa. Namun catatan mengenai kesatuan khusus Abdi Dalem yang memainkan musik Eropa baru muncul pada era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kesatuan Abdi Dalem ini disebut Abdi Dalem Musikan, dikenal juga sebagai kanca musik atau kanca waditraya.

Abdi Dalem Musikan memiliki tugas untuk menyambut tamu-tamu kehormatan, juga untuk memainkan musik guna mengiringi acara-acara makan dan minum. Orkes milik keraton ini diberi nama Orcest Kraton Djogja. Anggota-anggotanya sebagian diambil dari Semarang dan Surakarta. Beberapa anggotanya berkebangsaan asing. Orkes ini bahkan sempat dipimpin dan dilatih oleh Walter Spies, seorang seniman berkebangsaan Jerman.

Abdi Dalem Musikan sudah dibubarkan antara tahun 1950-1960. Jejaknya masih dapat ditemui dari nama kampung di sebelah timur Pagelaran, Kampung Musikanan. Juga dari sebuah bangsal di Plataran Kedhaton yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Bangsal Mandalasana. Bangsal yang memiliki hiasan kaca patri bergambar alat-alat musik Eropa ini merupakan tempat Abdi Dalem Musikan bertugas. Para Abdi Dalem Musikan yang berhenti akhirnya menyebar mewarnai kehidupan musik Indonesia. Termasuk di antaranya menjadi pengajar Sekolah Musik Indonesia, cikal bakal SMK 2 Yogyakarta.

Menyatu dalam Cita Rasa Jawa

Pendekatan yang dipakai dalam perpaduan antara alat musik Eropa dan gamelan Jawa di Keraton Yogyakarta menyesuaikan dengan gamelan. Berbeda dari lazimnya musik Eropa yang dibunyikan lebih dari satu suara, alat musik diatonik yang dimainkan pada gending prajurit dan iringan tari dibunyikan secara unisono (satu macam suara). Tidak ada suara lain selain melodi pokok.

Saat ini keraton masih memadukan gamelan dengan musik diatonik. Terakhir kali, perpaduan ini disuguhkan pada pernikahan putri Sultan tahun 2013. Tangga nada pentatonik dan tangga nada diatonik memang berbeda, karena itu perpaduan ini mungkin terdengar asing bagi telinga yang terbiasa dengan standar musik Eropa. Namun bagi telinga orang Jawa, perpaduan ini menghadirkan rasa agung dan indah.

 

Iringan Kapang-kapang dalam Pementasan Bedhaya Arjuna Wiwaha


Daftar Pustaka:
Arsa Rintoko. 2016. Akulturasi Gending Keprajuritan keraton Yogyakarta. Skripsi. Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
RM Pramutomo. 2010. Tari, Seremonial, dan Politik Kolonial (II). Surakarta: ISI Press Solo
RM Surtihadi. 2008. Tan Thiam Kwie. Yogyakarta: Panta Rhei
RM. Surtihadi. 2014. Instrumen Musik Barat dan Gamelan Jawa dalam Iringan Tari Keraton Yogyakarta. Journal of Urban Society's Arts Volume 1 Nomor 1, April: 24-43
Tim Peneliti Akademi Musik Indonesia. 1982. Laporan Penelitian Musik Diatonik dalam Kraton Kasultanan Yogyakarta. Direktorat Kesenian, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kesenian DIrektorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Catatan Trah Raden Rio Suryowaditra (edisi kedua)
Wawancara dengan RM Surtihadi pada September 2017